PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Barat
.: Home > Artikel

Homepage

Nikah Sirri

.: Home > Artikel > PWM
19 Maret 2012 19:50 WIB
Dibaca: 3096
Penulis :

 

Nikah Sirri

(Oleh : H Ayat Dimyati)

 

(أولا) عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (البغايا اللاتي ينكحن أنفسهن بغير بينة) رواه الترمذي

ثانيا) وعن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل) رواه الدار قطني

ثالثا) وعن أبي الزبير المكي أن عمر بن الخطاب أتي بنكاح لم يشهد عليه إلا رجل وامرأة فقال: هذا نكاح السر، ولا أجيزه، ولو كنت تقدمت فيه لرجمت

رواه مالك في الموطأ

 

Artinya :

1.  Dari Ibn ‘Abbas ra., berkata : Bahwa Rasul Allah SAW berkata : Pezina itu adalah perempuan yang menikahkan dirinya tanpa disertai  keterangan / saksi ( Hr. al- Turmudzi );

2.  Dari ‘Aisyah bahwa Rasul Allah SAW berkata : Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (Hr. al-Daraquthniy).

3.  Dari Abi al-Zubeir al-Makki bahwa Umar Ibn al- Khattab mendatangi suatu pernikahan, yang tidak disertai saksi, kecuali seorang laki-laki dan wanita, maka Umar berkata : ini adalah nikah sir, dan aku tidak mebolehkannya; kalau dahulu aku menerima pengajuan pernikahan seperti ini, tentulah aku telah merajamnya (Hr.Malik dalam al-Muwaththa).

 

Makna Mufradat :

البغايا = para pezina /; jamak   بَغِيٍّ  (perzinaan ).Mahr al- bagiy,

diartikan  upah dari hasil pelacuran adalah diharamkan (Cf.  Tuhfah Ahwâdz: III / 171 ).

بِبَيِّنَة    = شاهد  /  ولي   ( saksi atau wali ) ( Ibid. )

 

Pertimbangan Pensyarah Hadits.

1.    Dalam kitabal- Mudâwanah al- Kubrâ : Juz IV / 194, dikatakan bahwa Nikah Siri itu adalah pernikahan yang dihadiri dua orang saksi dan wanitanya diberi mahar, tetapi disembunyikan. Ibn Syihab berkata : Jika keduanya telah saling berhubungan, maka dipisah di antara keduanya, lalu dihitung masa idahnya; dan kedua orang saksi itu diberi hukuman, oleh sebab menyembunyikannya. Kemudian selesai masa idahnya, akad nikah diulang kembali;  jika telah jelas pernikahannya, maka pernikahannya itu adalah telah menjalani i’lân (bewara). Abû Bakar al-Shiddieq tidak membolehkan Nikah Siri tsb., sehingga diumumkan dan disaksikannya. Dikuatkan oleh riwayat dari Ali Ibn Abi Thalib bahwa Rasul Allah SAW bersama para sahabatnya, lewat di antara bani Zuraiq, mereka mendengar nyanyian dan  permainan; maka Rasul SAW bertanya:  Apa ini ? para sahabat berkata : seseorang menikah, Rasul berkata : sempurna agama seseorang itu, dia itu bukan  pezina dan bukan pula nikah siri.

2.    Sekalipun hadits-hadits itu dha’if, tetapi saling menguatkan yang satu dengan yang lainnya, maka posisi hadits itu naik pada derajat Hadits hasan li ghairihi. Al-Turmudzi berkata: pengamalan Hadits-hadits di atas, berdasarkan ijtihad dan penerimaan kelompok berilmu dari kalangan sahabat Nabi SAW dan generasi setelahnya dari para tabi’in dan selainnya. Mereka, berkata :  لَا نِكَاحَ إِلَّا بِشُهُودٍ( tidak sah nikah kecuali dengan  saksi). Pandangan mereka itu,   tidak ditemukan adanya perbedaan dari sejak terdahulu, kecuali kalangan para ilmuan mutaakhkhirin. Hadits lain yang shahih yang mendukung pandangan tersebut adalah  riwayat Qatadah dari Jabir Ibn Zaid dari Ibn ‘Abbas ra., diungkapkan : بِبَيِّنَةٍُ نِكَاحَ إِلَّا لَا(tidak sah nikah kecuali dengan keterangan saksi). Al- Thibi berkata bahwa  yang dimaksud dengan al-bayyinah dalam hadits pertama, adalah al-syâhidu (seorang saksi). Jika pernikahan tanpa seorang saksi,  maka hal itu adalah perzinaan. Adapun menurut al- Syafi’i dan Abû Hanifah, bahwa yang dimaksudkan al-bayyinah itu, adalah wali. Zina,  disebutkan dengan al-baghâya, karena serupa di antara keduanya. (Tuhfah al-Akhwâdzi : No. 1022; III / 171 ).

3.    Pada masa Nabi SAW, istilah nikah sirri itu, telah  dikenalinya ( penjelasan pada No. 1.  Pada masa Umar Ibn al- Khattab,  istilah tersebut muncul dengan pengertian nikah yang tidak dihadiri wali dan saksi; dan tanpa i’lân.(yaitu penyampaian berita ke khalayak). Sedangkan i’lân nikâh dalam pandangan Malik, merupakan syarat sah nikah bukan saksi (Tuhfah, Ibid : 171) .

4.    Di Indonesia, istilah nikah sirri itu, ditemukan beberapa pandangan : Pertama, nikah tanpa wali orang tua, atau tanpa sepengetahuan orang tua kedua pasangan atau salah satunya; kedua, nikah di bawah tangan, yaitu pernikahan yang tanpa dicatatkan  oleh petugas PPN (Pegawai Pencatat Nikah) yang ada di bawah kewenangan KUA  pada setiap kacamatan; ketiga, nikah berdua seperti gambaran dalam riwayat di atas (No. 3), tanpa wali dan saksi; atau pernikahan yang dihadiri wali atau saksi, tetapi tidak di-i’lan-kan ke khalayak.

5.    Pernikahan sirri tersebut, akan berimplikasi pada munculnya fitnah yang berkelanjutan, selama hubungan berkeluarga, perolehan anak, jaminan kehidupan keturunan, bahkan sampai salah satu pihak meninggal, dll.

6.    Dua syarat bagi sahnya suatu pernikahan, maka dengan kedua syarat tersebut  keseluruhan hukum yang berhubungan dengan pernikahan akan tegak di atas dua syarat tersebut, yaitu : a)  Di antara laki-laki dan perempuan itu, bukan yang diharamkan untuk saling mengikatkan akad pernikahan, baik sewaktu-waktu atau selamanya.  Bagian ini, sudah dibahas pada bahasan terdahulu. b) Penyelenggaraan akad dengan  dipersaksikan (الاشهاد  ).

7.    Para Ulama telah membahas persaksian dalam pernikahan ini, dalam bab khusus Syurûth al-Syuhûd. Mereka menetapkan bahwa  pernikahan tidak terselenggara kecuali dengan bayyinah (keterangan), dan  syuhûd (persaksian)  atau kehadiran para saksi, ketika akad diselenggarakan. Bila persaksian ini (pemberitahuan) tentang adanya akad nikah ini, bisa dilakukan dengan jalan lain; atau dua pihak yang berakad nikah mengumumkan  bahwa dirinya berdua telah  berakad nikah, maka nikahnya adalah sah. Bagian yang terakhir ini, diperoleh makna dari ungkapan: bayyinah dalam riwayat No 1 di atas ( cf Tauhfah , Ibid . :   ).

8.    Hanya mereka berikhtilaf  dalam persaksian perorangan secara terpisah. Ahli Kufah tidak membolehkannya, sehingga  disaksikan oleh dua orang saksi secara bersamaan ketika akad diselenggarakan. Namun, ahli Medinah membolehkan  persaksian nikah secara perorangan sekali-pun bergiliran, apabila dibarengi dengan pengumuman ke halayak;  demikian pandangan Malik Ibn Anas dan yang lainnya. Sebagian ahli ilmu, Ahmad dan Ishaq, membolehkan persaksian nikah oleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan  (cf.Tuhfah al- Akhwâdzi : III / 171 ).

9.    Imam Malik dan para shahabatnya, berpandangan  persaksian atas akad nikah itu bukan fardh (ليس بفرض); karena itu dicukupkan melalui penyebaran informasi ke khalayak, atau melalui mass media. Mereka berhujah bahwa Allah SWT telah menentukan adanya isyhâd (persaksian) ketika akad jual beli. Apa yang tertera dalam Al Qur’an tentang persaksian dalam jual beli tersebut, tidak menunjukan hukum fardhunya. Allah SWT tidak menunjukkan langsung dalam Al Qur’an, adanya hukum persaksian dalam pernikahan itu. Karena itu, persaksian bisa dilakukan dengan cara yang lain, tetapi memenuhi kriteria yang dapat menyampaikan pada tujuan bayyinah tersebut; serta membuk tikan adanya keterpeliharaan nasab/keturunan) dikemudian harinya. Demikian juga persaksian itu, bisa diselenggarakan setelah akad dilak-sanakan. Jika akad diselenggarakan, sedangkan saksi belum hadir, lalu persaksian baru ada sebelum dukhul, maka akad nikahnya tidak di fasakh. Namun, jika setelah dukhul, sebelum dipersaksikan, maka perlu dipisah lebih dahulu satu kali talak (fasakh nikah). Hal ini diperoleh dari riwayat Ibn Wahab dari Malik (Fqh al-Sunnah : II/56-57).

10.  Makna لا نكاحdalam matan Hadits ke 2, riwayat al-Daraquthniy di atas, menunjukan    النفي يتوجه الى الصحة( ketidak sahhannya ). Karena itu, ditetapkan bahwa persaksian itu sebagai syarat nikah. Jika keberadaan sesuatu itu terkait dengan keberadaan  syarat, maka sesuatu itu tidak sah  bila yang menjadi syaratnya tidak ada (Ibid.). Sedangkan Abû Hanifah memaknai لا نكاحitu dengan la kamâla( tidak sempurna nikah ). ( cf. Tuhfah : III / 171).

11.  Sekalipun posisi persaksian dalam pernikahan adalah  seperti itu; tetapi  dibelakang akad pernikahan itu, terdapat hak yang lainnya, yaitu hak anak sebagai keturunan dari keduanya yang berakad. Karena itu,  persaksian disyaratkannya. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi pengingkaran  dari ayahnya dikemudian hari, bila keturunan itu ditetapkan Allah SWT.

       Sebagian ahli ilmu mensahkan pernikahan tanpa  dihadiri  para saksi,  di antaranya :   Kelompok Syi’ah,   Abd   al- Rahman Ibn Mahdi, Yazid Ibn Harun, Ibn al-Mundzir, Daud,  Ibn ‘Umar Ibn al- Zubeir, melakukannya; dan diriwayatkan juga  dari al- Hasan Ibn ‘Ali bahwa dia  bernikah tidak  dipersaksikan, tetapi setelahnya diumumkan ke khalayak.  Ibn al- Mundzir berkata :  Tidak ada dalil yang tsabat dalam hal persaksian dalam pernikahan ini.  Yazid Ibn Harun berkata : Allah menyuruh diadakan persaksian itu dalam jual beli, tidak dalam pernikahan. Kalangan rasionalis berpandangan, bahwa persaksian itu disyaratkan pada pernikahan, tetapi tidak disyaratkan dalam jual beli.

12.  Al-Syafi’i, Abû Hanifah, Ibn al- Mundzir, Umar, Urwah, al- Sya’bi dan Nafi’, menetapkan hukum makrûh terhadap akad nikah yang setelah selesai diadakan, kemudian diingatkan untuk disembunyikan atau dirahasiakannya setelahnya.

13.  Syarat seseorang menjadi saksi ada empat : berakal, baligh, mendengar langsung kedua pihak yang berakad dan memahami tujuan  akad pernikahan. Apabila saksi itu  seorang buta, maka  perlu diketahui dengan kayakinan  suara yang kedua pihak yang berakad itu, tanpa ada keraguan sedikitpun ( Ibid .; 58 ). Para ulama berikhtilaf dalam syarat keadilan para saksi, sbb.: a) Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan adanya keadilan itu. Bahkan,  mereka membolehkan orang fasik sebagai saksinya, setiap orang yang pantas menjadi wali nikah, maka pantas menjadi saksi pernikahan.   Karena, yang dimaksud dengan persaksian itu,  adalah al-i’lân (permakluman) nya; b) Ulama Syafi’iyah, berpandangan keadilan para saksi itu merupakan kemestian, berdasarkan Hadits ke 2 di atas.  Mereka berkata : bila para saksi itu majhûl (tidak dikenali) sifat-sifatnya, terdapat dua hal : 1) Penentuan keadilan itu sesuatu yang berat, maka dicukupkan berdasarkan standard lahir saja. Jika, kefasikannya nampak setelah akad nikah, maka tidak terpengaruh pada akad tersebut; 2) persaksian perempuan,  Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan laki-laki. Akad nikah  dengan saksi seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak sah. Padangan tersebut didasarkan pada Hadits  riwayat Abû Ubaid dari al- Zuhri, berkata : : 

مضت السنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم: أن لا يجوز شهادة النساء في الحدود، ولا في النكاح، ولا في الطلاق

Sunnah telah ditetapkan dari Rasul Allah SAW bahwa wanita tidak dibolehkan menjadi saksi dalam perkara hudud, pernikahan dan thalak.

14. Berdasarkan Hadits itu, dipertimbangkan bahwa pernikahan itu bukan akad tentang harta, tidak juga dimaksudkan pemilikan harta, orang-orang pada umumnya berdatangan, karena diundang; karena itu pula, dalam nikah  tidak ditetapkan dengan dua orang saksi seperti dalam perkara pidana  ( Ibid : 58 );  c) Ulama  Ahnaf, berpandangan syarat  saksi dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan itu, seperti saksi pada jual beli. Mereka mensyaratkan mendeka bagi para saksi itu, demikian juga dipegangi oleh al-Syafi’i. Mereka berkata, persaksian itu karena kemulyaan seorang muslim tersebut, sedangkan orang fasik termasuk orang yang terhinakan; dan d) Ahmad tidak mensyaratkannya merdeka;  karena dua orang hamba sahaya juga dibolehkan  sebagai saksi pernikahan ini dan diterima dalam berbagai perjanjian; di samping juga tidak ada nash al- kitab dan al-sunnah yang menolak persaksian hamba sahaya itu.  Mereka berkata orang yang diterima persaksiannya, adalah orang yang amanah, jujur dan taqwa ( Tuhfah : III / 169 ).

15.  Syarat keislaman bagi saksi, disepakati para ulama fiqh, bagi pernikahan di antara muslim dan muslimat; sedangkan saksi bagi pernikahan yang salah satu pasangannya ghair muslim diperselisihkan.

       Ahmad, al-Syafi’i dan Muhammad Ibn al-Hasan bahwa pernikahan itu tidak terselenggara, karena pernikahan muslim tidak menerima persaksian yang bukan muslim. Abû Hanifah dan Abû Yusuf, menyatakan persaksian dua orang kitâbiyah, dibolehkan dalam pernikahan seorang muslim dan wanita kitâbiyah. Hal ini diambil dari perundangan Ahwal al-Syakhshiyah. Berdasarkan aturan formal perundangan, akad pernikahan terselenggara melalui: terpenuhi rukun dan syarath. Kehadiran para saksi, adalah komponen luar dari dua belah pihak yang berakad. Berbeda dengan akad mu’amalah pada umumnya, kerelaan itu ada pada dua pihak yang berakad, Karena itu, ijab qabûl oleh keduanya, seperti akad sewa-menyewa barang. Dengan cara seperti itu, tertib hukum sudah bisa dilaksanakan; sedangkan dalam pernikahan tidak demikian. Bagian itu yang menjadi tujuan perundangan, karena dimaksudkannya untuk memelihara kehidupan semuanya, bukan karena keperluan terbatas (Fiqh Sunnah : Ibid .: 59).

 

Pertimbangan Periwayatan Hadits.

Dalam kitab syarah Sunan al- Turmudzi, Tuhfah al-Akhwâdzi ( Juz III / hal. 171,  Yusuf Ibn Hammad berkata  bahwa  Abd al-A’la dari Qatadah, me-rafa’-kan hadits ini dalam tafsirnya; tetapi dalam kitab thalak, diperoleh riwayatnya dari Sa’id adalah me-mawquf-kannya.  Mereka yang tidak me-marfu’-kan hadits ini,  adalah lebih shahih daripada riwayat yang me-marfu’-kannya. Al-Turmudzi sendiri  menyatakan bahwa hadits ini ghair mahfûzh; tidak diketahui seorangpun yang me-rafa’-kannya kecuali riwayat dari Abd al- A’la dari Qatadah. Ibn Taimiyah berkomentar,  sekalipun hadits itu dikatakan tidak mahfuzh, namun tidak dicacatkan, karena Abd al- A’la termasuk seorang tsiqqah, diterima pe-marfu’-annya dan tambahannya.

Kualitas hadits yang kedua,  dinilai oleh al- Daraquthni dalam kitab al- ‘Ilal dari hadits al- Hasan terdapat sanad Abd Allah Ibn Muharrar, dia seorang matrûk al-Hadits. Al-Syafi’i meriwayatkan juga dari al-Hasan melalui jalan yang lainnya; ia menilainya sebagai Hadits mursal.

Sedangkan riwayat yang ketiganya, termasuk atsar shahabat yang mawqûf pada Umar Ibn al- Khattab .

 

Rangkuman.

Nikah siri,  termasuk nikah yang dilarang. Larangan tersebut, diperoleh berdasar pada pertimbangan  maqâshid al- syarî’ah, melalui penunjukan isyarat Alqur’an dan Hadits Nabi yang shahih yang bersifat umum, berbagai pandangan para ulama, mulai dari shahabat besar sampai para tabi’in dan ketetapan perundangan Negara.

Terutama, dalam aspek moral kepublikan, dalam nikah siri tersebut sangat terabaikan. Pengabaian terhadap nilai kepublikan tersebut akan mengundang bencana fitnah pada masyarakat luas. Kondisi nikah sirri seperti  itu, tidak dibenarkan di atas namakan syari’at Islam, yang menjunjung tinggi kemulyaan umat manusia dan kedamaian.

Karena itu, pernsyaratan keberadaan saksi, wali dan i’lan, bagi suatu pernikahan, merupakan bagian-bagian yang akan memperkokoh tujuan pernikahan.

 

 

 

Daftar Bacaan.

Kitab Matan : Sunan al- Turmudzi;

Kitab syarah : Tuhfah al- Akhwâdzi;

Kitab Fiqh:  Fiqh al- Sunnah ; 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website