Lembaga Haji Muhammadiyah (LHM) Jawa Barat PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

Lembaga Haji Muhammadiyah (LHM) Jawa Barat PWM Jawa Barat
Lembaga Haji Muhammadiyah (LHM) Jawa Barat PWM Jawa Barat
.: Kembali ke PWM Jawa Barat

Homepage

Home

BERSEGERALAH HAJI

 

Meskipun ibadah haji merupakan ibadah dengan kewajiban sekali seumur hidup, akan tetapi bukanlah berarti, jika telah dikualifikasikan mampu, harus menunda-nunda pelaksanaannya. Memang agak ironi sebenarnya di tengah-tengah banyaknya kaum muslimin yang berkeinginan kuat untuk melaksanakan ibadah haji, masih saja ada orang yang telah diberi kemampuan, terutama perbekalan dan kesehatan, belum juga dapat melangkahkan kaki berangkat ketanah suci.. Padahal Rosulullah SAW telah mengingatkan bahwa sangat perlu untuk menunaikan ibadah haji dengan segera:

Taajjaluu al hajja—ya’ni fariidhoh—fainna ahadakum laa yadrii maa ya’ridhu lahu” (Bersegeralah berhaji—yakni haji yang wajib—sebab sesungguhnya seseorang tidak mengetahui apa yang akan menimpa kepadanya). HR Ahmad dan lainnya.

Peringatan Nabi bukan tak beralasan, melainkan beliau sangat faham tentang sifat dan laku kehidupan manusia yang selalu saja ada prioritas pekerjaan yang menurut penilaiannya terpenting, sehingga akibatnya, pekerjaan itu dapat menghalangi ibadah hajinya. Belum lagi ada kemungkinan lain seperti sakit, atau bahkan mati. Hal ini tentu kelak akan berakibat serius dalam hubungan kewajiban hamba dengan Al Khalik.

man aroodal hajja falyata’ajjal, fainnahu qad ya’rodhu watadhillu ar roohilatu wa ta’ridhul haajatu” (Barangsiapa ingin haji, maka hendaklah dia melakukannya dengan segera. Sebab bisa jadi dia nanti sakit, kendaraannya hilang, dan ada keperluan baru) HR Ahmad dan Ibnu Majah.

Sifat bersegera dalam haji disebabkan karena sejak lama Allah telah memanggil umat manusia melalui seruan Ibrahim. Nabi Muhammad SAW ketika menerima perintah haji mengumpulkan penduduk Madinah, bukan saja yang muslim, akan tetapi juga orang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi. Diterangkan kewajiban Allah bagi seluruh umat manusia ini. Akan tetapi, selain muslim, pengikut Agama lain menolak. Kemudian Nabi menyuruh Abu Bakar Shiddiq memimpin rombongan haji yang berangkat tahun ke 9 Hijriyah.  Nabi sendiri berangkat tahun berikutnya, karena beliau terikat perjanjian Hudaibiyah dan Allah belum memberi keputusan berkenaan dengan orang musyrik yang masih bergerak bebas di Makkah. 

Beberapa faktor yang menyebabkan terhalangnya seseorang (yang telah mampu) untuk segera menunaikan ibadah haji, antara lain adalah:

Pertama, kekhawatiran hartanya berkurang. Ia menganggap bahwa masih terlalu banyak kebutuhan yang mesti ditunaikan, sehingga jika digunakan untuk haji, maka mengurangi “cadangan” dana untuk berbagai keperluannya itu. Misalnya untuk sekolah anak ke jenjang berikut di luar negeri, atau untuk menambah kendaraan bagi keperluan istri yang padat dengan berbagai kegiatan di luar rumah, atau pula berharap meningkat dahulu depositonya agar bunganya saja yang digunakan untuk biaya haji tersebut.

Kedua, terlalu sibuk usaha. Ibadah haji dinilai menyita waktu. Bisa 2 tau 3 minggu bahkan, melalui jalur biasa, lebih dari satu bulan. Waktu bagi pebisnis adalah uang dan kehilangan waktu berarti kehilangan peluang untuk mendapatkan uang. Masalah utamanya adalah orientasi dan fokus perhatian, ia khawatir selama ibadah haji ia tak mampu melepaskan orientasi dan perhatiannya itu, sehingga senantiasa menunggu dahulu selesainya urusan yang sebenarnya tak kunjung selesai tersebut. Sesungguhnya jika disadari, bukan hanya keuntungan yang didapat selama sibuk dalam kegiatan usaha tapi juga berbagai masalah. Hal ini justru akan semakin memperberat dan menghambat penunaian ibadah haji.

Ketiga, ketakutan akan tuntutan setelah haji. Tidak sedikit orang yang menyatakan “belum siap” ketika diajak untuk berhaji. Ketidaksiapan itu menyangkut “mental” bukan “bekal” karena ia beranggapan apabila berangkat ke tanah suci, maka mesti pulang dengan segala kesempurnaan diri. Hal itu baginya terasa terlalu berat, karena  selama ini ia masih “dekat” dengan kehidupan maksiat. Setelah menjadi “pak haji” ia membayangkan harus mengubah perilakunya secara revolusioner, dan ia merasa belum siap untuk itu. Inilah ujiannya. Padahal haji adalah ibadah dengan langkah bertahap dari mulai ihlal di miqat hingga thawaf wada’. Artinya bahwa tuntutan perubahan bisa secara bertahap pula. Di samping itu Allah lah yang memberikan kepada kita “kesiapan” dan “kekuatan”  bukan anggapan atau bayangan yang kita buat sendiri.

Keempat, takut meninggal ketika haji. Tanpa dasar keimanan yang kuat, kematian adalah hal yang menakutkan. Dimanapun kematian itu datang. “Dramatisasi” berangkat ke tanah suci sebagai perjalanan ke gerbang kematian., cukup menggetarkan. Ia masih ingin berkumpul dengan keluarga, ingin tetap bekerja, bergaul, bahkan ingin terus menikmati kesenangan-kesenangan yang ada. Simbolisasi kain ihram sebagai kain kafan, padang Arafah sebagai padang Mahsyar dan “tragedi-tragedi” haji di Jamarat menciutkan nyalinya untuk pergi. Sebenarnya ia harus menyadari bahwa meninggal waktu haji adalah syahid, dan Allah perintahkan haji bukan untuk mati. Lagi pula prosentase kembali dan mati, jauh lebih banyak yang kembali.

Kelima, memang ia yang merasa sulit melakukan ibadah. Jangankan untuk haji, shalat atau pun shaum saja sering ditinggalkan. Mungkin ia ada niat atau keinginan untuk haji, akan tetapi tertutup lagi oleh perasaan ketidakmampuan melaksanakan ibadah lain. Untuk hal seperti ini ia sebenarnya dapat meminta kepada Allah saat di tanah suci agar hajinya menjadi dasar bagi kemampuan untuk melaksanakan ibadah lainnya tersebut 

Tentu variasi sebab akan lebih banyak lagi. Namun semua itu pada hakekatnya merupakan bisikan setan yang sangat brilyan untuk mencegah hamba Allah melaksanakan perintah-Nya. Karena itu pula Nabi mendorong umatnya agar bersegera melaksanakan ibadah haji. Terlalu banyak pertimbangan, apalagi  yang sifatnya dhonni, hanya menyebabkan kekufuran saja,  padahal “fainnalllah ghoniyyun anil ‘alamiin” (maka sesungguhnya Allah Maha Kaya atas seluruh alam). Allah memiliki kekayaan yang dikhawatirkan berkurangnya, Allah memiliki hidayah untuk menunjuki dan membimbing hamba-Nya ke jalan yang diberkahi, Allah memiliki kekuasaan untuk memanjangkan usia agar lebih banyak beramal, dan Allah pula yang memiliki kehendak menghancurkan orang yang kikir dan keras kepala.

Bersegeralah haji. Lihatlah pada aspek positifnya, bukan aspek negatif, beban, dan berjuta kekhawatiran. Tawakal kepada Allah adalah modal. Yakin bahwa haji adalah kegembiraan yang Allah berikan, panggilan-Nya merupakan panggilan sayang, dan kesulitan yang ada hanyalah canda-Nya saja. Janji Allah pun pasti yakni kebahagiaan dunia dan keselamatan akherat. Surga yang kekal kelak.

Merasakan getaran luar biasa dari Baitullah yang telah dido’akan oleh jutaan bahkan milyaran manusia saat mengunjunginya “Allahumma zid hadzaal baita, tasyriifan, wa ta’dhiiman, wa takriiman, wa mahaabatan” (Ya Allah tambahkan kepada Baitullah ini kehormatan, keagungan, kemulyaan, dan kehebatan). Kemudian kita yang mengunjunginya dido’akan oleh jutaan bahkan milyaran orang pula “wa zid man syarrafahu wa karranmahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyriifan, wa ta’dhiiman, wa takriiman wa birraa” (dan tambahkan pula orang yang menghormati, mengagungkan, dan memuliakannya dari mereka yang haji atau umroh dengan kehormatan, keagungan, kemuliaan, dan kebaikan).  Alangkah besar harapan bagi mereka yang pulang haji untuk semakin bertambah kehormatan, keagungan, kemuliaan. dan kebaikannya.

Allah bukan memanggil hambanya datang ke Baitullah untuk berhaji dalam kapasitas sebagai “budak” (‘abd) melainkan dengan undangan kehormatan sebagai “tamu” (dhoyf)) karenanya fasilitas “terbaik” akan Allah berikan kepada “tamu-tamu” (duyuuf) nya itu. Tidak akan dibiarkan tamunya terlantar, sengsara atau disakiti. Mereka akan dimuliakan.  Sebagai “tamu” ketika berziarah di tanah-Nya maka ia akan diantar dan ditunjuki jalan-jalan-Nya. Sehingga puas hati sang tamu setelah “bersilaturahmi” spiritual di negeri yang dijamin keamanannya “wa man dakholahu kaana aaminan” (barangsiapa memasukinya dijamin aman). Aman fisik, aman jiwa, aman harta, dan aman fikiran. “Orang-orang yang berhaji dan ber’umroh adalah tamu-tamu Allah. Mereka dipanggil-Nya lalu mereka sambut panggilan itu. Mereka berdo’a kepada-Nya, lalu diperkenankan-Nya do’a mereka itu” (HR Al Bazaar).

Sungguh akan berbunga-bunga hati di dalam kemah di bawah terik matahari, ketika Arafah menjadi saksi sejarah bagi luluhnya hati dan tertunduk, bahkan, sujudnya kepala di bawah kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Itulah saatnya kita merasa kecil, jahil, kerdil, pengecut, berdosa, atau kenaifan lain yang tak pantas dilakukan oleh makhluk yang diciptakan mulia ini. Terlalu banyak kehidupan diisi oleh sikap yang lalai, bermain-main, dan rakus.  Indah benar memosisikan  diri sebagai makhluk yang patut dikasihi Allah dan dibimbing Allah ke maqam yang tinggi.

Bersemangat dan bergembira bersama-sama berjuang mengalahkan berbagai gangguan syetan yang merusak martabat insan melalui tuntunan melontar jumroh “kecil, menengah, dan raksasa” lalu  berdo’a agar haji menjadi mabrur dan dosa diampuni. Tentu, setelah sebelumnya merasakan tidur malam dingin yang berselimut barokah Allah di Mudzdalifah. Betapa luas bentangan langit yang seolah-olah  menjawab pertanyaan mengapa kita sering merasa sempit hati, sesak nafas, dan pendek fikiran menghadapi sedikit saja problema kehidupan. Padahal Haji itu tak lain justru merupakan jalan lurus menuju   ke arah lapang yang sangat luas. Jalan yang melapangkan jiwa, rasa, dan fikiran.

Bersegeralah haji sebelum halangan datang, Tangkap sinyal Allah yang telah menunggu kedatangan kita. Al ghazali penulis Al Ihya  memperumpamakan orang yang menuda-nunda ibadah seperti menunda untuk mencabut pohon kecil, semakin lama ditunda maka pohon itu akan semakin besar dan ini berarti semakin sulit untuk mencabutnya.  Halangan  haji itu  akan datang bertubi-tubi, karenanya harus ada kekerasan hati untuk segera melaksanakannya. Sebuah media di Bandung tanggal 8 November 2006 memberitakan peristiwa menarik dengan judul “Tunda Ibadah Haji Demi Investasi”. Diberitakan seorang ibu yang baru menjual rumah warisan dengan niat untuk menunaikan ibadah haji, gagal menunaikannya. Ia tergiur untuk menanamkan uangnya di sebuah Bank (Interbanking Bisbis Terencana/IBITS) karena akan mendapat bunga 4% per bulan. Ia simpan 100 Juta rupiah. Nanti jika sudah bergulir dan untung baru akan berhaji. Rupanya yang terjadi berbeda dengan rencana, pemilik Bank ternyata membawa kabur milyaran  uang nasabah, termasuk uang si Ibu tentunya. Akibatnya ia hanya bisa menangis bukan saja karena ibadah haji yang tak jadi, uangnya pun kini  amblas. 

Bersegeralah haji karena haji adalah keuntungan besar, bukankah diajarkan kita gsaat berhaji agar  berdo’a pula disamping “hajjan mabruuroo” juga “tijarotan lan tabuur” (perniagaan yang tak rugi) ?  Nabi mengingatkan juga  dengan sabdanya:

Rumah ini (baitullah) adalah tiang Islam. Barangsiapa yang keluar menuju rumah ini, baik haji maupun umroh, ia dalam jaminan Allah (kaa na madhmuunan alaallah). Jika diambil-Nya (meninggal dunia), akan dimasukkan ke dalam surga, dan jika dikembalikan-Nya (pulang ke tanah air), dikembalikan-Nya dengan membawa pahala dan keuntungan (ghoniimah) yang sangat besar” (HR Ibnu Juraij dengan sanad Hasan).

Bersegeralah haji, jadilah tamu-tamu yang dimuliakan Allah, dapatkan jaminan keamanan dan kebahagiaan dari Allah, lalu rebutlah  ghoniimah yang sangat besar !


Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website