PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Barat
.: Home > Artikel

Homepage

ILMU TAFSIR BAGIAN DARI ILMU PENGETAHUAN YANG TIDAK PERNAH MENGENAL BERHENTI

.: Home > Artikel > PWM
20 Maret 2012 16:52 WIB
Dibaca: 3445
Penulis :

 

ILMU TAFSIR BAGIAN DARI ILMU PENGETAHUAN

YANG TIDAK PERNAH MENGENAL BERHENTI [1]

 

H. Ayat Dimyati

 

I

Puji serta syukur kita panjatkan kepada Zat Yang Maha Kuasa, Allah SWT. Dengan segala kasih sayang-Nya, kehidupan ini tetap  berada dalam genggaman-Nya; dan segala perubahan yang terjadi di alam raya ini,  tidak keluar dari kendali ke Maha Kuasaan-Nya, serta tetap berada di bawah payung hukum-hukum-Nya yang universal, berkeseimbangan  dan abadi. Namun, umat kan manusia, sering terkena lupa dan lalai dan menjauh dari kebenaran; bahkan tidak sedikit manusia menjauh dari kebenaran yang sudah diketahuinya, karena sesuatu yang menggoda dirinya, sekalipun ia harus meninggalkan tanggung jawabnya. Ilmu Tafsir, merupakan cabang dari ‘Ilmu Naqliy, sebagaimana istilah Al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mustasyfa min ‘Ilmi al-Ushul; dan istilah Ibn Khaldun dalam kitabnya, Muqaddamah).[2] Semua yang dikatakan ilmu, memiliki karakteristik berkembang tanpa kecuali ilmu syar’iy seperti ilmu tafsir ini. Bagian yang terakhir ini, diungkap secara umum sebagaimana dalam Q.S. al- ‘Alaq : 4-5: (Tuhan) Yang mengajarkan melalui kalam; Dia yang mengajari manusia sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Sangat ironis, Alqur’an yang dikatakan berfungsi hudan li al- nas ( petunjuk bagi umat manusia), sekalipun teks lafalnya tidak berubah dan tidak akan berubah; tetapi kaidah interpretasinya dituntut senantiasa berubah mengikuti perubahan kehidupan manusia. Sudah tentu perubahan interpretasi terhadap teks Alqur’an itu, tidak sekedar perubahan yang berbeda dengan interpretasi para pendahulunya, tetapi berpijak pada prinsif-prinsif syari’at dan etika berfikir islamiy, sebagai mana telah diteladankan para pendahulunya. Prinsif dan tradisi intrepretasi terhadap Alqur’an itu perlu diperhatikan, karena tiga pertimbangan : Pertama, Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam yang berbeda dengan kitab-kitab bacaan lainnya, termasuk juga berbeda dengan kitab suci selainnya yang ada, seperti Tawrat dan Injil. Ia sebagai penyempurna ajaran agama samawi yang terdahulu datangnya. Kedua, Alqur’an sebagai kitab yang menginformasikan esensi ilmu mengetahuan. Ketiga, Alqur’an sebagai kitab suci yang diyakini umat Islam, secara tegas dinyatakan, bahwa ia berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas atas petunjuk itu ( hudan li al-nas wa bayyinatin min al-huda wa al-furqan ), sebagaimana diungkap Q.S. al- Baqarah : 185). Demikian juga, mengenai fungsi risalah kenabian, diungkap dalam Hadits Nabi SAW riwayat Bukhariy dari Abu Musa al- Asy’ari as. : Matsalu ma ba’atsaniya Allahu min al- Huda wa al-‘Ilmi …. Dengan kedua landasan ini saja, maka dalam menginterpretasi teks nash ( Alqur’an dan al-Hadits ) diperlukan dua standar. Pertama, standar / kaidah non empiric, batini / abstrak, konprehenshif dan subtantif, yaitu hidayah; dan kedua, standar/ kaidah empiric, zahir, spesipik dan formal, yaitu ‘ilmu. Sekarang ini, standar yang ada hanya ‘Ilmu. Sedangkan hidayah, sebagaimana yang diterima Nabi SAW, sudah terhenti. Karena itu, jika satu standar saja yang dipakai untuk memahami teks-teks Alqur’an/ Hadits Nabi SAW, maka pemahaman yang diperolehnya tidak akan  sampai pada apa yang dikehendaki oleh setiap pembicaraan Alqur’an atau Hadits Nabi SAW itu. Karena itu, standar keilmuan yang kita miliki sekarang ini, ilmu apapun namanya, jika parsial, tidak akan cukup untuk bisa menangkap apa yang sebenarnya dikehendaki oleh maksud nash. Dengan ini berarti, bahwa ilmu tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi sekarang ini. Hal ini karena implikasi ‘ilmu, adalah explanation; sedangkan implikasi hidayah adalah solution[3]. Jika ‘ilmu dijadikan sebagai solusi bagi berbagai masalah, maka diperlukan tahapan berikutnya, yaitu tafhîm al-din ( tafaqqquh fi al-din ),  ta’lîm dan ‘amal secara tulus; individual maupun kolektif.  Berdasarkan kedua standar ini, sangat bisa dipahami apa yang dirasakan Prof. DR H. A.Chozin Nasuha, selama ber-muhasabah-nya atas amanat keilmuan yang dipikulnya, sebagaimana disampaikan dalam isi surat yang saya terima dari Panitya. Perasaan itu, merupakan sesuatu yang lumrah, bagi siapa saja yang menyadari dan memiliki tanggung jawab penuh atas keilmuan yang dipikulnya. Namun, insya Allah,  untuk Bapak A.Chozin Nasuha, disamping beliau sebagai Guru Besar bidang Tafsirdi berbagai PT;juga sebagai pimpinan,  sesepuh, danKiyai Pesantren yangdiasuh selama hidupnya yangdalam tradisinya sangat dekat dengan umat;saya berdo’a kepada Allah SWT, semoga beliau memperoleh apa yang di sebutkan :  كان اماما قدوة معلما لجميع الخير, dan segala aktivitasnya berwujud amal saleh. amin .

 

 

II

 

Para ulama, telah menetapkan beberapa prinsip bagi pemahaman yang benar terhadap kitab Allah ini,  Prinsif dan etika berfikir qur’aniy para pendahulu itu, meliputi sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ulama berikut: Ibn Taimiyah ( Muqaddamah fi ‘Ilmi Tafsir : 1-2) mengemukakan bahwa setiap pembicaraan itu memiliki maksud, terutama setiap pembicaran yang tertuang dalam Alqur’an, sebagai kalam Allah SWT, terlebih lagi ketika pen-tadbir-annya (al-tadbir bermakna merekayasakan Alqur’an dalam kehidupan nyata, istilah lainnya sekalipun kurang pas adalah transformatif )[4]. Dia berargumentasi dengan beberapa ayat Alqur’an, yaitu : Q.S. Shad:29; 

   كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ 

       Suatu Kitab yang diberkati yang Kami telah turunkan kepada kamu, agar mereka bisa memikirkan tanda atas kebesaran-Nya );  Q.S. Muhammad : 24 ; !$ygä9$xÿø%r&>qè=è%’n?tãôQr&  c#uäöà)ø9$#br㍭/y‰tGtƒ  xsùr&4  (Maka apakah mereka memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkuncirapat ?). Q.S.  Yusuf : 2 :cqè=É)÷ès?Nä3¯=yè©9$wŠÎ/ttã$ºRºuäöè%m»oYø9t“Rr&$¯RÎ)       ö

Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar         

kamu memahaminya. Ayat yang lain yang diajukannya, Q.S. al- Mukminun : 68

ó(ãóÏtû,Î!¨rF{$#Nèduä!$t/#uäNù'tƒOs9$¨B  Oèduä!%y`tôQr&  Aöqs)ø9$##r㍭/£‰tƒOn=sùr&           (Maka apakah mereka tidak memperhatikan perkataan (Kami), atau apakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka dahulu?).

Dari beberapa ayat itu, Ibn Taimiyah, ingin mengajak umat dan generasi setelahnya jika Al-Qur’an akan diberlakukan menjadi panduan hidup pribadi dan masyarakat, maka diperlukan beberapa hal berikut : 1) Diyakinkan bahwa Alqur’an yang diberkati Allah SWT itu, jika dipahami dan dipikirkan segala apa yang diinformasikannya akan membuahkan berkah ( kebaikan yang banyak ) bagi kehidupan ( proses transformasi); 2) Memberikan pertimbangan dan pemikiran itu, diperlukan ikut sertanya Potensi Dasar Insani / PDI ( hawas/indra, qalb / hati, dan lub / nurani) secara terintegrasi. Istilah lain bagi PDI ini,  adalah Inner Capasity ( IC )[5]; 3) Objek yang dipikirkan dan dipertimbangkan itu, adalah Alqur’an  yang berbahasa Arab; dan 4) Objek yang dipikirkan dan yang dipertimbangkan lainnya, adalah sejarah kehidupan orang-orang terdahulu, kondisi masyarakat dan lingkungan yang sedang dihadapi, dan generasi yang akan disiapkannya sebagai pelanjutnya. Bagian ini, yang menjadi pertimbangan aspek sosiologisnya. Karena itu, Ibn Taimiyah menyatakan, ketidak mungkinan men-tadbir setiap pembicaraan, tanpa memahami dengan betul makna pembicaraan itu ( studi alfazh). Pada setiap pembicaraan itu,  ada ikatan yang bisa menghimpun pemahaman, tidak hanya sebatas makna lafzhiyah-nya saja, secara tunggal; atau hanya sebatas bantuan ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, ilmu social, atau penjelasan disiplin ilmu lainnya. Apalagi kalam Allah yang di dalamnya berisi penjagaan bagi keselamatan, kebahagiaan, dan bagi tegaknya dunia dan akhirat. Bagian ini yang membedakan dalam studi Alqur’an yang dipegangi para shahabat Nabi SAW terdahulu dalam memahami Alqur’an al- Karim, dengan kitab umat Islam sekarang ini. Para shahabat, lebih pada taslimnya dengan Iman, taat dan tulus; sekalipun demikian, terdapat teladan yang baik untuk kita dari mereka itu, interpretasi pada bagian-bagian ayat tertentu, seperti : Umar Ibn al- Khattab, Abu Bakar, dan Ibn Abbas.  Pola interpretasi mereka itu, kemudiannya dikenal dengan takwil.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah ( al-Fawaid : 13 ) menjelaskan agar setiap pembaca Alqur’an, terutama mufassir agar dapat mengambil manfaat dari bacaan dan penafsirannya itu (qira‘ah muntijah/ bacaan produktif, melalui tiga tahapan : 1) Mempertemukan alat indra (hawas) dan hati ( qalb )  ketika setiap melakukan pembacaan; 2) menghadirkan fungsi-fungsi al-sam’a dan al-basir dalam setiap bacaannya guna memperoleh internalisasi nilai bagi diri pembaca atau diri mufassir sendiri; dan 3) mengaudipisualkan seolah-olah pihak-pihak yang diajak bicara oleh Allah SWT itu, berada bersama kita; atau kita seolah-olah berada pada saat turunnya Alqur’an. Bagian ketiga ini yang dipertimbangkan aspek sosiologisnya, agar maksud turunnya Alqur’an bisa diketahuinya. Dalam hal itu, Ibn Qayyim mendasarkan pandangannya pada Q.S. Qaf : 37 :

¨bÎ)’Îûy7Ï9ºsŒ3“tò2Ï%s!`yJÏ9tb%x.¼çms9ë=ù=s%÷rr&’s+ø9r&yìôJ¡¡9$#uqèdurӉ‹Îgx©ÇÌÐÈ   

 Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.

Ibn Qayyim, lebih mempertegas apa yang dimaksud dengan ungkapan:  ë=ù=s%ms9tb%x.`yJÏ9adalah dengan $wŠym  tb%x.`tB  (orang yang qalbunya hidup) dalam Q.S.Yasin : 69-70;

$tBurçm»oYôJ¯=tæt÷èÏe±9$#$tBurÓÈöt7.^tƒÿ¼ã&s!4÷bÎ)uqèdžwÎ)֍ø.ό×b#uäöè%ur×ûüÎ7•BÇÏÒÈu‘É‹ZãŠÏj9`tBtb%x.$wŠym¨,Ïts†urãAöqs)ø9$#’n?tãšúï͍Ïÿ»s3ø9$#ÇÐÉÈ

Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya dipastikan (ketetapan azab)itu terhadap orang-orang kafir.

Demikian juga Hasan al-Banna (Muqaddamah fi ‘Ilmi Tafsir: 30-31) mengemukakan metoda yang lebih mendekatkan pada pemahaman dan menjadikan tafsir yang lebih utama bagi kitab Allah  adalah jawaban ketika diajukan pertanyaan kehadapannya, yaitu     قلبك    ( hatimu )!     maka hati orang mukmin tidak diragukan lagi merupakan penafsir Kitab Allah yang paling utama; dan merupakan cara yang lebih mendekatkan pada pemahaman yang benar bagi seorang pembaca.Ia mengajukan tiga hal berikut: 1) hendaklah seorang pembaca, ketika dia membacanya disertai tadabbur dan khuasyu’; 2) mohon ilham kepada Allah agar diberi petunjuk dan kebenaran  serta bisa menghimpun semua potensi kekuatan pemikirannya ketika dia membaca;  3) hendaklah menyertakan pengetahuan tentang sirah Nabi SAW, untuk mengikatkan di antara teks Alqur’an dan peristiwa yang mengitarinya; sehingga maqasid nash bisa lebih jelas lagi; maka tunduklah  melalui bantuan yang lebih banyak untuk sampai pada pemahaman yang sahih dan selamat; bagian ketiga ini yang dipandang sebagai aspek sosologisnya; dan 4)  jika ditemukan sesuatu yang pelik, maka berhentilah pada makna lafazh, atau pada susunan yang tersembunyi itu, sebelum diperoleh kejelasan maksudnya; atau memohon tambahan kecerdasan kepada Allah SWT agar bisa memilih pemahaman mana yang sahih yang cahayanya bisa menembus bagian hati paling dalam.  Demikian juga Muhammad Abduh berwasiat kepada sebagian murid-muridnya beberapa hal berikut : 1) Bacalah Alqur’an secara dawam; 2) pahami segala perintah, larangan, dan nasihat-nasihatnya, sebagaimana Alqur’an telah dibacakan dihadapan orang-orang mukmin ketika pada saat wahyu turun; 3) waspadalah terhadap setiap pandangan yang diarahkan pada penafsiran tertentu, atau hanya sebatas keperluan akademis belaka, kecuali hanya untuk memahami lafazh asing dari maksud kalimat Arab; sebelum diperoleh penjelasan lebih lanjut. Kemudian, 4) bersikaplah sesuai dengan sesuatu yang Alqur’an mengarahkan bagi pembentukan kepribadianmu, serta bawalah dirimu kepada apa yang dibawa Alqur’an  untuk dirimu.  Akhir jawabannya, Hasan al-Banna berkata : Jika seseorang mengambil jalan-jalan yang telah disebutkan itu, maka  pengaruh besar akan diperoleh dalam dirinya, baik dalam pemahaman, kualitas kepribadian, cahaya yang menerangi kehidupannya di dunia dan akhirat. Istilah lainbagi produk bacaan seperti ini disebut al-qiraah al-muntijah . Insya Allah.

 

 

                                                                                 III

 

 Berdasarkan  prinsif-prinsif penafsiran dan argumen yang diajukan di atas, maka dasar pemikiran yang bisa dibangun sebagaimana terlihat dua gambar alur pikir berikut :

 

 

 

 

  1. Gambar alur fikir tafsir Alqur’an berdasarkan fungsi, potensi dasar dan arah sasaran yang akan dicapai, sbb.:

 

 
 

Allah  SWT

 

 


                           

 

       
 

     Rasul SAW

   

Potensi Dasar Insani

 

 

 


Tujuan   Spiritual

 

 

 

           
   

       Alqur’an

     
 
 

 

 


Al-A’la /Tinggi

Lub/ Nurani

                                                                                        

 

 

       
   
 
 

 

 

 


                      

 

                   
   
     
 
   

Individu

 

 

 

 


Umat/Jama’ah  Rahmatan lil ‘alamin

                                                                                                           

 

 

 

 

 

Penjelasan Gambar:

 

1.      Pemikiran Dasar. Bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan segala kelengkapan potensi dalam dirinya ( itmâm al- in’âm ); Dia juga menurunkan wahyu ( Alqur’an ) kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia dengan lengkap (ikmâl al-dîn), agar manusia mempelajarinya, serta menjadikannya panduan beramal dengan sepenuhnya keridhaan (al-ridhâ al-intihâ’iy) agar tujuan hidup mereka secara matrial dan secara spiritual; di dunia maupun  di akhiratnya bisa tercapai dengan sebaik-baiknya. Manusia (mukalaf) merespon seruan Rasul Allah SAW sesuai dengan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Seruan Rasul Allah  itu berupa perintah dan larangan untuk ditaati; dan irsyadat (petunjuk-petunjuk) untuk dipertimbangkan selagi menjalani hidup dan kehidupannya, pribadi maupun bersama yang lainnya; baik dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah dan keilmuan serta minijmennya.

2.      Pembentukan Kualitas Diri. Bahwa ketika seorang mukalaf membaca Alqur’an atau Hadits Nabi SAW, lalu dia memahami dan mentaatinya  sebatas indra pisik saja, maka capaiannya dekat atau rendah; artinya dia beraktivitas sebatas pelaksanaan tradisi keagamaan yang tidak sampai pada tingkat esensinya. Jika seorang mukalaf memahami dan mentaati apa yang dituntut keduanya, sampai disertai dengan niat yang tulus di dalam hatinya dan dimaksudkan hanya untuk beribadat kepada Allah dengan mencontoh Rasul-Nya, maka  capaiannya adalah taqwa / menengah. Jika seorang mukalaf,  memahami dan mentaati apa yang dituntut keduanya,  disertai niat karena Allah dan keyakinan yang kokoh dalam nuraninya, sampai diperoleh atsar dalam kehidupan sehari-harinya yang berwujud amal saleh dan akhlak karimah, sehingga ia menyandang istiqamah dalam keimanan dan ketaatan, maka capaiannya adalah akan terpenuhinya harapan pertemuan dengan Dzat Allah SWT. Capaian yang terakhir ini, merupakan puncaknya prestasi spiritual seseorang beragama secara individual, sebagaimana yang Rasul Allah alami ketika perjalanan isra-mi’raj-nya.

3.      Pembentukan Jama’ah / Umat. Bahwa karena manusia itu ditetapkan Allah SWT sebagai makhluk social/ berkolektif, maka tugas hidupnya belum selesai sebelum dia berkiprah melakukan kegiatan dakwah amar makruf dan nahyi munkar, bergaul dan memberikan pertolongan terhadap sesamanya yang membutuhkan pertolongan; meringankan beban saudaranya yang sedang memikul beban berat kehidupan, dan amal kebaikan social lainnya. Rasul Allah SAW diutus untuk memberikan teladan, sebagaimana Rasul SAW tunjukkan ketika sampai ke puncak mi’raj-nya, dia turun lagi ke bumi   untuk menyampaikan ajaran yang diperintahkan Allah kepadanya, seperti seruan Nabi SAW dalam masalah ibadat :  shallu kama raaitumuni ushalli !, ataukhudzu ‘anni manasikakum ! Demikian juga dalam berkehidupan social, seperti : seruan musawah, toleran / tasamuh, persaudaraan / ukhuwah, musyawarah, takapul al-ijtima’, dll., yang berujung pada terciptanya kehidupan rahmatan li al-‘alamin, yang diwujudkannya dalam menata masyarakat Medinah al-Munawarah.  Dengan demikian, maka selesailah tugas kerasulan yang berimplikasi pada terantarkannya kehidupan negara Madinah al-fadhilah ( kota yang utama ).

 

  1. Gambar alur fikir  Strukturisasi Normatif  dalam  pemahaman dan amaliah Islamiy:

 

Allah SWT

 

Cita-cita/

Tujuan

Subjek                       Pasangan                     Objek

Keseimbangan

 

Penjelasan Gambar.

1.      Setiap ayat Alqur’an bisa dibangun relasi seperti  gambar di atas. Garis segi tiga merupakan jalur pikiran tentang syari’at, di samping penunjukkan bahwa subjek dan objek itu ada / datang berrelasi karena diciptakan Sang Khalik ( Allah SWT), sebagai wujud hukum azwâj ( berpasangan ). Tanda panah dari atas menunjukkan adanya anugrah Allah yang akan diberikan kepada orang yang menjalankan syari’at, berupa amal saleh yang mengandung cita-cita / tujuan yang  dalam satuan ayat itu; sedangkan kedua tanda panah menyamping ke atas adalah harapan subjek dan objek terhadap anugrah Allah SWT tersebut sebagai puncaknya cita-cita.

2.       Subjek dan objek merupakan peran-peran  yang dibicarakan dalam satuan ayat Alqur’an itu. Subjek  bisa manusia, bisa makhluk berakal lainnya, sedangkan objek bisa makhluk berakal atau tidak berakal/ benda; subjek dan objek diposisikan sebagai pasangan (azwâj); apabila keduanya berrelasi, maka terdapat hukum  yang mesti ditegakkan oleh keduanya, yaitu keseimbangan (tawâzun). Azwâz merupakan hukum tetap bagi setiap makhluk hidup, atau sesuatu yang bergerak di alam ini; sedangkan  tawâzun, merupakan hukum tetap jika kehidupan diharapkan bisa langgeng damai dan harmonis, maka keseimbangan perlu dijaga.

Kedua kerangka dasar pemikiran itu diajukan, karena kehidupan dunia sekarang ini, berhadapan dengan kegagalan dalam berbagai sudutnya yang layaknya kemajuan ilmu itu, tidak lagi membawa untuk kemakmuran umat manusia, tetapi telah terjadi berbagai kecenderungan serba paradok. Kehidupan, dirasakan sebagai berikut : ta’bid al- maddah ( penyembahan terhadap materi / matrialisme ), ta’bid al- siyasiy ( penyembahan terhadap kekuasaan), ta’bid al-nafs ( penyembahan terhadap diri pribadi/ individualisme), dan agnostik. Dikatakan dunia berhadapan dengan kegagalan, karena santunan kemajuan saintek, terutama bidang informatika sekarang ini, menimbulkan berbagai ketimpangan yang serba paradok; kemajuan yang dicapai saintek tidak merapat dengan penyelesaian berbagai persoalan kehidupan dalam wilayah yang lebih makro dan mendasar. Bahkan lebih dirasakan, bahwa beban kehidupan semakin bertambah berat, rumit dan serba tidak pasti.Karena itu, mengembalikan pada pandangan hidup berpasangan ( azwâj ) yang penuh keseimbangan (tawâzun); lahir-batin, individu-kolektif, ilmu-amal, fikir-dzikir, merupakan satu langkah  solutif bagi masa depan yang lebih baik. Jalan keluar dari persoalan kehidupan tersebut, tiada lain hanyalah pengendalian diri dalam mengaplikasikan  saintek tersebut, bukan melalui penghentian kemajuan ilmu pengetahuan itu untuk dikembangkan. Semakin sesuatu dikaji, diteliti dan didalami, maka sesuatu itu semakin detail dan spesipik, menjadi bagian-bagian yang sangat kecil dan rinci. Jika sesuatu itu sudak semakin rinci dan detail, maka sesuatu itu akan sangat jauh dari  kehidupan yang bersangat komplek, menyeluruh, bahkan terdapat wilayah-wilayah yang sangat abstrak, seperti harapan dan cita-cita.

 

 

IV

 

Sebelum masuk pada aplikasi konsep, pada bagian ini akan disampaikan terlebih dahulu tradisi para shahabat dalam setiap menerima pelajaran dari Nabi SAW, terutama sekali ketika wahyu/ Alqur’an turun pada Nabi SAW, Ibn Taimiyah (Muqadamah. Loc.Cit.) merekam suatu riwayat sbb.: Dikatakan oleh Abu Abdurrahman al-Sulami :telah menceritakan kepada kami orang-orang yang dahulu telah membacakan Alqur’an di hadapan kami, seperti  Utsman Ibn ‘Affan, Abdullah Ibn Mas’ud dan yang lainnya; bahwa mereka, apabila memperoleh pelajaran Alqur’an dari Rasul Allah SAW tidak lebih dari 10 ayat sampai mereka mengetahui kandungannya, dan bisa melaksanakannya. Mereka berkata:  Kami mempelajari Alqur’an disertai ilmu dan amaliyah-nya secara bersamaan.

Berdasarkan riwayat tersebut, akan terlihat bagaimana para sahabat berusaha untuk menyeimbangkan (tawâzun) di antara penguasaan ilmu yang dihafal dan dipahaminya, dengan tuntutan amaliahnya. Bahkan, dalam riwayat lain, tradisi para shahabat itu dilanjutkan para ulama, terutama ulama Hadits, untuk menguatkan hapalan mereka terhadap Hadits Nabi SAW yang dipelajarinya itu, yaitu mereka memasangkan setiap hafalan Haditsnya, dengan pengamalan yang sebaik-baiknya.

Pemanfaatan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya, dalam menafsirkan teks suci ajaran agama, seperti Alqur’an dan al-Hadits, untuk masa sekarang ini, merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan; bahkan, sangat membantu dalam menemukan maqashid setiap ungkapan teks suci itu. Namun, perlu dibangun terlebih dahulu integrasi di antara kaidah-kaidah pengetahuan itu, melalui perumusan metodologi besarnya ( grand methodology ), metodologi menengah (middle methodology), dan  metodologi spesipiknya ( low methodology ) yang menunjukkan ciri khas satuan ilmu pengetahuan itu yang berbeda dengan ilmu lainnya. Semua konsep-konsep itu, perlu dibangun terlebih dahulu, agar wilayah karakter nash yang terbangun dari nash kulliy, juz’iy, dan juziyyat, bisa diakses secermat mungkin. Munculnya, berbagai paham keagamaan yang sangat berlebihan / keras (ifrath), atau sangat berkurang (tafrith), adalah karena standar ilmu pengetahuan yang terbagi pada tiga wilayah itu, tidak digunakannya; bahkan, cenderung diabaikannya. Batasan-batasan teologis dalam memahami suatu nash, jika tidak dikembalikan pada wilayah-wilayah studi yang direlevankan dengan cita-cita dan tuntutan (historisitas) nya; padahal setiap nash yang ditemukan tidak bisa keluar dari ketiga wilayah etika tersebut berikut ketiga metodologinya, maka akan berimplikasi pada perolehan pemahaman sangat jauh dari apa yang dikehendaki nash itu. Artinya, bahwa pemahaman yang tidak disandarkan pada kaidah-kaidah ilmu secara terintegrasi diantara teologis, historis dan perpaduan di antara keduanya, atau pemahaman yang hanya sebatas parsial, teologis saja, atau historis saja, atau sosiologis saja, maka pemahaman itu diprediksikan akan terjadi penyimpangan yang berisiko ancaman api neraka; jika dijadikan panduan bagi aplikasi dalam kehidupan. Bagian ini, yang diisyaratkan Hadits nabi SAW : Barang siapa yang menafsirkan Alqur’an dengan ra’yu ( bi ghairi ‘ilmin ) -nya, maka bersiap-siaplah untuk menenmpati tempat duduknya dari api neraka (د ت س] حديث : مَنْ قال في القرآن بغير عِلْم فليتبوأ مَقْعَدَه من النَّار  ) [6] إطراف المسند المعتلي بأطراف المسند الحنبلي - (ج 3 / ص 86. Demikian juga dalam Hadits lainnya :السنن الكبرى للنسائي - (ج 5 / ص 31).

عن بن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال من قال في القرآن برأيه أو بما لا يعلم فليتبوأ مقعده من النار

Karena itu, agar tidak keluar jauh dari batasan-batasannya, berdo’a / meminta ilham agar diberi kecerdasan dalam menangkap segala apa yang terjadi dibelakang teks lafzhiyah, merupakan persyaratan yang ditempuh dan sebagai wujud keikhlasan  para ulama dalam setiap mereka mengungkap berbagai rahasia yang dikandung Alqur’an. Sehingga apa yang diharapkannya, sesuai dengan cita-cita kebenaran yang dimaksud nash itu adalah datang dari energy luar yang hanya orang tertentu yang bisa menangkapnya.

Satu bagian lagi yang perlu disiapkan, adalah metodologi yang berhubungan dengan aspek-aspek subtantif, melalui pemanfaatan Potensi Dasar Insani, atau Inner Capasity ( IC ).  Berdasarkan itu, maka kerangka alur pikir di atas merupakan bagian dari metodologi dimaksud.[7]

Dua kesimpulan berupa al-khath’u ( kesalahan ), dan maq’adahu min al-nar ( ancaman tempat dari api neraka ) itu, karena penafsiran Alqur’an berdasarkan ra’yu dan bi ghairi ‘ilmin. Oleh karena itu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan ketidak sepakatan para ulama tentang tafsir bi al- ‘ilmi itu ?  Penulis hanya ingin menambahkan penjelasan bahwa Alqur’an itu berposisi sebagai hudan li al- nas (petunjuk bagi umat manusia) dan al-furqan ( pembeda ) dalam menuju kehidupan yang sebaik-baiknya di dunia maupun di akhirat; padahal ‘ilmu itu sendiri di desain tidak untuk itu, tetapi berposisi sebagai bagian al-huda yang disebut al-bayyinat ( berbagai penjelasan), sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena itu, penafsiran secara terintegrasi, melalui pengerahan berbagai potensi sebagai isyarat adanya kesungguhan ( al-juhdu atau al-ijtihad ) adalah sangat diperlukan. Namun, jika sebatas ra’yu saja sebagai alat penafsir Alqur’an, maka semua orang memilikinya, dan ra’yu kadang-kadang terpengaruh oleh kondisi-kondisi yang tidak baik, bahkan sering dipengaruhi hawa nafs. Jika dikatakan ‘ilmu juga berasal dan dikembang dari dan oleh ra’yu, maka ra’yu dimaksud adalah ra’yu yang sudah terseleksi dan terpilih, sebagaimana jawaban Mu’adz terhadap pertanyaan Nabi SAW : ajtahidu bi ra’yî wa lâ âlu.Ibn Maskaweh ( Tahdzib al-Akhlak: Juz I / 18) mengistilahkannya dengan al-‘aql, untuk masalahra’yu ini. Demikian juga al- Dahlawi dalam bukunya,Hujjah al- Balighah (II/ 88).[8]

Strukturisasi normatif [9] diajukan sebagai pola interpretasi  teks, karena berkarakter terintegrasi itu, sebagai jawaban atas firman Allah : ادخلوا فى السلم كافة. Ajuan ini dimaksudkan karena melalui pola strukturisasi normatif, maka keterlibatan langsung diri seorang mufasir dalam menafsirkan Alqur’an,  agar memasuki tidak hanya wilayah formal kebahasaan; namun sekaligus ia akan menangkap aspek-aspek batininya yang diharapkan dapat memberikan sesuatu yang bisa mengokohkan keyakinan, memotivasi untuk menyerukan keyakinan itu kepada yang selain dirinya, seperti keluarga, maupun  lingkungan masyarakat terdekatnya. Sehingga di antara diri dan masyarakatnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena ikatan moral public yang sangat kuat. Dalam studi syari’at, secara konsepsional,tuntutan tersebut diperolehnya;sedangkan dalam sain teknologi tidak ditemukannya. Hal itu, disebabkan karena moral public datang dari bagian-bagian dalam diri manusia berupa hati dan nurani, di samping nafs, sebagaimana telah disebutka di atas.Dalam qalb (hati) ada dua pilihan berganda, baik dan buruk, suka dan duka, sedih dan gembira; dalam nafs (jiwa) ada tiga bagian yang menjadikan manusia berada dalam posisi puncaknya kemanusiaan, yaitu nafs al-amarah (kecenderungan berbuat buruk yang sejajar dengan karakter  binatang buas);nafs al-lawwamah (kecenderungan berkesadaran untuk melakukan perbuatan baik, atau kembali menjadi baik setelah melakukan keburukan);dan nafs muthmainnah (kesempurnaan karakter sebagai manusia).[10]

Nampaknya, terhadap bagian terakhir ini,  Mohammad Arkoun ( Nalar Islami dan nalar Modern: INIS, 1994:16-19) menyatakan secara jujur:

Bahwa para ahli semiotika sampai sekarang mengabaikan sifat-sifat khusus dari teks-teks keagamaan,… teks keagamaan itu berbeda dari segala teks lain karena berpretensi memberipertanda terakhir, atau transcendental. Semiotika tidak memperhatikan aspek dasar itu. Bahkan…. semiotika cenderung menghindari dengan sadar dan sengaja jenis persoalan itu.    Dalam hal ini, Mohammad Arkoun melampaui batas analisis semiotic, ia mengembangkannya sendiri, bukan saja pada teks atau wacana (Quran), melainkan pada hubungan antara wacana, kenyataan (realitas, alam),  dan persepsi yang diperantarai oleh bahasa. Bahkan, Arkoun menstudi mitos (angan-angan social) sebagai bagian yang tidak dikembangkan ahli semiotic. Ia menyatakan bahwa mitos itu tidak hanya memainkan peran yang penting dalam perkembangan pemikiran dan masyarakat kaum muslimin sampai sekarang, melainkan tetap akan merupakan bagian tak terpisahkan  dari pemikiran Islam yang di perbarui. Di samping juga angan-angan social itu, akan memberikan identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Demikian juga angan-angan social itu, dibangun dari berbagai unsur nyata, realitas social, dan lingkungan pisik kelompok ybs., lalu dibangun cerita, citra dan nilai yang berlaku di dalamnya.

Apa yang dikonsepkan Arkoun di atas, merupakan bagian yang perlu dipertimbangkan ketika seorang mufassir akan mengaplikasikan produk interpretasinya agar bisa berlaku pada  lingkungan masyarakatnya dengan penuh kearifan. Hal itu, karena bisa dipandang sebagai bagian untuk memaknai kaidah al- ‘âdah muhkamah dan makna al-makrûf atau al-‘urf. Bagian ini yang bisa memperkokoh pendekatan Bayâni, ‘Irfaniy danBurhâniy dalam konsep Abd al- Jabiri ( Bunyah al-‘aql al- ‘Araby: II/1985 ). Bila temuan-temuan akademik ini, dapat dicerna dengan sebaik-baiknya oleh para ahli, maka relevansi yang sangat berarti antara apa yang terjadi pada pengalaman para shahabat Nabi SAW pada masa umat Islam awal dalam merespon Alqur’an meliputi empat hal : di pahami, diyakini, di perjuangkan dan diwujudkan; dengan  tuntutan sekarang ini yang ditandai dengan pesatnya kemajuan saintek dalam bidang transportasi dan informatika yang tidak terbatas, tetapi berhimpitan dengan degradasi moral yang sangat berat. Mudah-mudahan dengan pola manhaji ini, sebagai ikhtiar mengungkap kembali esensi Alqur’an berupa hudan li al-nas, dan al-furqan, melalui temuan ilmiyah dalam berbagai seginya, sebagai wujud makna al-bayyinat min al-huda, bisa ditemukan sebagai solusi berbagai masalah yang dihadapi; dan  diharapkan hidup berkemajuan sekarang ini, bersamaan dengan berkeseimbangannya. Wa allahu a’lam.

 

V

Kasus-kasus intrepretasi berdasarkan strukturisasi normative dalam beberapa ayat Alqur’an, sbb.:

Tafsir Surah al- Ma’un.

Empat aspek yang diajukan agar pesan dari surat ini berjalan sesuai dengan fungsi-fungsi Alqur’an sebagai hudan li al-nâs wa bayyinâtin min al- hudâ wa al- furqân : 1) Allah SWT sebagai pemberi pesan menurunkan syari’at dan hukum-hukum sunnatullah yang ada di alam raya ini; 2) orang beriman yang menerima pesan yang terikat dengan hukum-hukum ketika manusia saling berhubungan dengan sesamanya, atau manusia berhubungan dengan alam lingkungannya, yaitu hukum berpasangan ( azwâj ) dan keseimbangan ( tawâzun ); 3) isi pesan, yaitu untuk menjalankan ajaran agama yang bersipat social kemasyarakatan dan membenarkannya; dan 4) langkah teknis agar isi pesan itu bisa dicapai penerima pesan sesuai dengan tujuannya.

Hukum berpasangan sebagai hukum universal itu, memastikan adanya hukum keseimbangan. Hal ini, menuntut dipahami dan dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang, terutama orang beragama. Dalam surat itu, dijelaskan adanya hubungan ibadat salat yang membawa keselamatan, dengan hubungan social yang baik dalam kehidupan di luar salat, perlu berjalan beriringan. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa kecelakaan yang akan menimpa orang yang salat itu, apabila atsar dari salatnya itu tidak berdampak baik dalam kehidupan sosialnya. Sayyid Qutub ( Fi Dhilal : 8 / 111 ) menyatakan :  إنحقيقةالتصديقبالدينليستكلمةتقالباللسان؛إنماهيتحولفيالقلبيدفعهإلىالخيروالبربإخوانهفيالبشرية،المحتاجينإلىالرعايةوالحماية. واللهلايريدمنالناسكلمات. إنمايريدمنهممعهاأعمالاًتصدقها،وإلافهيهباء،لاوزنلهاعندهولااعتبار  ( sungguh hakikat pembenaran terhadap ajaran agama itu tidak terletak pada pembicaraan yang biasa dikatakan orang, tetapi hanyalah dia yang bisa merubah apa yang ada di dalam hatinya untuk menawarkan berbagai kebaikan  terhadap saudara-saudaranya yang memerlukan bantuan pemeliharaan dan penjagaan secara manusiawi; dan Allah itu tidak menghendaki dari manusia itu sebatas berbagai pembicaraan tok; tetapi hanya Allah menghendaki dari mereka itu amaliahnya secara bersamaan sebagai pembenaran atas pembicaraannya itu. Jika tidak demikian, maka dia itu hanyalah sebatas buih yang tidak ada artinya ). Setiap orang yang salat akan mengetahuinya bahwa ketika seseorang sedang menunaikan salat, banyak sekali bacaan salat dan do’a yang diucapkannya. Ucapan bacaan salat dan do’a itu akan menjadi tidak berarti, jika tidak bisa dibuktikan dalam kehidupan sehari-harinya, seperti membantu anak yatim dan orang-orang miskin; atau bersikap menghalang-halangi orang-orang yang akan berbuat kebaikan terhadap mereka itu. Orang yang berprilaku saling membiarkan mereka itu, diklasipikasikan seorang yang membohongkan agama.

Jika kaidah keilmuan akan diterapkaan dalam interpretasi di atas, maka pada tahap aplikasi di lapangan sangat diperlukan; terutama bagian management, teknologi, sosiologi,  antropologi, sejarah dan ilmu lainnya. Seperti menjawab pertanyaan bagaimana distribusi bantuan pada fakir miskin itu, bantuan apa yang diperlukan, untuk berapa lama bantuan itu ? atau bagaimana pula mengurusi anak yatim itu dan berapa banyaknya, jenis pendidikan bagaimana yang pantas diberikan kepada mereka ? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan lain yang sudah teruji validitasnya, tidak cukup hanya sebatas menyandarkan pada pemaknaan secara global dari setiap teks nash agama itu. Pemanfaatan ilmu pengetahuan itupun diperlukan secara terintegrasi, agar tidak menimbulkan masalah lain di belakangnya. Bagian ini pula yang dikatakan solusi masalah dengan kesatuan ilmu pengetahuan yang sudah teruji kebenarannya; dan bagian ini pula yang dikatakan Ilmu pengetahuan bagian dari hidayah ( bayyinatin min al- huda ) sebagaimana telah disebutkan di atas ( Q.S. Al-Baqarah: 185). Jika semuanya itu berjalan secara baik, maka akan berujung pada al- furqân; yaitu akan nampak jelas mana yang batil dan mana yang hak, tidak buram lagi. Wujud dari keseluruhan itu pula yang dikatakan Alqur’an berfungsi:  hudan li al-nâs, syifâ li mâ fi al-shudûr, dan rahmatan li al-mukminin. Pola penafsiran yang seperti ini juga yang dikatakan pola penafsirran manhaji, di samping pola penafsiran berdasarkan pola syir’ah; sebagaimana diisyaratkan dalam Q.S. al-Maidah : 48.

Demikian juga ayat-ayat Alqur’an lainnya, ditafsirkan dengan pola penafsiran seperti di atas. Silahkan praktikkan dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah : 168-172; tentang perintah memakan makanan yang halal dan baik dan tidak mengikuti langkah-langkah syetan, dan hubungannya dengan peningkatan kualitas ibadat sampai pada tingkatan esensinya.  Demikian juga dalam menafsirkan Q. S. al- Rum : 21; tentang  tujuan pernikahan, bila dilakukan dengan pola penafsiran tersebut, akan terlihat bentangan jalan lurus menuju esensi hidup berkelurga yang sebenarnya sesuai dengan apa dicita-citakan syari’at. Juga ayat lainnya, bisa dilakukan dengan pola penafsiran sepert di atas, pola minhaji / manhaji. Insyaallah. Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

 



[1] Tulisan ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur  atas diperolehnya anugrah usia 70 tahun disertai dengan berakhirnya masa tugas / purna bhakti sebagai PNS Bapak Prof. DR.H. A. Chozin Nasuha, dari seorang Guru Besar, sejawat dosen pada Fakultas Syai’ah UIN Sunan Gunung jati Bandung. Adapun beberapa catatan yang diketahui penulis, baik karena merujuk pada referensi ahli tafsir klasik, maupun gagasan penulis yang bersifat  dukungan atas gagasan beliau, atau saran dan kritik, hanyalah sebatas untuk memenuhi harapan sebagaimana Hadits Nabi SAW riwayat  Muslim dari Abi Ruqayyah Tamim Ibn Aws al-Dariy :       الدين النصيحة: قيل لمن يا رسول الله ؟ لله و لرسوله و لكتابه و للائمة و لجماعة المسلمين ( Agama itu nasihat, dikatakan bagi siapa Ya Rasul Allah ? Bagi Allah, bagi Rasul-Nya, bagi Kitab-Nya, bagi para pemimpin, dan bagi jama’ah kaum muslimin.Amin .

[2] Al-Ghazali ( al- Mustashfa : I / 3 ) membagi ilmu pengetahuan itu kepada tiga bagian : a) ‘ilmu ‘aqliy  murni;  b) ‘Ilmu naqliy murni; dan c ) ‘Ilmu al-fiqh dan ushul-nya. Ilmu Tafsir dalam pembagian ini termasuk komponen ‘ilmu naqliy murni.  Sedangkan Ibn Khaldun (Muqaddamah :435) membagi ilmu yang digeluti manusia itu dan dialihgenerasikan,  pada dua bagian: a)  ‘Ulum al- hikmiyyah al- falsafiyyah, atau al-thabi’iy yang diproses melalui pemikiran dengan objek kajian alam; dan b) ‘Ulum al-naqliyyah al-wadh’iyyah, yaitu perolehan ilmu melalui pemberitaan dari seorang peletak syar’iy ( Rasul Allah SAW ). Ilmu Tafsir termasuk bagian dari  ‘Ilmu naqliyah yang objek kajiannya adalah teks Alqur’an dan al-Sunnah.

[3] Makna implikasi dari keduanya itu diambil dari pengertian Hidayah dan ‘Ilmu yang dikemukakan al-Jurjaniy ( al- Ta’rifat : 256): Hidayah dita’rifkan  yaitu :  الدلالة على ما يوصل الى المطلوب  او طريق يوصل الى المطلوب    ( petunjuk atau jalan yang bisa menyampaikan pada apa yang dicari ). Sedangkan ‘Ilmu, dita’rifkannya ( Ibid.: 155), melalui beberapa rumusan:     صفة راسخة يدرك بها الكليات والجزئيات ( penjelasan yang mendalam yang memperkenalkan keseluruhan sesuatu dan bagian-bagiannya; atauالاعتقاد الجازم المطابق للواقع  ( keyakinan yang menetapkan yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi ), dll.

            3. Al- tadbir, diambil dari ata dabbara- yudabbiru, bermakna to manage/ mengatur / merekayasa. Al-tadbir bermakna planning, organization, management; al-mudabbir berarti director, manager, leader ( A Dictionari of Modern Written Arabic : 1980/ 270-271).  Artinya, bahwa ketika seseorang meminij sesuatu, maka yang ada pada orang itu, berfikir, mempertimbangkan, memilih mana yang baik untuk dijalankan agar diperoleh kebaikan sesuai dengan semangat dan cita-cita, dhi., Alqur’an itu sendiri. Sudah tentu diperlukan kesungguhan, kebersamaan dan ketulusan, karena kita manusia yang serba terbatas, kemampuan pikiran dan kekurangan skil,  berkeinginan menangkap maqashid yang ada dalam isyarat-isyarat ungkapan lafzhiyah kalam-Nya yang berbahasa Arab.Ibn ‘Arfah ( Syarh Hudud : III/ 64) menjelaskan kata al-  tadbir secara bahasa bermakna, membebaskan hamba seseorang dari belakang/ dikemudian harinya; atau memerdekakan hamba sahaya dari harta tirkahnya sebanyak 1/3nya; dilakukan setelah dia meninggal. Pemerdekaan itu mesti dilakukan oleh majikannya.  Hal ini, dikenal dalam istilah Fuqaha bahwa seorang majikan memperoleh harta waris  dari hamba sahayanya, sedangkan dengan keluarga nasabnya sudah terputus. Berdasarkan penjelasan di atas, maka apa yang dimaksud dengan al-tadbir, tiada lain adalah apa yang dimaksudkan Islam transformatif atauTafsir Transformatif.

 

[5]Al-Dahlawiy ( Hujjatullah al-balighah: II/ 88  ) menyebutkan ketiga potensi dasar dengan al-lathaif, yaitu sesuatu yang bersifat halus/ lembut), meliputi: al-‘Aql (akal); al-qalb (hati); dan al-nafs ( jiwa ). Tentu terhadap sebutan bagi ketiga potensi ini, masing-masing ulama berbeda-beda.  Dengan ketiga potensi dasar insani  tersebut, maka bacaan Alqur’an disertakannya.  Ia mengajukan beberapa argumen baik naqliyah dan aqliyah-nya. Di samping ada potensi yang di luarketiganya, yaitu potensi al-Hawas ( indra ), dengan kelengkapan lima anggotanya: Pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan perasaan. Bila demikian, potensi dasar manusia itu, menurutnya ada empatmcam. Terhadap keempatnya itu, menurutnya, diperoleh pelatihan-pelatihan untuk lebih memfungsikannya secara lebih  optimal.

[6] Hadits lainnya : جامع الأصول في أحاديث الرسول - (ج 2 / ص 3) أخرجه الترمذي وأبو داود

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللّه - عز وجل - برأْيهِ فأصابَ ، فقد أَخطأَ».

[7] Cik Hasan Bisri ( Model Penelitian Fiqh ) mengemukakan tiga dalil yang dibangun dalam studi Fiqh, yaitu dalil normative, dalil metodologi dan dalil empiric. Jika ketiga dalil yang dibangun, maka aspek subtansi dari fiqh yang melandaskan pada kewahyuan tidak akan bisa diperolehnya. Padahal  aspek subtansi itu, merupakan tujuan akhir dari studi syari’at.  Karena itu, perlu diajukan dalil ketiganya , yaitu dalil-dalil yang berhubungan dengan Potensi Dasar Isani yang disebut juga  Inner Capacity ( IC ). Fungsi utama pengembalian metodologi pada wilayah subtantif, melalui pemanfaatan IC ini, dimaksudkan agar studi syari’at berdasarkan pendekatan ilmiyah, yang spesipik itu, agar bisa dibangun aspek globalnya yang sarat dengan etika  kolektifnya yang tidak diperoleh dalam sain empiric.   Hal itu perlu diperoleh ketegasan, maka bagian inilah yang tidak dimiliki saintek, sehingga kemajuan matrial dicapai manusia sekarang ini, dibelakangnya ketertinggalan moral public yang berakibat manusia berprilaku tidak manusiawi.

[8]Ibn Maskaweh (تهذيب الأخلاق - (ج 1 / ص 18) menyatakan  seorang yang berakal akan mengetahui bagaimana dirinya dapat menutupi berbagai kekurangan pisiknya,  agar dirinya tetap berada dalam  kesempurnaan dan keutamaannya, melalui terpeliharanya hal-hal yang dipandang primer bagi kehidupannya, dan tertutupinya berbagai kebutuhan yang akan menyulitkan dirinya.  Akal juga yang mempertimbangkan bagaimana agar dirinya tidak hanya terpenuhi oleh tuntutan kelezatan duniawi saja, tetapi bagaimana agar kelezatan itu, bisa mempertahankan kelanggengan hidupnya. Jika sedikit saja melewati kebutuhannya, maka akan mengurangi tingkatan muru’ahnya. Akal juga yang mempertimbangkan bagaimana agar dirinya tidak bakhildan bermartabat rendah dihadapan sesama manusia. Demikian juga,akal menentukan jenis pakaian yang pantas untuk menutupi auratnya. Akal juga dapat menentukan bagaimana menyalurkan kekuatan biologisnya yang bisa mengangkat keturunannya yang baik. Karena itu, akal menerima dan menjalankannya dengan berkesungguhan ( al-juhd ) untuk senantiasa mengikuti tuntunan yang tidak melampaui batas itu, agar kemulyaan dan kesempurnaan diri diperolehnya.

Al-Dahlawi ( Hujjah Allah al-Balighah : II/88 ) menyatakan bahwa akal bagi manusia  berperan dalam mengakses sesuatu yang tidak bisa diperoleh indra; jika indra tidak terlibat, maka akal tidak akan bisa menemukan sesuatu. Ia menyatakan juga bahwa pada badan manusia itu terdapat tiga anggota badan: Pertama, yang berfungsi komando (al- raisah); kedua, para petugas pelaksana dalam wujud manusia (al-ufa’il); dan ketiga, bercerita ( al-hikayah) .

[9] Istilah ini dipakai guna menghindar penggunnaan hermeneutika, karena dimaksudkan bukan hanya sebatas peemahaman terhadap Kitab Suci / Alqur’an, tetapi sekaligus melaksanakannya, dalam tatanan sebagai individu,  dan teraplikasi dalam kehidupan social masa kini. Untuk wilayah individu, mengangkat potensi  Inner Capacitydan kaidah ‘ainiyah; sedangkan untukkehidupan social menggunakan innter connectedness dan  kaidah kifaiyah ( Cf. Kuntowijoyo,  Akademika- Paradigma Transenden, No.01/Th.XVII/1999:07).

[10] Ibn   Maskaweh ( Ibid.: 16:ج 1 / ص) membagi karakter nafs itu pada tiga kekuatan: 1)النفس البهيمية.( dorongan bersifat ternak hewanniyah); 2) النفس السبعية(dorongan binatang buas ); dan 3) النفس الناطقة.(dorongan untuk berfikir ). Ketiganya itu ada pada diri manusia, karena itu manusia menempati posisi makhluk paling mulya, sekaligus juga jika tidak bisa mengendalikan kedua nafsnya ( bahimiyah dan sabu’iyah) akan lebih buruk melebihi derajat hewan buas. Ikhtiar manusia agar tidak terjerumus pada kualitas hewaniyah, tetapi justru akan terjaga pada martabat kemulyaannya, maka pendidikan dan latihan keagamaan sebagai jalan keluarnya. Al-Dahlawi ( Hujjah  : II/90) mengistilahkan untuk nafs al-nathiqah dengan al-nafs al-malakiyyah atau  al- ‘aql. Sedangkan bagi kedua istilah lainnya dinyatakan sama. Ia berkata: jika manusia berada dalam posisi paling utama, maka nafs malakiyah / nathiqah / al- ‘akl yang menjadi pendorongnya. Ia juga menyatakan pada akal itu dua arah: Pertama, arah rendah  cenderung pada wilayah pisikal dan indrawi; dan kedua,  arah tinggi yang cenderung kesucian dan berpaling dari tuntutan matrial; ia bersifat ruhani dan rahasia.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website