SEJARAH PERJALANAN 'AISYIYAH JABAR
Semilir Aisyiyah di Jawa Barat
Perkembangan Aisyiyah di Jawa Barat nampaknya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Muhammadiyah Jawa Barat sendiri sebagai induk persyarikatannya. Sampai saat ini, diyakini bahwa di Jawa Barat, kota yang pertama secara resmi membuka perwakilan pimpinan Muhammadiyah adalah Kota Garut.
Muhammadiyah di kota Garut secara resmi berdiri pada tanggal 30 Nopember 1923 dengan Surat Ketetapan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta nomor. 18 dengan status Pimpinan Cabang. Tercatat beberapa nama sebagai perintis pendirian Muhammadiyah di kota Garut adalah H. M. Djamhari, Wangsa Eri, Masjamah, dan H.M. Gazali Tusi. Menurut Djarnawi Hadikusumo ”Dalam tahun 1921 diresmikan berdirinya cabang Srandakan dan Imogiri, keduanya terletak di daerah Yogyakarta. Lalu Blora, Surabaya, dan Kepanjen, Tahun 1922 berdiri cabang Surakarta, Garut, Jakarta, Purwokerto, Pekalongan dan Pekajangan" (H.Djarnawi Hadikusumo, TT, Hal 78).
Perbedaan angka tahun pendirian dalam Surat Ketetapan Pimpinan Pusat yaitu tahun 1923 dengan informasi yang diberikan oleh Djarnawi Hadikusumo yaitu tahun 1922 bisa dimaklumi. Tahun 1923, adalah tahun "resmi" berdirinya Muhammadiyah di Kota Garut secara "faktual", hitam di atas putih dalam bentuk piagam pendirian. Sedangkan tahun 1922, sebagaimana ungkapan Djarnawi Hadikusumo adalah untuk menunjuk tentang waktu adanya gerakan persyarikatan Muhammadiyah di Kota Garut. Artinya, sebuah gerakan organisasi kemasyarakatan bisa saja secara resmi baru berdiri di tahun 1923, tapi sebenarnya gerakannya itu sudah berlangsung sejak tahun 1922 atau bahkan jauh sebelum itu.
Kejadian seperti ini tidak menutup kemungkinan masih terjadi di jaman modern seperti saat ini yang sudah didukung dengan alat komunikasi dan transportasi yang sudah maju, apalagi di jaman sebelum kemerdekaan yang segalanya masih serba terbatas. Terlebih lagi kalau hal ini dihubungkan dengan persyaratan pendirian sebuah perwakilan pimpinan dan peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang baru memberikan keleluasaan kepada Muhammadiyah untuk bergerak di seluruh Nusantara di tahun 1921. Sebelumnya, ijin itu hanya terbatas untuk keresidenan Yogyakarta saja.
Meskipun tahun resmi berdirinya cabang Muhammadiyah Garut baru tercatat pada tahun 1923, namun dapat dipastikan kalau ajaran dan pemahaman keagamaan sebagaimana paham agama yang dikembangkan oleh K. H. Ahmad Dahlan telah terpatri di sebagian kecil penduduk kota Garut beberapa tahun sebelumnya, hal ini dapat dipahami mengingat beberapa hal seperti :
1. Di Garut telah berdiri sebuah Madrasah ibtidaiyyah bernama AI Hidayah berangka tahun 1919. Istilah ibtidaiyyah adalah "Istilah yang biasa dipakai oleh madrasah - madrasah milik Muhammadiyah saat itu, untuk membedakan madrasah yang dikelola oleh organisasi lain, seperti PSII dengan istilah Madrasah Islamiyyah" (Dikdik Dahlan L, 1996 ; 16).
2. Madrasah itu berdiri di atas tanah wakaf dari keluarga Masjamah yang merupakan salah seorang perintis Muhammadiyah dan pada tahun 1923 secara resmi tanah dan bangunannya diserahkan kepada Muhammadiyah. Artinya, penyelenggaraan madrasah itu telah berlangsung sejak sebelum tahun 1923.
3. Madrasah itu terletak di kampung Lio sebutan untuk sebuah perkampungan pengrajin batu-bata yang sejak awal perkembangan Muhammadiyah tempat itu dijadikan pusat kegiatan Muhammadiyah di Garut. Kampung Lio juga berdekatan dengan kampung Pasar Baru dan Ciledug yang merupakan kampung - kampung basis bakal anggota Muhammadiyah.
4. Nama "Al Hidayah" pada waktu itu adalah nama sebuah kelompok pengajian di Garut yang sebenarnya adalah nama lain untuk gerakan Muhammadiyah yang pada saat itu pergerakan Muhammadiyah baru terbatas di keresidenan Yogyakarta sesuai dengan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda Nomor. 81 tahun 1914. Sempitnya izin yang diberikan, tidak mempersempit gerakan Muhammadiyah. Pada saat itu K. H. Ahmad Dahlan menganjurkan agar gerakan Muhammadiyah di luar kota Yogyakarta menggunakan nama lain seperti Nurul Islam di Pekalongan, Sidiq Amanah Tabligh Fathonah di Solo, al Munir di Ujung Pandang dan lain - lain. Izin diperbolehkannya Muhammadiyah bergerak di luar Yogyakarta sendiri baru keluar pada tanggal 2 September 1921.
Perintisan Muhammadiyah di kota Garut banyak dilakukan oleh para pendatang dari luar kota Garut. Salah seorangnya adalah H. Djamhari putra Dasiman yang berasal dari kota Kudus. Dasiman mengasingkan diri ke tanah Pasundan (Garut) untuk menghindari fitnah dari pemerintah Belanda sesudah perang Diponegoro. Menurut Kunto Sofianto mereka datang dan menetap di Garut sekitar awal tahun 1900-an. Bahkan kelompok pengajian al Hidayah yang menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah sendiri pada saat itu banyak diikuti oleh para pedagang batik dan kain bodasan di lingkungan pasar baru, pajagalan dan Ciledug (Groutweg) yang merupakan tempat berdomisilinya para pedagang pendatang itu. Fenomena penyebaran gerakan Muhammadiyah di kota Garut ini nampaknya memiliki kesamaan dengan yang terjadi di daerah - daerah lain. Penyebaran Muhammadiyah sedikit banyak terjadi melalui interaksi para pedagang. Konon, masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau juga melalui jalur perdagangan. Bermula dari perkenalan para pedagang Minangkabau yang berada di Pekalongan dengan Kyai Dahlan yang sering melakukan tabligh di daerah itu. Interaksi ini membawa pengaruh yang sangat besar dan akhirnya faham keagamaan yang disampaikan oleh Kyai Dahlan terbawa ke ranah minang.
Demikian juga dengan perintisan Muhammadiyah di Garut. H. Djamhari adalah seorang pedagang batik yang sering mengambil barang dagangannya ke Yogyakarta. Dalam perjalanannya itu ia sangat tertarik dengan madrasah Muhammadiyah di Suronatan yang begitu maju dan banyak memiliki siswa. Teringat dengan madrasah al Hidayah yang dikelolanya di Garut memotivasi untuk mengenal lebih jauh terhadap pergerakan Muhammadiyah. Pada perkembangan selanjutnya, ia berkenalan dengan Tobamin (Ketib Amin) yang tiada lain adalah K. H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah yang dikaguminya. Menurut catatan Acep Muharom yang melakukan wawancara dengan beberapa anggota keluarga H. Djamhari, K. H. Ahmad Dahlan pernah berkunjung ke Garut bersama Kyai Fachrudin untuk memperkenalkan gerakan Muhammadiyah.
Apabila Aisyiyah secara resmi berdiri tahun 1917 bahkan K.H.Ahmad Dahlan telah membina para calon pimpinannya melalui Sopo Tresno sejak tahun 1914, besar kemungkinan ketika H. Djamhari dan rekannya mendirikan Muhammadiyah di Garut beliau sekaligus juga merintis pendirian Aisyiyah, karena ketika mendirikan Muhammadiyah di Garut, di Yogyakarta sudah berdiri Aisyiyah. Artinya ketika H. Djamhari berkunjung dan bertukar pikiran dengan K. H. Ahmad Dahlan, sudah dapat dipastikan selain K. H. Ahmad Dahlan mengenalkan Muhammadiyah juga sekaligus mengenalkan pergerakan Aisyiyah-nya kepada H. Djamhari itu.
Dalam buku Sedjarah Singkat Muhammadijah Tjabang/Daerah Garut yang ditulis H. M. Fadjri, disebutkan bahwa mengiringi pendirian cabang Muhammadiyah Garut itu tidak terlepas juga dengan penyelenggaraan amal usahanya. Salah satu amal usaha itu adalah penyelenggaraan pengajian yang dilakukan secara rutin. Bahkan pengajian itu tidak hanya diperuntukkan kaum pria saja, melainkan diselenggarakan pula untuk kaum wanita. Pada halaman 9 (sembilan) tulisan tersebut disebutkan bahwa "Amal usaha jang mula2 didjalankan ialah mengadakan pengadjian2 tiap seminggu sekali dan mengadakan kursus2 agama Islam setiap malam, bergiliran antara golongan pria dan wanita".
Penyelenggaraan pengajian yang melibatkan kaum pria dan wanita oleh para pimpinan Muhammadiyah cabang Garut tersebut nampaknya merupakan bagian dari upaya mereka untuk menanamkan dan menyebarkan pemahaman dan pengamalan Islam sebagaimana yang difahami dan menjadi dasar gerakan Muhammadiyah beserta seluruh bagian dan amal usahanya. Bahkan pemuda dan pemudi (pelajar) pun tidak luput dari garapannya. Dari kegiatan ini, di kemudian hari diharapkan mereka dapat memperoleh kesadaran untuk aktif secara bersama - sama menggerakan dakwah melalui organisasi Muhammadiyah. Buktinya, tidak lama berselang, di Garut kemudian berdiri Siswa Praja (SP), Siswa Praja Wanita (SPW), dan Aisyiyah. Siswa Praja (SP) di kemudian hari berubah menjadi Pemuda Muhammadiyah sedangkan SPW menjadi Nasyi'atul Aisyiyah.
Mengenai pendirian Aisyiyah, menurut H. M. Fadjri diterangkan "Pada tahun 1925 atas usaha K. H. Gazali Tusi diusahakan pula berdirinja Bagian 'Aisjijah, jang para anggauta serta pengasuhnja diambil dari para siswa kursus jang biasa diadakan setiap malam dibawah pimpinan K. H. Gajali Tusi sendiri". Pimpinan 'Aisyiyah Garut yang pertama terdiri dari : .
Ketua : Siti Suhaimi Wiriasasmita
Sekretaris : Siti Hasanah Tasmedi
Bendahari : H. Siti Rachmah
Pembantu - pembantu :
1. Siti Kalfijah
2. Siti Maslihat
3. Siti Umi Kulsum
4. Siti Rukmanah
Melihat tahun berdirinya, berarti antara pendirian Muhammadiyah Cabang Garut dengan Aisyiyah di Garut hanya berselang waktu 2 (dua) tahun. Muhammadiyah tahun 1923, sementara Aisyiyah didirikan tahun 1925, delapan tahun setelah K. H. Ahmad Dahlan meresmikan pendirian Aisyiyah di Yogyakarta. Bahkan uniknya, sebagaimana keterangan H. M. Fadjri, pendirian Aisyiyah di Garut justru lebih dahulu ketimbang dengan pembantu pimpinan lainnya seperti Bagian Tabligh, Bagian sekolah dan bagian PKU yang baru didirikan tahun 1926. Hal ini sangat dimungkinkan karena adanya seruan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui kongres ke 11 tahun 1922 di Yogyakarta yang salah satu keputusannya menyerukan kepada seluruh pimpinan cabang dan ranting Muhammadiyah untuk mendirikan bagian Aisyiyah.
Seperti halnya dengan awal pendirian di tingkat pusat, status Aisyiyah di Cabang Garut pun semula merupakan pembantu pimpinan. Karena itu penyebutannya pun masih "Bagian 'Aisyiyah", seperti halnya menyebut Bagian Tabligh, Bagian Sekolahan dan Bagian PKU.
Sekalipun baru berstatus sebagai pembantu pimpinan, namun gerakan Aisyiyah sejak mulai didirikannya telah berupaya mewujudkan sebuah program yang monumental, dan dapat disaksikan sepanjang jaman, yaitu mendirikan sebuah mesjid yang dikhususkan untuk kaum wanita. Mesjid yang mulai dibangun tahun 1925 dan diresmikan pada tanggal 1 Februari 1926 ini terletak di kampung Pengkolan, di atas tanah wakaf dari Ibu Hadidjah, yang kemudian dikenal dengan nama Mushola 'Aisyiyah. Bangunan Mushola 'Aisyiyah di Garut ini merupakan Mushola 'Aisyiyah yang kedua di Indonesia, setelah sebelumnya berdiri Mushola Aisyiyah yang pertama di Yogyakarta sekitar tahun 1922 yang kemudian disusul di Pekajangan tahun 1937 sebagai Mushola Aisyiyah ketiga. Mushola 'Aisyiyah Garut itu, sampai saat ini masih berdiri menjadi saksi langkah demi langkah gerakan Aisyiyah di Garut dan gerakan Muhammadiyah umumnya.
Dari kota Garut, Muhammadiyah merangkak menyentuh beberapa kota yang berdekatan. Salah satu kota yang mendapat pengaruh besar penyebaran Muhammadiyah dari Garut adalah Tasikmalaya. Di kota ini Muhammadiyah mulai tercium keharumannya di tahun 1935. Beberapa orang yang tercatat memiliki banyak jasa masuknya Muhammadiyah di Tasikmalaya adalah Hidayat, Moh. Fadjri (Ketua PMC Garut), A. S. Bandy, dan Sutama yang kemudian nama terakhir ini ditetapkan sebagai Ketua PMC pertama di Tasikmalaya.
Dari Tasikmalaya, Muhammadiyah kemudian mencium Kota Ciamis, Kuningan, dan Cirebon. Para Mubaligh Cirebon, kemudian mengepakan sayapnya ke arah Indramayu dan Majalengka.
Dari arah utara, penyebaran Muhammadiyah di Jawa Barat berpangkal dari Jakarta yang dulu dikenal dengan nama Batavia atau Betawi. Di Jakarta, sebagaimana perkiraan sementara ini cabang Muhammadiyah berdiri tidak selang lama waktunya dengan pendirian cabang di Garut. Tokoh yng tercatat sebagai perintis Muhammadiyah di tanah Batavia ini adalah Kartosudharmo. Dari Jakarta Muhammadiyah dibawa oleh Asep Mujtaba alumnus perguruan AI Irsyad Jakarta yang kenal dekat dengan Yunus Anis. Melalui jasa kedua orang yang bersahabat dekat ini, pada tahun 1926 resmi berdiri cabang Muhammadiyah di Jasinga - Bogor. Dari Jasinga, Muhammadiyah kemudian merambat ke daerah terdekatnya, yaitu Leuwiliang yang berdiri tahun 1928. Selain menyentuh wilayah Bogor, dari Jakarta pemahaman Muhammadiyah merambat juga ke Cianjur dan Sukabumi yang diperkirakan sudah berdiri secara resmi pada tahun 1930.
Angka tahun itu mungkin saja pendirian resminya, namun bisa jadi Muhammadiyah dalam arti pemahaman keagamaannya sudah menyentuh kota - kota itu jauh sebelumnya. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan salah satu sisi riwayat kehidupan KH. Ahmad Dahlan. Selain beristri Nyai Walidah, Kyai Dahlan juga pernah menikah dengan beberapa orang janda yang salah satunya adalah dengan "Ibu Nyai Aisjah (Adik Ajengan Pengulu) Tjiandjur". (KHA Dahlan hal 9) Bahkan dari istrinya yang berdarah Pasundan ini Kyai memperoleh seorang anak perempuan bernama Dandana. Dari perkawinannya ini kita bisa menduga - duga kalau Kyai Dahlan pernah berkunjung atau mungkin berdomisili sekalipun dalam waktu yang sangat singkat di Cianjur.
Perkawinan K. H. Ahmad Dahlan dengan Aisyah, adik ajengan penghulu Cianjur itu dimungkinkan dilakukan setelah beliau mendirikan Muhammadiyah. Jadi antara tahun 1912 sampai tahun 1923, tahun wafatnya. Hal ini didasarkan kepada keterangan yang diperoleh dari Dr. Suratmin SF yang meyatakan bahwa "Perkawinannya dengan Nyai Abdullah dengan harapan agar agama Islam sesuai dengan kemurniannya dapat berkembang dalam Kraton dan dalam benteng". Hal serupa mungkin juga dilakukan oleh K. H. Ahmad Dahlan ketika beliau menikahi Aisyah. Menurut R. Hailani Hilal (Cucu Nyai Ahmad Dahlan) ”Setelah perkawinan K. H. A. Dahlan dengan 'Aisyah ini, maka Muhammadiyah Jawa Barat berkembang dengan cepat. Agama Islam dapat dihayati dengan menyeluruh. (Nyai 38)
Perkembangan Muhammadiyah di Jawa Barat yang merambat sejak tahun 1920-an itu sangat mungkin diikuti pula dengan masuk dan berdirinya amal usaha serta bagian lain yang tidak terpisahkan dengan Muhammadiyah, seperti Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan. Pada bulan Juni 1937 Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat menerbitkan majalah "Soeara Pemoeda Muhammadijah Djawa Barat". Majalah yang terbit tiap tanggal 15 dan sudah berwarna kuning kecoklatan itu merupakan terbitan No. 3 di tahun I (1937). Artinya, majalah ini terbit pertamakali pada tanggal 15 bulan April tahun 1937.
Pada tahun yang sama (1937) di Bandung terbit pula majalah Amal No. 24 bertiti mangsa tanggal 5 Desember 1937. Tahun ini (1937) merupakan tahun kedua dari penerbitan majalah Amal. Majalah ini diterbitkan oleh Muhammadiyah cabang Bandung setiap bulan 2 kali. Artinya Majalah ini mulai terbit sejak bulan Januari tahun 1936. Salah satu rubrik tetap dalam majalah tersebut adalah "Gentra Istri". Rubrik ini merupakan rubrik khusus yang diisi dan dibina oleh Aisyiyah Cabang Bandung. Inilah salah satu bukti bahwa perkembangan Muhammadiyah di Jawa Barat juga diikuti dengan sangat baik oleh pendirian dan perkembangan beberapa bagian dan atau Organisasi otonom Muhammadiyah pada saat itu, termasuk kaum wanitanya, yaitu Aisyiyah.
Perkembangan Aisyiyah di beberapa kota di Jawa Barat nampaknya tidak jauh waktunya dengan pendirian dan perkembangan Muhammadiyah di daerah yang bersangkutan. Menurut catatan Suara Muhammadiyah No 2 yang terbit pada bulan Maret 1941, sampai tahun 1940 di Jawa Barat (pada saat itu Batavia masih termasuk di dalamnya) sudah berdiri 24 cabang dan ranting/group Aisyiyah, yaitu :
A. Cabang :
1. Garut 2. Kuningan
3. Cirebon 4. Jasinga
5. Tasikmalaya 6. Bogor
7. Leuwiliang 8. Batavia
9. Cianjur 10. Bandung
11. Sukabumi
B. Ranting/Group :
1. Jatinegara 2. Cihuni
3. Kubangkondang (Menes) 4. Tanah Abang
5. Bendungan 6. Tanah Tinggi
7. Lemah Abang 8. Kemayoran
9. Rangkasbitung l0.Soreang
11. Cimahi 12. Ciledug
13 Karawang
Pendirian dan Perkembangan PW. Aisyiyah Jawa Barat
Menurut keterangan yang didapat, Aisyiyah Wilayah Jawa Barat resmi berdiri pada tanggal 22 Sya'ban 1388 H. Bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1969 dengan kode wilayah W.4. Pendirian resmi Aisyiyah Wilayah Jawa Barat ini dituangkan melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor. 094/PPA/A/XI/1988 tertanggal 13 Dzulhijjah 1408 bertepatan dengan tanggal 28 Juli 1988. Surat Keputusan ini ditandatangani oleh Dra. H. Elyda Djazman dan Dra. H. St. Wardanah, masing masing secara berurutan menjabat sebagai ketua dan sekretaris Pimpinan Pusat 'Aisyiyah yang berkedudukan di Yogyakarta.
Ada beberapa kejanggalan menyangkut Surat Keputusan pendirian Aisyiyah di Jawa Barat di atas. Pertama, Aisyiyah Jawa Barat berdiri tanggal 16 Februari 1969 sedangkan Surat Keputusannya baru keluar di tahun 1988 tepatnya tanggal 28 Juli 1988 apalagi Surat itu ditandatangani oleh Dra. H. Elyda Dazman yang memangku jabatan sebagai Ketua PP Aiyiyah jelas bukan di tahun 1969. Elyda Djazman menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah mulai tahun 1985 - 1995. Kedua, istilah yang dipergunakan untuk menunjukan tingkat pimpinan dengan ”Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah disingkat PWA", padahal dulu lebih dikenal dengan istilah ”Pimpinan 'Aisyiyah Wilayah disingkat PAW".
Mengenai penomoran dan "titi mangsa" (tanggal) surat, nampaknya surat tersebut hanyalah sebagai legalitas formal saja untuk melegalisasi pendirian pimpinan yang belum tersurat dalam sebuah akta pendirian secara resmi. Artinya tanggal pendirian itu, yaitu tanggal 16 Februari 1969 bisa jadi merupakan tanggal yang pasti dan akurat tentang pendirian Aisyiyah Wilayah Jawa Barat, tapi pada saat terjadinya pendirian Aisyiyah waktu itu belum disahkan melalui piagam pendirian tertulis secara resmi dan baru dikeluarkan piagam Pendiriannya di tahun 1988.
Kemungkinan kedua, piagam itu pernah terbit pada saat pendiriannya. Hanya saja karena arsip piagam itu baik yang berada di Pimpinan Pusat maupun di wilayah hilang dan hanya diketahui tanggal pendiriannya saja tanpa diketahui nomor piagam pendiriannya, maka Pimpinan Pusat mengeluarkan piagam pendirian yang baru dengan nomor urut surat seperti mengikuti nomor Surat Keputusan Pimpinan Pusat Aisyiyah yang sedang berjalan dan berlaku di tahun pembuatan surat yaitu tahun 1988. Nampaknya, kemungkinan yang kedua inilah yang terjadi. Sebab tidak mungkin pendirian sebuah level organisasi setingkat Muhammadiyah dan Aisyiyah tanpa penerbitan piagam pendirian, apalagi hal ini terjadi di tahun 1969. Di tahun 1923 saja, Muhammadiyah sudah mampu menerbitkan Surat Keputusan Pendirian Cabang Muhammadiyah Garut dengan Piagam Pendirian resmi.
Hal ini dikuatkan dengan penyebutan istilah level pimpinan. Dalam Surat Keputusan tersebut disebut dengan istilah Pimpinan Wilayah Aisyiyah disingkat PWA. Padahal, seyogyanya penyebutan istilah level pimpinan di tahun 1969 masih dengan "Pimpinan Aisyiyah Wilayah" disingkat PAW. Hal ini mengingat bahwa perubahan penyebutan istilah itu didasarkan kepada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor. 5 tahun 1986 tentang Ruang lingkup, Tata-cara Pemberitahuan kepada Pemerintah serta Papan nama dan Lambang Organisasi Kemasyarakatan.
Mengenai tahun pendirian Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Barat yaitu tahun 1969 sangat bisa dimaklumi, mengingat PW. Muhammadiyah Jawa Barat saja baru ditetapkan pada tanggal 20 Maret 1966 melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor. J/02/W/PP/66. Kelahiran Surat Keputusan Pimpinan Pusat tersebut merupakan respons terhadap hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tahun 1965 yang mengamanatkan penyempurnaan struktur pimpinan Persyarikatan yang terdiri dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Muhammadiyah Wilayah, Daerah, Cabang dan Ranting sebagaimana berlaku saat ini. Hanya saja istilah yang dipergunakan saat itu adalah Pimpinan Muhammadiyah Wilayah disingkat PMW, di tingkat kabupaten dan kota bernama Pimpinan Muhammadiyah Daerah disingkat PMD, demikian seterusnya sampai tingkat ranting.
Memang, dalam perjalanannya istilah penyebutan level pimpinan khususnya di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan baik yang datang dari intern persyarikatan maupun atas pengaruh eksternal seperti adanya peraturan pemerintah di atas. Dalam Ensiklopedi Muhammadiyah diuraikan tentang perubahan dan perkembangan istilah - istilah tersebut.
Di awal perkembangannya, struktur pimpinan Muhammadiyah hanya ada Hoofdbestuur dan Bestuur Afdeeling, yang berarti Pimpinan Pusat dan Pimpinan Perwakilan atau cabang dari pimpinan pusat tadi. Pimpinan Pusat berkedudukan di Yogyakarta, sedangkan keberadaan Afdeeling atau BestuurAfdeeling sendiri tidak jelas berada di tingkat daerah atau wilayah, serta apa dan sampai sejauh mana batas - batas gerakannya. Dalam anggaran dasar yang pertama (yang berlaku dari tahun 1912 - 1914), keberadaan Bestuur Afdeeling itu hanya disebutkan di dalam sebuah tempat di residensi Yogyakarta. Sedangkan pada anggaran dasar yang berlaku pada tahun 1921 - 1934, setelah mendapat izin mengembangkan ke seluruh Nusantara, yang dimaksud dengan ”tempat" adalah mencakup seluruh wilayah di Hindia Nederland.
Dalam perkembangan selanjutnya, "istilah Afdeeling Persyarikatan dalam AD 1941 Fasal 7 diganti menjadi Cabang Persyarikatan" (Yusuf, 2005 : 265), namun demikian kedudukannya masih belum jelas, baru disebutkan di suatu tempat yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Baru pada tahun 1946, yaitu dalam Anggaran Dasar yang berlaku saat itu, selain Pimpinan Pusat dan Cabang muncul juga istilah Ranting Persyarikatan, namun letak dan keberadaannya pun masih samar, hanya disebut di suatu tempat.
Sampai tahun 1951, struktur pimpinan yang terdiri dari tiga tingkatan seperti di atas masih tetap berlaku. Hanya saja dalam Anggaran Dasar hasil keputusan Sidang Tanwir tahun 1951 di Yogyakarta itu sudah ada batas - batas yang jelas terutama antara cabang dan ranting. "Kedudukan group atau Ranting dan Cabang-cabang berada di daerah-daerah sebagai berikut :
a. Group atau Ranting berkedudukan pada tingkat kampung dan kadang-kadang pada awal berdirinya berkedudukan pada tingkat Onderafdeeling.
b. Status Cabang berkedudukan pada daerah afdeeling": (Ibrahim Polontalo, 1995: 90).
Mencermati perkembangan istilah dan struktur organisasi seperti diuraikan di atas, tidaklah mengherankan apabila di Jawa Barat sendiri kemunculan dan kelahiran Muhammadiyah secara resmi dalam sebuah tempat kebanyakan berstatus sebagai Pimpinan Cabang, seperti Cabang Garut yang sampai saat ini dianggap sebagai cabang tertua. Dari Garut kemudian lahir Cabang Muhammadiyah di Tasikmalaya, Cabang Kuningan, setelah itu lahir Cabang Cirebon, Cabang Bandung dan lain - lain. Bahkan masih di Kabupaten Garut, karena maraknya pendirian ranting yang banyak, maka didirikan pula cabang Muhammadiyah Kadungora. Artinya dalam sebuah kabupaten sangat memungkinkan terdapat beberapa cabang. Demikian pula keberadaan sebuah cabang itu tidak harus mencakup satu kabupaten.
Selain ketiga tingkat pimpinan seperti di atas, terdapat pula istilah Konsul yang nampaknya merupakan struktur tidak resmi namun memiliki tugas dan fungsi yang cukup vital dalam pergerakan persyarikatan. Tidak kurang dari A. R. Sutan Mansur yang pernah menjadi Konsul Daerah Minangkabau dan Kyai Mas Mansur yang setelah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur.
Di Jawa Barat istilah Konsul baru ditemukan pada tahun 1930 setelah berlangsungnya Konferensi Kerja antara Daerah Priangan dengan Daerah Jakarta yang kemudian disebut Konferensi Jawa Barat I. Kegiatan ini dilaksanakan di kota Jakarta dan mengangkat Kartosudharmo sebagai Konsul pertama untuk Jawa Barat. Forum permusyawaratan seperti ini berlanjut beberapa kali, dan sepanjang literatur yang dapat ditemukan diperoleh keterangan bahwa setelah Konferensi I ini pernah dilaksanakan :
1. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 2 di Kota Garut pada tanggal 9 - 11 Nopember 1935.
2. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat di Rangkasbitung sekitar tahun 1936 setelah Muktamar Seperempat Abad di Jakarta tahun 1936.
3. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 7 di Bogor pada tanggal 11- 13 Mei 1940.
4. Konferensi Muhammadiyah Jawa Barat ke 8 di Tasikmalaya pada tahun 1941.
Rupanya, pada awal pembentukan konsulat pergerakan Muhammadiyali di Jawa Barat masih banyak menemui hambatan. Buktinya, jarak waktu dari konferensi I ke konferensi II terpaut jauh, selama 5 (lima) tahun. Setelah Konferensi kedua di Garut nampaknya Konferensi itu berjalan tiap tahun, yaitu Konferensi ke III tahun 1936 di Rangkasbitung, ke IV tahun 1937, ke V tahun 1938, dan ke VI tahun 1939 yang dari konferensi ke IV sampai ke VI itu belum diketahui tempatnya, ke VII tahun 1940 di Bogor dan ke VIII tahun 1941 di Tasikmalaya.
Memasuki jaman Pendudukan Jepang, sebagaimana umumnya gerakan lain yang ada di tengah masyarakat, nampaknya Muhammadiyah pun sedikitnya mendapat hambatan yang cukup berarti yang menyebabkan aktivitas Muhammadiyah tidak begitu menonjol kalau tidak dikatakan mengalami kevakuman. Keadaan seperti ini terus berlanjut karena segenap penduduk kemudian disibukkan dengan upaya Belanda untuk kembali menduduki Indonesia melalui Agresi Militer. Keadaan dapat dikatakan pulih ketika memasuki tahun 1950 yang pada waktu itu lahir kembali Jawa Barat sebagai Propinsi yang utuh berdasarkan UU No 11 tahun 1950.
Sejalan dengan pulihnya situasi politik dan keamanan, berdasarkan catatan Mahyudin Kahar pada tahun itu, yaitu tahun 1950 tercatat bahwa H. R. Sutalaksana menjabat sebagai Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jawa Barat sebagai pengganti dari istilah Konsulat/konsul yang hanya berlaku pada masa - masa sebelum kemerdekaan terutama di jaman kolonial Belanda. Hal ini diperkuat oleh keterangan yang tertera dalam buku Kenangan Konferensi Muhammadiyah Daerah Priangan ke VI di Garut yang berlangsung pada tanggal 7 s.d. 10 Nopember 1954. Pada halaman 18 buku tersebut selain ditampilkan susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1953 - 1956 dan Susunan Anggota Majelis Perwakilan PP Muhammadiyah Daerah Priangan 1953 - 1956 ditulis pula Susunan Anggota Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat, yaitu :
1. Ketua (Wk. P.P.M.) H. R. Sutalaksana
2. Penulis/Bendahari D. Rasjidi
3. Tabligh K. H. Asnawi Hadisiswojo
4. Pengajaran Suto Adiwidjojo
5. P.K.U. Ahmad Hadidjojo
6. 'Aisjijah Ibu D. Pardjaman
7. Pemuda / H. W. A. Malik Syafe'ie
Dengan demikian di luar struktur resmi sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah yang hanya menyebutkan tiga tingkat pimpinan yaitu Pusat, Cabang dan Ranting, sejak tahun 1950 itu dikenal juga istilah Majelis Perwakilan Pusat yang tugas dan fungsinya hampir sama dengan Konsul yang berlaku di masa penjajahan. Salah seorang anggota pimpinan itu tertulis Ibu D. Pardjaman yang menjabat sebagai Ketua Aisyiyah. Hanya saja, Majelis Perwakilan Pusat ini tidak hanya ada di tingkat Propinsi melainkan juga diberlakukan di tingkat keresidenan.
Jawa Barat sendiri, sebagaimana yang berlaku di struktur pemerintahan terbagi ke dalam 5 daerah keresidenan, yaitu Daerah Priangan, Cirebon, Bogor, Banten dan Jakarta yang meliputi Kabupaten/Kotamadya Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Di Daerah Priangan mengutip keterangan dari Mahyudin Kahar, secara berurutan Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Daerah Priangan dipimpin oleh Asnawi Hadisiswojo (periode 1951 - 1953), H. Adang Affandi (periode 1953 - 1956), H. Zainuddin (periode 1956 - 1962), Hambali Ahmad (periode 1962 - 1965) dan H. Sulaeman Faruq (periode 1965 - 1968). Pada perkembangan selanjutnya, Daerah Priangan ini dibagi dua menjadi Daerah Priangan Timur yang meliputi Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Sedangkan Priangan Barat terdiri dari Kabupaten Bandung, Kotamadya Bandung, dan Kabupaten Sumedang.
H. R. Sutalaksana sendiri nampaknya berkedudukan sebagai Ketua Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat berlangsung dari tahun 1950 - 1959. Hal ini didasarkan kepada keterangan dari Mahyudin Kahar bahwa pada tanggal 19 September 1959 telah diselenggarakan Konferensi Majelis Pimpinan Muhammaiyah se Jawa Barat, yang salah satu keputusannya mengusulkan dua orang nama yaitu H. Adang Affandi dan Ahmad Syihabuddin untuk ditetapkan menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah (MPM) Jawa Barat periode 1959 - 1962. Pada tanggal 25 Oktober 1959 bertempat di Kantor Cabang Muhammadiyah Bandung JI. Karapitan No. 93, Djindar Tamimy atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah melantik susunan pengurus Majelis Pimpinan Muhammadiyah Jawa Barat yang terdiri dari :
Ketua : H. Adang Affandi
Wk. Ketua : Suto Adiwidjojo
Sekretaris : Mahyudin Kahar
Bendahara : H. Anda
Anggota : H. Zainuddin
Ahmad Syihabuddin
Muhammad Fadjri
Zainal Abidin Syu'eb
Sulaiman Amir
Muhktar Sutan Pangulu
Aisyiyah di Jawa Barat, sebelum dibentuk sebagai pimpinan wilayah nampaknya kedudukannya masih berstatus sebagai pembantu pimpinan menyertai pimpinan persyarikatan yang ada dan berlaku saat itu. Ketika Muhammadiyah cabang Garut mendirikan Aisyiyah pada tahun 1925, statusnya masih sebagai pembantu pimpinan dengan sebutan "Bagian" Aisyiyah sejajar kedudukannya dengan bagian tabligh yang sampai saat ini merupakan salah satu unsur pembantu pimpinan dengan istilah Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus.
Dalam lampiran II buku Nyai Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya, mengutip dari Majalah Suara Muhammadiyah No. 2 Shafar 1360 (Maret 1941) tahun ke XXVI diuraikan tentang perwakilan - perwakilan Aisyiyah se Indonesia sampai tahun 1940. Anak judul lampiran tersebut berbunyi "Cabang dan Grup Muhammadiyah yang sudah ada bagian Aisyiyahnya tercatat sampai pada akhir tahun 1940...". Pernyataan ini menunjukan bahwa sampai tahun 1940 Aisyiyah belum berdiri sendiri sebagai Organisasi Otonom Muhammadiyah, tetapi masih sebagai salah satu unsur pembantu pimpinan. Karena itu, sekalipun dalam majalah "Amal" nomor. 24 yang dikeluarkan oleh Cabang Muhammadiyah Bandung tahun 1937 terdapat sebuah rubrik bernama Gentra Istri yang diberi keterangan bahwa rubrik ini diasuh oleh Aisyiyah Cabang Bandung, bukan berarti bahwa pada tahun 1937, Aisyiyah di Bandung sudah berdiri sendiri sebagai Organisasi Otonom (Ortom) Muhammadiyah.
Masih dalam buku yang sama, hal 86 disebutkan bahwa "Setelah tahun 1939 yaitu menjelang keruntuhan pemerintah Hindia Belanda `Aisyiyah telah berkembang di seluruh penjuru tanah air. Adapun Cabang - cabang dan Grup Muhammadiyah yang sudah ada Bagian Aisyiyahnya yang tercatat sampai akhir tahun 1940 adalah .....". Dalam redaksi inipun masih sama, bahwa Aisyiyah adalah "bagian" atau pembantu pimpinan. Di Jawa Barat, pada waktu itu sudah terdapat 24 buah cabang/grup Muhammadiyah yang memiliki bagian Aisyiyah. Sedangkan di tingkat pusat, sejak tahun 1927 disebut dengan Majelis `Aisyiyah.
Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aisyiyah hal 43 - 44 diterangkan bahwa Aisyiyah pernah mandiri, artinya Pimpinan Pusat Aisyiyah dan Muhammadiyah berdiri sejajar. Pada Tahun 1961, Aisyiyah kembali berubah menjadi salah satu Majelis dalam Muhammadiyah. Baru pada tahun 1966, melalui Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 1 tahun 1966 Aisyiyah ditetapkan sebagai salah satu Organisasi Otonom Muhammadiyah.
Penyebutan Majelis Aisyiyah terus berlangsung bahkan sampai Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung tahun 1965 dinyatakan selesai. Hal ini terbukti ketika menelaah buku semacam laporan penyelenggaraan Muktamar tersebut dengan judul "Selesai Beres Penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung". Di halaman awal buku itu, selain terdapat Kata Pengantar dan Sambutan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, terdapat pula sambutan dari Pimpinan Pusat Aisyiyah dengan judul ”Sambutan P.P. Madjlis `Aisjijah". Pimpinan Aisyiyah yang membuat sambutan itu dimungkinkan adalah Prof. Dra. Baroroh Baried, karena dalam susunan Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1962 - 1965 tertulis bahwa Ketua Madjlis Aisjijah adalah Dra. Baroroh Baried. Bahkan, tidak hanya itu, dalam buku "Keputusan Muktamar Muhammadijah ke 36 di Bandung" yang berisi Tanfidz Muktamar tersebut, pada halaman 15 disebutkan bahwa : "Mu'tamar memilih Anggauta2 P.P. Muhammadijah Madjlis `Aisjijah periode 1965 - 1968 dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : Dra. Baroroh Baried
Wakil Ketua I : Siti Aminah Dahlan
Wakil Ketua II : Alfijah Mohadi
Sekretaris I : Siti Wasingah Sjarbini
Sekretaris II : Siti Wasilah Barozi
Bendahari I : Sri Marjati Mualllif
Bendaharai II : Nafsijah Amin Sudomo
Dokumen tertua yang berkenaan dengan pimpinan Aisyiyah di Jawa Barat adalah buku ”Kenangan Konperensi Muhammadijah Daerah Priangan ke VI di Garut 7 s.d. 10 Nopember 1954". Pada halaman 18 buku tersebut tertulis Susunan Anggota Pimpinan Pusat, Jawa Barat dan Daerah Priangan. Pada susunan Anggota Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat yang diketuai oleh H. R. Sutalaksana terdapat Majelis 'Aisyiyah dengan ketuanya Ibu D. Pardjaman. Karena statusnya sebagai Wakil Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jawa Barat, maka periodisasinya dimungkinkan sama dengan periodisasi Pusat Pimpinan Muhammadiyah saat itu, yaitu tahun 1953 - 1956.
Selain susunan Anggota Majelis Perwakilan PP. Muhammadiyah Jawa Barat pada halaman 18 itu terdapat pula susunan Anggota Majelis Perwakilan PP Muhammadiyah Daerah Priangan tahun 1953 - 1956 yang dipimpin oleh H. Adang Affandi. Dalam susunan itu salah satunya disebutkan Ketua PAD, yaitu Asma Taib. PAD, di lingkungan Persyarikatan dikenal merupakan singkatan dari Pimpinan Aisyiyah Daerah. Seperti penyebutan pimpinan Muhammadiyah yaitu dengan PMD yang merupakan singkatan dari Pimpinan Muhammadiyah Daerah, PMC dari Pimpinan Muhammadiyah Cabang dan PMW dari Pimpinan Muhammadiyah Wilayah. Hal ini berlaku sebelum lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor. 5 tahun 1986 tadi. Sehingga dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun 1953 - 1956 Aisyiyah di Daerah Priangan dipimpin oleh Asma Taib, sementara di tingkat lebih atasnya, yaitu di tingkat propinsi Jawa Barat dipimpin oleh Ibu D. Pardjaman. Susunan lengkap Angggota pimpinan Muhammadiyah pada periode 1953 - 1956 tersebut adalah :
Susunan Anggota Majelis Perwakilan Propinsi Jawa Barat :
1. Ketua (Wk. P.P.M.) H. R. Sutalaksana
2. Penulis/Bendahari D. Rasjidi
3. Tabligh K. H. Asnawi Hadisiswojo
4. Pengajaran Suto Adiwidjojo
5. P.K.U. Ahmad Hadidjojo
6. 'Aisjijah Ibu D. Pardjaman
7. Pemuda / H. W. A. Malik Syafe'ie
Susunan Anggota Majelis Perwakilan Daerah Priangan :
1. Ketua (Wk. P.P.M.) H. Adang Affandi
2. Wakil Ketua P. Pardjaman
3. Penulis I N. Muchtar Sutan Panguulu
4. Penulis II R. Moh Kosim
5. Bendahari R . Abdul Latief
6. Ketua Tarjih Iping Zenal Abidin
7. Ketua Tabligh Agus Hakim
8. Ketua Pengajaran Suto Adiwidjojo
9. Ketua PKU H. Anda
10. Ketua Hikmah M. S. Kamawidjaja
11.Ketua HW Mahjudin Kahar
12. Ketua PAD Asma Taib
13 Anggota A. Malik Syafeie
Moch. Fadjri
Abdullah Hakim
Kamasasmita
Hamim Tanupradja
Moh. Abbas
Keberadaan Wakil Pimpinan Pusat termasuk di dalamnya Aisyiyah baik di tingkat Propinsi Jawa Barat maupun Daerah Priangan adalah merupakan bagian dari ciri Muhammadiyah yang selalu bergerak secara dinamis. Nampaknya, keberadaan Wakil Pimpinan Pusat di tingkat Propinsi dan Daerah itu adalah dalam rangka menyesuaikan struktur pemerintahan yang membagi satu wilayah propinsi ke dalam beberapa keresidenan. Dengan demikian, Wakil Pimpinan Pusat di tingkat Propinsi bertugas untuk membina dan mengkoordinasikan Muhammadiyah se propinsi Jawa Barat. Sedangkan Wakil Pimpinan Daerah Priangan membina dan mengkoordinasi Muhammadiyah se keresidenan Priangan. Di tingkat lebih bawahnya, tingkat pimpinan Muhammadiyah kembali kepada struktur yang baku yaitu Pimpinan Cabang dan Ranting. Demikian halnya dengan keberadaan Aisyiyah. Sekalipun masih berstatus sebagai salah satu unsur pimpinan, di bawahnya terdapat pula perwakilan Aisyiyah di tingkat cabang dan ranting. Mengenai jumlah cabang Aisyiyah di Jawa Barat sampai tahun 1965, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
A. Jumlah Utusan Aisyiyah Jawa Barat pada Muktamar Muhammadiyah ke 36 Tahun 1965 di Bandung :
No |
Daerah / Keresidenan |
Jumlah Utusan |
1 |
Ker. Banten |
6 |
2 |
Ker. Jakarta |
43 |
3 |
Ker. Bogor |
23 |
4 |
Ker. Priangan |
38 |
5 |
Ker. Cirebon |
17 |
|
Jumlah |
127 |
B. Daftar Nama Cabang Aisyiyah di Jawa Barat Tahun 1965 (Berdasarkan Pembayaran SWO Muktamar Muhammadiyah ke 36 Tahun 1965 di Bandung)
1. Daerah Keresidenan Banten 2. Daerah Keresidenan Jakarta
No Nama Cabang No Nama Cabang
1 Kubang Kondang 1 Tangerang
2 Menes 2 Karawang
3 Labuan 3 Pabuaran
4 Teluk Jambe
3. Daerah Keresidenan Bogor 4. Daerah Keresidenan Cirebon
No Nama Cabang No Nama Cabang
1 Leuwiliang 1 Cirebon
2 Bogor 2 Kuningan
3 Cianjur 3 Kalitengah
4 Jasinga 4 Indramayu
5 Depok 5 Losari
6 Sukabumi 6 Jamblang
7 Cipanas 7 Jatibarang
8 Jampang Kulon 8 Jatiwangi
9 Kadipaten
10 Ciledug
11 Haurgeulis
12 Ketanggungan
13 Sindanglaut
5. Daerah Keresidenan Priangan
No Nama Cabang No Nama Cabang
1 Bandung 12 Bandung Timur
2 Singaparna 13 Cicalengka
3 Tasikmalaya 14 Cikoneng
4 Cimahi 15 Ciparay
5 Cipanas 16 Pangandaran
6 Sumedang 17 Bojong Malaka
7 Cililin 18 Ciamis
8 Bojonegara 19 Cijulang
9 Kadungora 20 Karangpawitan
10 Garut 21 Cibeureum
11 Bandung Utara 22 Limbangan
Mencermati susunan panitia penerima Muktamar ke 36 tahun 1965 di Bandung, di bawah H. Adang Affandi yang menjabat sebagai Ketua Umum terdapat jabatan Wakil Ketua Umum yang diduduki oleh Ny. Djunah Pardjaman. Sedangkan pada jabatan Sekretaris Umum dipegang oleh Mahjudin Kahar dengan Wakil Sekretaris Umum Ny. R. A. Danumihardja. Kalau mendasarkan kepada tradisi yang berlaku di lingkungan Muhammadiyah terutama dalam menyusun kepanitiaan, biasanya apabila panitia yang dibentuk adalah untuk kepentingan beberapa pihak, maka masing - masing pihak menempatkan pucuk pimpinannya sebagai perwakilan dalam pucuk kepantiaan tersebut. Penyelenggaaan Muktamar Muhammadiyah ke 36 adalah juga merupakan perhelatan akbar bagi Aisyiyah. Karena itu ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah menempatkan H. Adang Affandi dan Mahyudin Kahar yang pada waktu itu adalah Ketua dan Sekretaris Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat (MPM Propinsi Jawa Barat) diangkat sebagai Ketua dan Sekretais Umum Pantia Muktamar, maka sebagai wakil ketua dan wakil sekretaris umum tersebut akan diangkat pucuk pimpinan Aisyiyah wilayah Jawa Barat (MPM Aisyiyah Jawa Barat). Sampai di sini kita mendapatkan kesimpulan bahwa pada periode 1962 - 1965 Aisyiyah Jawa Barat dipimpin oleh Ny. Djunah Pardjaman sebagai Ketua dan Ny. R. A. Danumihardja sebagai Sekretaris.
Dugaan terjadi perubahan di persyarikatan muhammadiyah Jawa Barat dimana status aisyiyah Jawa Barat berubah dari sebelumnya sebagai salah satu majelis atau unsur pembantu pimpinan Persyarikatan menjadi organisasi otonom terjadi pada periode 1965 - 1968. Dugaan ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1. Dalam berbagai dokumen resmi tentang penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah ke 36 di Bandung pada tahun 1965, penyebutan Aisyiyah masih di dahului dengan kata Majelis. Termasuk ketika Aisyiyah menyampaikan sambutan dalam buku ”Selesai Beres" penyelengaraan Muktamar tersebut. Kata sambutan itu diberi judul "Sambutan P. P. Madjlis Aisjijah", di tulis di Yogyakarta tanggal 1 Desember 1965. Sebagaimana diketahui bahwa awalnya (1922) Aisyiyah disebut sebagai salah satu bagian Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1927, Aisyiyah menjadi Majelis. Sekalipun menurut catatan Junus Salam Aisyiyah sudah berstatus otonom, namun dalam kenyataan dokumen - dokumen Muktamar tahun 1965 itu masih tetap disebut sebagai Majelis Aisyiyah.
2. Salah satu butir keputusan Muktamar Aisyiyah tahun 1965 tentang Organisasi point 1 (satu) disebutkan : "Mu'tamar memilih Anggauta2 P.P. Muhammadiyah Madjlis `Aisjijah periode 1965 - 1968 dengan susunan ......" (Kep Muk. Hal 15). Pimpinan Aisyiyah yang terpilih pada saat itu adalah periode tahun 1965 - 1968. Dengan demikian penyebutan "P.P. Muhammadiyah Madjlis `Aisjijah", setidaknya akan berlaku sampai diselenggarakannya Muktamar yang sama di tahun 1968. Rupanya, sekalipun Aisyiyah masih berstatus pembantu pimpinan Persyarikatan, namun untuk menentukan pimpinannya sudah melalui pemilihan, tidak diangkat seperti halnya yang berlaku untuk menentukan unsur pembantu pimpinan saat ini.
3. Salah satu keputusan Musyawarah Nasyiatul `Aisyiyah ke I yang berlangsung bersamaan dengan Muktamar Muhammadiyah ke 35 pada tanggal 19 - 24 Juli 1965 di Bandung menyatakan : "Pimpinan Pusat Madjlis `Aisjijah Seksi Nasjiatul `Aisjijah, menjadi Pimpinan Pusat Nasjiatul `Aisjijah" (Kep Muk. Hal 15). Redaksi ini memberikan keterangan bahwa Aisyiyah sebagai salah satu unsur pembantu pimpinan di dalamnya juga memiliki bagian/seksi. Salah satunya adalah Seksi Nasyiatul Aisyiyah disingkat NA. Awalnya bernama Siswo Proyo Wanito. Perubahan nama terjadi dalam kongres ke XX tahun 1931 di Yogyakarta. Kalau melihat redaksi keputusan Musyawarah NA di atas, nampaknya NA. lebih dahulu mengalami perubahan menjadi organisasi otonom yang terjadi pada tahun 1965 ketimbang Aisyiyah sendiri. Sama halnya dengan Pemuda Muhammadiyah, yang sudah berubah status sebagai Ortom sejak tahun 1956, sehingga dapat dipahami kalau Muktamar Pemuda Muhammadiyah tahun 1962 di Kota Garut disebut sebagai Muktamar ke III dengan perhitungan setiap periodisasi berjalan selama 3 tahun, yaitu 1956 - 1959, kemudian periode 1959 - 1962.
4. Surat Keputusan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor 094/PPA/A/XI/1988 Berisi tentang Pendirian Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat. Penyebutan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat, menunjukan bahwa Aisyiyah pada saat itu sudah berstatus sebagai Ortom, tidak seperti sebelumnya yang selalu menyebut PP. Muhammadiyah Majelis Aisyiyah.
Menganalisa dari titi mangsa Surat Keputusan Berdrinya PWA Jawa Barat tersebut yaitu tanggal 22 Sya'ban 1388 H. yang bertepatan dengan 16 Februari 1969 juga memberikan beberapa petunjuk bahwa :
Pertama, perubahan status Aisyiyah dari pembantun pimpinan menjadi Ortom tersebut dimungkinkan dikukuhkan dalam Muktamar ke 37 tahun 1968 di Yogyakarta. Kedua, perubahan status ini juga disertai dengan perubahan struktur pimpinan Persyarikatan, yang menurut hasil keputusan Muktamar ke 36 tahun 1965 tingkat kepemimpinan itu terdiri dari Pimpinan Pusat, Wilayah di tingkat propinsi, Daerah di tingkat Kabupaten, Cabang di tingkat kecamatan dan yang paling rendah adalah ranting. Sebagai contoh, Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat saja baru diresmikan pada tanggal 20 Maret 1966, satu tahun setelah berlangsungnya Muktamar tersebut. Padahal Muhammadiyah telah menginjak Jawa Barat sejak tahun 1919. Hanya saja kepemimpinan Muhammadiyah di tingkat propinsi pernah mengalami beberapa kali perubahan seperti Konsulat atau Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat.
Artinya, ketika berdirinya Pimpinan Aisyiyah Wilayah Jawa Barat pada saat itu juga bersamaan dengan perubahan status Aisyiyah secara keseluruhan dari pembantu pimpinan menjadi Ortom disamping juga pemberlakuan struktur kepemimpinan baru dari awalnya memakai nama Konsulat, kemudian Majelis Perwakilan Pimpinan Pusat dan terakhir Pimpinan Wilayah, atau tepatnya saat itu bernama Pimpinan Aisyiyah Wilayah (PAW) Jawa Barat.
Periodesasi Kepengurusan Pimpinan Wilayah ’Aisyiyah Jawa Barat :
Periode 1968 - 1978 Ketua Hj. Siti Fatimah
Periode 1978 - 1985 Ketua Hj. Siti Mariah
Periode 1985 - 1990 Ketua Hj. Sabiqah Suwarno
Sekertaris Atjeu Dachjat
Pada Musyawarah Wilayah Aisyiyah Jawa Barat tahun 1990, Hj. Sabiqah Suwarno kembali dipercaya memimpin Aisyiyah di Jawa Barat. Susunan lengkap Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat periode tahun 1990 - 1995, sesuai dengan Surat Keputusan PP. Aisyiyah nomor. 008/PPA/A/VIII tertanggal 19 Agustus 1991 adalah :
Ketua : Hj. Sabiqah Suwarno
Wakil Ketua I : Hj. Siti Maemunah
Wakil Ketua II : Hj. Eros Sutardi
Wakil Ketua III : Dra. Kiki Zakiah
Wakil Ketua IV : Hj. Lien Syahron Fadjar
Sekretaris I : Dra. Syafiani Syafi'i
Sekretaris II : Euis Susana
Bendahari I : Hj. Jubaedah Sulaeman Amir
Bendahari II : Noneng Juhaeni
Anggota : Hj. H. M. J. Irawan Hj. A. Sadali
E. Umidah Hendarsih Titiek Sumarni
Pada Musyawarah Wilayah Aisyiyah Jawa Barat yang berlangsung pada tanggal 17 - 19 Desember 1995 di Bandung, ditetapkan bahwa susunan lengkap Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Barat periode tahun 1995 - 2000 sebagaimana bunyi Surat Keputusan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor 023/SK-W4/PPA/A/I/'96 tanggal 27 Sya'ban 1416 H bertepatan dengan tanggal 19 Januari 1996, adalah :
Penasehat : Hj. Sabiqah Suwarno
Ketua : Hj. Kiki Zakiah
Wakil Ketua I : Hj. Nunung Oden
Wakil Ketua II : Dra. Syafiani Syafii
Wakil Ketua III : Dra. Baringah Tri Kusumo
Wakil Ketua IV : Hj. Siti Maemunah
Sekretaris I : Hj. Euis Susana
Sekretaris II : Hj. Cucu Suryasih Rakhmat
Bendahari I : Noneng Djuheni
Bendahari II : Hj. Ikah Mudrikah
Anggota : Hj. Siti Rogayah Buchori Hj. Fathonah Gaos
Dra. Hj. Yetti Nurulhayati, Atjeu Barnasih, Atoen Fauziatun, Akilah Syamsudin, Hj. Rumdiah Y. Djemad
Bagian Tabligh :
Ketua : Hj. Siti Maemunah
Wakil : Nana Hamdanah
Sekertaris : Hj. Siti Zainab AR
Wakil : Hj. Etty Suryati
Bendahara : Hj. Soka Teguh
Wakil : Hj. Popon Haolati
Anggota : Hj. Nunung Oden, Dra. Hj. Muthiah Umar, Atje Barnasih, Hj. Rhilah Azis, Hj. Euis Ma’mun, Hj. Euis Cucu
Bagian Pemb. Kesehatan :
Ketua : dr. Hj. Yettu A. Gunadi
Sekertaris : Hj. Iis Sadi’ah, BA
Bendahara : Tuti Yustiani, S.Ag
Anggota Seksi : Hj. Y. Nurulhayati Sulaeman, Atoen Fauziatun, Dra, Hj. Syafiani Syafi’i, Hj. Atikah Sadali, H. Yayah Anda, Hj. Rumdiyah Y. Djemat, Hj. Noneng Djuhaeni, Atje Barnasih, Hj. Tati Rohendi, Saodah Salim, SE
Bagian Ekonomi :
Ketua : Dra. Hj. Baringah Tri Kusumo
Wakil Ketua 1 : Hj. Yohana Kamal
Wakil Ketua 2 : Dra. Hj. Indrawati Ismail
Sekertaris 1 : Hj. Anny Rosyida Ahmad
Sekertaris 2 : Dra. Hj. Happy Sunarti Burdan
Bendahara 1 : Hj. Yaswir Burhan
Bendahara 2 : Hj. Ikah Mudrikah
Anggota : Hj. Nunung Oden, Hj. Eros Sutardi, Dra. Yunifia Hadi
Badian Dikbud :
Ketua : Dra. Hj. Syafiani Syafi’i
Waki Ketua : Dra. Hj. Nin Kania Kowiah Akhlan
Sekertaris : Hj. Rosmita T.
Bendahara : Hj. Cucu Suryasih Rahmat
Bagian Kesos :
Ketua : Hj. Nunung Oden
Wakil Ketua : Hj. Rumdiyah Y. Djemad
Sekertaris : Saodah Salim, SE
Bendahara : Hj. Rochayati Odjou
Anggota : Hj. Fathonah, Hj. Nining, Nida’ul Hidayah, S.Si, Hj. Nina Ratna Sadiah, A.Md, Nani Ichsanuddin, Dra. Hj. Muthiah Umar.
Bagian Kaderiasasi : Atoen Fauziatun
Sekertaris : Hj. Enok Rochaeti
Bendahara : Hj. Iis Sadi’ah, BA
Anggota : Entin Siti Sofia, Dra. Sri Anggraeni, M.Sc
Susunan PW. Aisyiyah Jawa Barat periode 2000 - 2005 sebagaimana pengesahan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor 30/SK/PPA/A/I/2001 tanggal 1 Dzulqadah 1421 H bertepatan dengan tanggal 25 Januari 2001 mengalami penambahan dari yang ditetapkan di Musywil sebanyak 13 orang menjadi 17 orang dengan susunan sebagai berikut :
Ketua : Hj. Siti Maemunah
Wakil Ketua : Hj. Nunung Oden
Wakil Ketua : Dra. Hj. Syafiani Syafii
Wakil Ketua : Hj. Euis Susana
Sekretaris : Hj. Noneng Djuhaeni
Wakil Sekretaris : Hj. Rosmita T
Bendahara : Hj. Cucu Suryasih
Wakil Bendahari : Hj. T. Mahmudah
Ketua - ketua Bagian
Tabligh : Oom Komariah
Ekonomi : Dra. Hj. Nin Kania Kowiyah Achlan
K a d e r : Hj. Enok Rohaeti
Pendidikan Tinggi : dr. Hj. Atti Semiati Semaun, MM.
Dikdasmen : Hy. Yetti Nurulhayati
Binkes dan Ling. Hidup : dr. Yetti Gunadi
Bikesos/PKS : Hj. Rumdiyah Djemat
H L O : Dra. Hj. Mutiah Umar, M.Si.*
Di tengah perjalanan, karena tenaganya dibutuhkan untuk membantu di Bagian Pendidikan Tinggi, Ketua HLO diserah-terimakan dari Dra. Hj. Mutiah Umar, Msi kepada Hj. Atjeu Barnasih.
Melalui hasil Musyawarah Wilayah ’Aisyiyah Jawa Barat pada tahun 2005, Susunan PW. Aisyiyah Jawa Barat periode 2005 - 2010 sebagaimana pengesahan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor 88/SK/PPA/A/I/2006 tanggal 11 Dzulhijah 1426 H bertepatan dengan tanggal 20 Januari 2016 dengan susunan sebagai berikut :
Penasihat : Hj. Nunung Mu’minah Oden
Penasihat : Hj. Eros Sutardi
Ketua : Hj. Noneng Djuhaeni, S.Pd.
Wakil Ketua I : Hj. Euis Susana
Wakil Ketua II : Dra. Hj. Nin Kania K. Ahlan
Wakil Ketua III : Dra. Hj. Sri Anggraeni, M.S.
Wakil Ketua IV : Dra. Ia Kurniati
Sekretaris : Dra. Hj. Muthiah Umar, M.Si.
Wakil Sekretaris II : Dra. Hj. Mulyati
Bendahara : Hj. Rosmita
Wakil Bendahara I : Hj. Siti At Sholihat
Wakil Bendahara II : Sri Susilawati, S.Pd.
1. Majelis Dikdasmen :
Ketua : Hj. Djubaedah
Sekretaris : Dra. Akmaliyah, M.Ag.
Bendahara : Nur Atinah Wargaatmaja
Anggota :
Neneng Iliah, S.Pd.
Niknik Kadarmanik
Dra. Ema Mardiyah
Titim Fatimah
Dra. Imas Maesyaroh.
2.Majelis Tabligh
Ketua : Hj. T. Mahmudah
Wakil Ketua : Hj. Siti Djaodjah Annisa
Sekretaris : Hj. Ety Syuryati
Bendahara : Hj. Tjutju Choerunnisa
Anggota :
Dra. Hj. Malihah
Dra. Hj. Nenden Wardah
3.Majelis Kesehatan dan Lingk Hidup
Ketua : Tia Setiawati, S.Kp.
Sekretaris : Santy Sanusi, S.Kep.Ners
Bendahara : Hj. Yayah Anda
Anggota :
Dra. Hj. Ida Lisni, Msi, Apt
4.Majelis Kesejahteraan Sosial
Ketua : Hj. Atjeu Siti Barnasih D.
Wakil Ketua : Hj. Rumdiah Y. Djemad
Sekretaris : Hj. Saodah Salim, SE
Bendahara : Hj. Rochayati Ojon
Anggota :
Hj. Fathonah Gaos
Hj. Nining
5.Majelis Ekonomi
Ketua : Hj. Siti Zainab
Sekretaris : Hj. Entang Yohanah, S.Pd.
Bendahara : Nani Rohani Ichsanudin
Anggota :
Dra. Pupun Sapuroh, M.Pd.
Tati Hartati, S.Ag.
Pupu Nurul Amanah, S.Psi.
6.Koperasi Aisyiyah :
Ketua : Dra. Hj. Baringah Tri Kusumo
Bendahara : Dra. Hj. Happy Burdan
Anggota Koperasi : Hj. Ikah Mudrikah
7.Majelis Pembina Kader
Ketua : Hj. Enok Rokhaeti
Sekretaris M P K : Fauziatun
Bendahara M P K : Dra. Annisa Fauziah
Anggota M P K : Dra. Fenti Hikmawati, M.Si.
8.Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Ketua : Dra. Yusi Riksa Y. M.Pd.
Sekretaris : Dra. Kokom Komariah
Bendahara : Suriati Edi
Anggota :
Dra. Hj. Dedeh AS.
9.Lembaga Hubungan Organisasi Hukum dan Advokasi
Ketua : Hj. Silviana Astuti, S.H.
Sekretaris : Hj. Heni Nuraeni, SH.
Bendahara : Hj. Anny Rosyida
Anggota :
Dhani Umi Lestari
Dra. Dian Nursyamsiah, S.Ag.
10. Badan Pelaksana Harian AKPER-AKBID
Ketua : Dr. Hj. Atti Semiati, M.M
Sekretaris : Hayinah Rahayu,S.Ag.
Bendahara : Dra. Hj. Yati Mulyati
Anggota :
Dra.Hj.Nan Rahminawati, M.Si
Teti Rahmawati, SE.Ak.
Melalui hasil Musyawarah Wilayah ’Aisyiyah Jawa Barat pada tahun 2010, Susunan PW. Aisyiyah Jawa Barat periode 2010 - 2015 sebagaimana pengesahan Pimpinan Pusat Aisyiyah nomor 20/SK/PPA/A/I/2011 tanggal 10 Dzulqadah 1431 H bertepatan dengan tanggal 2 Januari 2011 dengan susunan sebagai berikut :
Penasihat : Dra.Hj. Nin Kania K. Ahlan, M.Pd
Penasihat : Dra. Hj. Syafiani Syafii
Ketua : Dra. Hj. Muthiah Umar, M.Si.
Wakil Ketua I : Dra. Hj.Ia Kurniati, MPd.
Wakil Ketua II : Heni Nur’aeni, SH.
Wakil Ketua III : Dra. Yusi Riksa Y. M.Pd.
Wakil Ketua IV : Dr. Hj. Sri Anggraeni, M.S.
Sekretaris : Dra. Hj. Mulyati
Wakil Sekretaris I : Tia Setiawati, S.Kp.
Wakil Sekretaris II : Nikmah Zaita, ST.
Bendahara : Dra.Hj. Yati Mulyati
Wakil Bendahara : Hj. Enok Rokhaeti
Ketua Majelis Tabligh : Dra. Hj. Lenny Oemar,MPd.I
Wk.Ketua : Hj. Siti Zainab
Sekretaris : Hayinah Rahayu, S.Ag.
Wk.Sekretaris : Hj. Entang Yohanah, S.Pd
Bendahara : Tatih Hartati, S.Ag.
Anggota
Hj. T. Mahmudah
Dra. Hj. Malihah
Hj. Ety Syuryati
Nur Rohmah
Lina Oemar
1. Majelis Dikdasmen
Ketua : Hj. Djubaedah
Sekretaris : Dra. Kokom Komariah
Bendahara : Dra.Hj. Nurjanah
Anggota :
Dra. Ema Mardiyah
Hj. Siti At Sholihat
Dra.Pupun Sapuroh, M.Pd
Dra.Teti Ratnasih, M.Ag.
Qoriatur Rodiah Suhada
Ir. Rini Kartini
Dida Hamidah, M. Si.
Dra. Tita Ariyanti, M.M.Pd
2. Majelis Ekonomi
Ketua : Hj. Rosmita Tarmizi
Wakil Ketua : Hj. Suriati Edy
Sekretaris : Ira Sri Nugrahawati
Bendahara : Hj. Atikah
Wk.Bendahara : Nurhidayati Harun, S.Far.Apt
Anggota :
Dra.Hj.Siti Baringah Tri Kusumo
Hj. Ikah Mudrikah
Siti Maemunah
Mudrikah, ST.
Tantri Widiastuti, SE.
Widya Rinanti
Irma Hersusiana
3. Majelis Pembinaan Kader
Ketua : Fauziatun
Sekretaris : Dra. Titeu Desty Sumirat
Bendahara : Dra. Annisa Fauziah
Anggota :
Dra. Susi Indriana
Nurul Jannah S.Kp.
Nina Rahayu (IPMwati)
Ira Adiyati Rum,S.Si,M.Si.
Eris Risnawati
Triana Dewi Safariah, S.Kp.
Dra. Tuti Kusmiati
4, Majelis Kesejahteraan Sosial
Ketua : Hj. Saodah Salim, SE
Sekretaris : Inggriane Puspitadewi,S.Kep.Ners
Bendahara : Hj. Rochayati Odjon
Anggota :
Hj. Atjeu Siti Barnasih D.
Hj. Uum Rumdiah Gozali
Nani Rochani
Mahrita, S.Pd.I
Hj. Rukiah
Ine Noviyanti
5. Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup
Ketua : Hj. Euis Susana
Wakil Ketua : dr. Hj. Dwiwahju Dian Indahwati Sp.Og
Sekretaris : Dede Marliah, M.Kes.
Bendahara : Hj. Trisnaningsih Akhyar
Wkl Bendahara : Ai Rosita
Anggota :
Hj. Hotindrajati
Maya Sukmayati, S.ST.
Puti Sarah Sagurawati,S.Kep.Ners.
Fatiah Handayani, S.ST
Hj. Siti Djaodjah Annisa
Tjutju Choerunnisa
Rini Susiati, SKM
dr. Hj.Atti Semiati Semaun,M.M.
Hj. Yayah Anda
Dra. Hj. Happy Burdan
6. Majelis Hukum dan HAM
Ketua : Nia Kania Winayanti,SH,MH.
Sekretaris : Tuti Rastuti, SH, MH.
Bendahara : Hartini Syafii, SH.
Anggota :
Dewi Mayaningsih, SH.
Dr.Hj.Ummi M.,SH.M.Hum.
Hj.Dewi Asri Yustia,SH. MH.
Fajriah Salsabila F, S.Psi
7. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Ketua : Ririn Dewi Wulandari, SE,MM.
Sekretaris : Dr. Hj. Yosini Deliana, Ir. MS.
Bendahara : Salami, S.Kp.
Anggota :
Dewi Mustikaningsih, S.Kep.Ners.
Maya Hikmatyati, S.Si.
8. Lembaga Kebudayaan
Ketua : Santy Sanusi, S.Kep.Ners
Sekretaris : Pupu Nurul Amanah, S.Psi
Bendahara : Nina Gartika, S.Kp.
Anggota :
Popi Siti Aisyah, S.Kep Ners
Selli Yuniarti
Dra. Setiarini
Elisa Kurnia Dewi, M.Si.
Heni Suhartati, S. Ikom
9. Badan Pelaksana Harian STIKes Aisyiyah
Ketua : Heni Nuraeni, SH.
Sekretaris : Hayinah Rahayu,S.Ag.
Bendahara : Teti Rahmawati, SE.Ak.
Anggota : Dr. Hj. Nan Rahminawati, M.Pd
10. Badan Pelaksana Harian Asrama STIKes Aisyiyah
Ketua : Dra. Hj. Malihah
Sekretaris : Dede Kurniawan, S.Th.I
Bendahara : Hj. Asri Tresnaasih, S.KM.
Anggota : Evi Kusumahati, S.ST
Rekam Jejak Kontribusi Aisyiyah Jawa Barat
Kontribusi Aisyiyah Jawa Barat dalam Kehidupan Masyarakat Kemunculan Aisyiyah di Jawa Barat yang diprediksi sejak tahun 1925, sekitar tujuh tahun setelah kelahirannya di Yogyakar.ta harus diakui telah memberikan kontribusi yang cukup besar di tengah masyarakat terutama dalam kehidupan keagamaan kaum wanita Jawa Barat. Uraian berikut ini merupakan langkah - langkah Aisyiyah yang pernah terrekam di tatar Pasundan dalam upayanya turut mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar - benarnya sebagai tujuan gerakan Persyarikatan secara keseluruhan.
1. Pada tahun 1926, Aisyiyah di Kota Garut telah mampu mendirikan Mushola Aisyiyah. Masjid ini berdiri dimaksudkan selain sebagai pusat peribadatan juga menjadi pusat aktivitas Aisyiyah Cabang Garut. Menurut catatan Drs. Suratmin, SF. Mushola
Aisyiyah di Garut merupakan Mushola kedua yang didirikan oleh Aisyiyah di Nusantara. Adapun yang pertama didirikan di Yogyakarta. Dengan demikian, Mushola Aisyiyah adalah Mushola Aisyiyah Pertama di Jawa Barat, bahkan mungkin Mushola yang pertama di Jawa Barat yang didiri!can khusus untuk aktivitas kaum wanita.
2. Pada tahun 1930, Aisyiyah cabang Garut juga mendirikan sebuah Sekolah Aisyiyah. Sekolah ini juga dibuka khusus untuk anak anak wanita. Di antara nama - nama pengajar yang pernah mengabdikan diri sebagai guru di sekolah ini adalah : Siti Djunaerah, Siti Rumdasih, Siti Masnirah, dan Siti Dewi. Sekitar tahun 1938, sebagaimana penuturan Drs. H. Mahyudin Kahar, di Bandung pernah berdiri Madrasah Mu'alimat yang dipimpin oleh Ibu Hadiyah Salim, sebuah sekolah keagamaan yang khusus untuk kaum wanita. Sekolah itu dulu berlokasi di JI. Pangeran Sumedang (Sekarang JI. Otto Iskandardinata).
3. Di Kota Bandung, sejak tahun 1936 Aisyiyah berpartisipasi dalam penerbitan Majalah Muhammadiyah Cabang Bandung. Dalam majalah berbahasa sunda yang terbit dua kali sebulan itu terdapat satu rubrik bernama "Gentra Istri". Pada salah satu terbitannya yang masih utuh edisi ke 24 bulan Desember tahun 1924 hal 343, tulisan Gentra Istri itu diberi judul "Lebaran dina masjarakat bangsa oerang" di bawahnya terdapat tulisan Koe `Aisjiah Tjabang Bandoeng". Keterangan ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa rubrik ini oleh redaksinya diberikan khusus untuk Aisyiyah cabang Bandung saat itu.
Uraian tersebut di atas hanya beberapa contoh kongkrit mengenai kepeloporan Aisyiyah di tengah kehidupan masyarakat Jawa Barat. Lebih dari itu, saat ini Aisyiyah dengan jaringan organisasinya yang merata terus berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas amaliahnya ke semua bidang.
Salah satu program unggulan Aisyiyah yang digulirkan di tengah masyarakat adalah Program Pembinaan Keluarga Sakinah Aisyiyah (PKSA). Program ini merupakan program nasional Aisyiyah di bawah koordinasi bagian tabligh yang didasarkan kepada pertimbangan bahwa keluarga merupakan sebuah unit terkecil dalam suatu masyarakat yang memiliki andil dan pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan, perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Program Keluarga Sakinah, merupakan dasar ke arah pembentukan masyarakat marhamah dan baldah thayyibah. Karena itu program ini menjadi program yang serentak dilakukan oleh seluruh jajaran pimpinan sejak dari pusat sampai tingkat pimpinan paling rendah, yaitu ranting yang meliputi kehidupan beragama, pendidikan yang memadai, ekonomi yang stabil, terjaminnya kesehatan, dan penciptaan harmonisasi intern dan antar keluarga. Program ini mulai dicanangkan secara serentak pada Muktamar ke 41 di Surakarta tahun 1985.
Program ini juga digulirkan di seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan karena pada dasarnya program ini adalah program pembentukan keluarga ideal yang dicita - citakan seluruh anggota masyarakat. Karena itu pula program inipun menjadi garapan semua lini pimpinan Aisyiyah, baik Bagian Tabligh, Pendidikan, Bagian Ekonomi bahkan Bagian Kader sekalipun yang wujudnya dalam bentuk penyampaian informasi, komunikasi dan edukasi intensif kepada para remaja seperti tentang bahaya Narkoba, bahaya pergaulan bebas dan lain sebagainya.
Tidaklah mengherankan apabila program ini sangat mudah diterima masyarakat dan mendapat sambutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Melalui program ini Aisyiyah memeiliki kesempatan untuk bekerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan
Departemen Kesehatan, Departeman Agama, Departeman Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN), bahkan beberapa donor internasional seperti UNICEF, UNDP dan the Pathfinder Funds.
Dalam rangka perluasan cakupan program keluarga sakinah ini, PW. Aisyiyah Jawa Barat pernah melakukan kerja sama dengan beberapa instansi dan donor dalam bentuk :
1. Program Kesehatan Ibu dan Kelangsungan Hidup Anak (KIKHA).
2. Program Kelangsungan Hidup Pengembangan dan Perlindungan Ibu dan Anak (KHPPIA) yang bekerjasama dengan Kanwil Depag, Depkes, BKKBN dan BANGDES.
3. Pembinaan Wanita Desa (PWD) yang bekerjasama dengan The Pathfinder Funds
4. Pembinaan dan pendampingan RB/BKIA dan BP Aisyiyah melalui program Serice Delivery Expantion Suport (SDES).
Selain dengan beberapa instansi pemerintah dan donor tadi, Aisyiyah wilayah Jawa Barat baik secara personal maupun institusional turut mendukung dan bahkan terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan kewanitaan di Jawa Barat seperti di Badan Organisasi Wanita (BOW), Badan Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Badan Musyawarah Pendidikan Swasta (BMPS), Tim Penggerak PKK, Badan Kerjasama Wanita Islam (BKSWI) dan lain sebagainya. Beberapa personal Aisyiyah Jawa Barat bahkan menjadi pelopor pendirian BKSWI yang lahir di tahun 1962 ini. Tidak hanya itu, dua orang personal PVV Aisyiyah Jawa Barat secara berturut - turut pernah menjadi pucuk pimpinan BKSWI, yaitu Hj. Hadijah Salim yang memimpin BKSWI dari tahun 1963 - 1993 dan Hj. Siti Rogayah Buchorie pada tahun 1993 - 2001.
Dalam bidang keagamaan, tentu sudah tidak terhitung andil dan kiprah Aisyiyah di tengah masyarakat. Baik secara institusional maupun personal, Aisyiyah banyak memelopori kelompok - kelompok pengajian dan majelis ta'lim, khususnya yang diselenggarakan bagi kaum wanita. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan ketentuan mengikat organisasi sebagaimana bunyi Anggaran Rumah Tangga Aisyiyah pasal 10 ayat 3 (d) yang menyatakan bahwa salah satu syarat utama pendirian sebuah ranting Aisyiyah adalah harus memiliki kegiatan sekurang - kurangnya berupa pengajian anggota yang dilakukan secara rutin sedikitnya satu bulan sekali. Artinya, untuk mengukur jumlah pengajian yang dibina oleh Aisyiyah sedikitnya dapat mengambil ukuran dari jumlah pimpinan ranting yang ada. Belum lagi jumlah itu ditambah dengan kelompok pengajian yang dibina oleh Pimpinan Cabang, Daerah dan Wilayah yang karena wilayahnya cukup besar satu level pimpinan memungkinkan memiliki beberapa kelompok pengajian.
Kelompok - kelompok pengajian yang dibina Aisyiyah, biasanya cakupan juga cukup luas. Mereka tidak hanya melakukan kajian keagamaan. Kelompok tersebut juga biasanya menyelenggarakan kegaiatan keagamaan lainnya seperti memberikan bimbingan pengurusan jenazah, melakukan penyantunan kepada kaum dhu'afa, pembinaan kepada para muallaf. Bahkan Aisyiyah Jawa Barat khususnya pada periode 1990 - 1995 aktiv membina para tahanan wanita di beberapa Lembaga Pemasyarakatan di Bandung.
Dalam bidang pemberdayaan masyarakat, Aisyiyah memiliki program Qaryah Thayyibah. Program ini merupakan amanat Muktamar Aisyiyah ke 42 tahun 1990 di Yogyakarta. Qaryah Thayyibah merupakan program pembinaan dan pendampingan yang dilakukan oleh Aisyiyah terhadap kehidupan masyarakat di sebuah desa atau tempat.
Pembinaan dan pendampingan yang dimaksud adalah pembinaan dalam segala aspeknya baik pendidikan, kesehatan, ekonomi, hubungan sosial, maupun pemahaman keagamannya. Melalui program ini masyarakat di daerah binaan itu dapat terjamin pelaksanaan ajaran Islam yang diyakininya yang meliputi aspek aqidah, ibadah, akhlak maupun mu'amalah duniawiyahnya.
Guna membantu mengembangkan perekonomian, selain mengembangkan koperasi - koperasi dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) Aisyiyah juga memiliki program BUEKA. Nama BUEKA merupakan singkatan dari Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA). Program ini merupakan satu kesatuan unit kegiatan ekonomi dari Aisyiyah, oleh Aisyiyah dan untuk Aisyiyah. BUEKA adalah kumpulan orang bukan sekedar kumpulan modal. Biasanya terdiri dari 20 orang, mereka bergabung atas kehendak sendiri untuk bersama - sama berusaha memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan bersama.
Bidang Kesehatan dan Kelestarian Lingkungan Hidup, ternyata juga tidak luput dari perhatian Aisyiyah Jawa Barat. Bukti kongkrit dari perhatian mereka adalah berdirinya amal usaha bidang pelayanan kesehatan di bebeapa daerah baik dalam bentuk Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) bahkan Rumah Bersalin. Melalaui sarana ini Aisyiyah Jawa Barat memberikan bimbingan, penyuluhan bahkan pendampingan langsung kepada masyarakat untuk mengutamakan hidup sehat. Aisyiyah Jawa Barat juga pernah membina beberapa masyarakat di beberapa daerah/lingkungan dalam program jambanisasi. Untuk program ini PW. Aisyiyah Jawa Barat bekerjasama dengan UNICEF.
Dalam bidang sosial, telah banyak yang dilakukan oleh Aisyiyah khususnya Aisyiyah Jawa Barat. Selain secara spontan senantiasa menyalurkan berbagai bantuan kepada para korban bencana alam, Aisyiyah juga menyelenggarakan Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA). Panti Sosial ini diselenggarakan dalam beberapa bentuk yaitu Panti Asuhan Yatim (PAY), anak asuh yaitu anak yang mendapat bantuan dari Aisyiyah tetapi masih ikut dengan orang tua, dan yang terakhir adalah asuhan keluarga yaitu si anak berada dan bersatu dalam pengasuhan keluarga Aisyiyah.
Seperti Aisyiyah pada umumnya, dalam bidang pendidikan Aisyiyah Jawa Barat pun lebih banyak berorientasi kepada penyelenggaraan Taman Kanak - kanak, sekalipun bukan berarti bahwa hanya Taman Kanak - kanak saja yang menjadi garapan Aisyiyah. Sampai tahun 2007, PW. Aisyiyah Jawa Barat mencatat ada sebanyak 137 Taman Kanak - Kanak Busthanul Athfal (TK-ABA) yang dikelola oleh PW. Aisyiyah Jawa Barat, disamping dalam bentuk lain seperti Taman Kanak - kanak AI Qur'an (TKA), Taman Pendidikan AI Qur'an (TPA) dan lain sebagainya.
Selain Taman Kanak-kanak, di Jawa Barat Aisyiyah juga menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar dan menengah, yaitu :
AMAL USAHA AISYIYAH ]AWA BARAT BIDANG PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
No ]enis Amal Usaha Jumlah
1. Taman Kanak - kanak 137
2. Tempat Penitipan Anak 24
3. Madrasah Ibtidai ah 1
4. Madrasah Diniyah Awaliyah Puteri 10
5. Sekolah Luar Biasa 5
6. Sekolah Menengah Pertama 1
7. Sekolah Tinggi 1
Di tingkat pendidikan tinggi, sejak tanggal 23 Juni 1999 Aisyiyah Jawa Barat dipercaya menyelenggarakan Akademi Keperawatan (AKPER) dengan ijin penyelenggaraan No HK.00.06.1.3.1774 dari Departemen Kesehatan RI. Akademi Keperawatan Aisyiyah yang terletak di JI. Banteng Dalam No 6 Bandung ini penyelenggaraannya dimulai dari tahun 1972 dan diawali dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Aisyiyah dengan ijin penyelenggaraan diperoleh dari Depkes RI. No 51/E.V/Pend/1972 tertanggal 30 Juli 1972. Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Aisyiyah melahirkan 9 angkatan dengan jumlah lulusan sebanyak 234 orang.
Sesuai kebijakan pemerintah, SPR Aisyiyah pada tahun 1981 berubah menjadi Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Aisyiyah setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan ijin penyelenggaraan dari Departemen Kesehatan RI nomor 166./KEP/DIKLAT/KES/1981 tertanggal 16 Desember 1981. SPK Aisyiyah juga sempat melahirkan lulusan sebanyak 9 angkatan dengan jumlah lulusan sebanyak 540 orang. Kepercayaan masyarakat dan pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan pelayanan kesehatan ini terus berkembang dengan datangnya beberapa `kepercayaan dalam bentuk :
1. Tahun 1990 dibuka pula Program Pendidikan Bidan Swadaya;
2. Tahun 1992 mendapat kepercayaan membuka Program Pendidikan Bidan BKKBN;
3. Tahun 1993 - 1996 diselenggarakan Program Pendidikan Bidan Swadaya dan Bidan Desa.
4. Tahun 2007, tepatnya tanggal 16 Juni 2007 Akademi Keperawatan (AKPER) Aisyiyah Jawa Barat
5. Tahun 2008 berdiri Akademi Kebidanan Aisyiyah Jawa Barat, dan pada tahun 2012 ini kedua akademi tersebut dilebur menjadi satu kedalam Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKes) Aisyiyah Jawa Barat.