PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Barat
.: Home > Artikel

Homepage

Relasi Ilmu dan Hidayah Membangun Grand Methodologi sebagai Aplikasi Tauhid Ilmu dalam Memaknai Alqur’an sebagai Hidayah bagi Kehidupan Manusia

.: Home > Artikel > PWM
20 Maret 2012 16:47 WIB
Dibaca: 5739
Penulis :

 

Relasi Ilmu dan Hidayah

Membangun Grand Methodologi sebagai Aplikasi Tauhid Ilmu

dalam Memaknai Alqur’an sebagai Hidayah bagi Kehidupan Manusia

 

H. Ayat Dimyati

 

 

P E N D A H U L U A N

 

 

Latarbelakang Masalah

 

Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, merupakan penyempurna agama-agama samawi sebelumnya. Bukti nyata kesempurnaan ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW  itu, terrekam dalam kedua sumbernya, yaitu Alqur’an dan al- ٍSunnah / al-Hadits. Alqur’an telah menunjukinya bahwa fungsi keberadaan keduanya adalah sebagai  Hudanli al-Nâs wa Bayyinâtin min al-Hudâ wa al-Furqân (Q.S. Al-Baqarah: 185).[1] Dalam ayat lainnya, sebagaimana dinyatakan Q.S.al-Baqarah : 129, Q.S.al-Jum’ah: 2, dan Q.S.Ali ‘Imran: 164, ada tiga komponen untuk mencapai hudan dan bayyinât yang berujung pada al-furqân sebagaimana  Nabi SAW telah melakukannya: Pertama, tilâwah ( bacaan yang membuahkan pada sikap mengikuti pesan yang ada dibaliknya); kedua, tazkiyah (bersih diri dan senantiasa menjunjung tinggi akhlak karimah); dan ketiga, ta’lim (pembelajaran tentang al-Kitab dan al-Hikmah. Imam al- Syafi’i (al- Risalah : I/ 26-53) memaknakan al- Kitab dengan Alqur’an, sedangkan al-Hikmah memaknainya dengan al-Sunnah. Ia membagi al-bayân ini pada lima jenis :  1) al-bayan, dimaksudkan sebagai tambahan penjelasan, seperti berpuasa tiga hari pada  musim haji di Makkah, dan 7 hari setelah pulang dan sampai di tanah air nya; 2) al-bayan, dimaksudkan untuk menjelaskan bagian-bagian wasail dalam beribadat, seperti bersuci, atau pembagian warits; 3) al-bayan dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap pelaksanaan kewajiban ibadat, seperti rakaat salat dan kaifiyah lainnya; 4) al-bayan bermakna al-Hikmah  atau al-Sunnah; dan 5) al-bayan, bermakna maksud jiwa atau hati; seperti perintah menghadap kiblat ketika salat. [2] Istilah lain dari al- bayan itu adalah al-tafsir, maka ia itu, meliputi : a) Alqur’an ditafsirkan dengan Alqur’an ( 1 dan 2 ); b) Alqur’an ditafsirkan dengan Al-Sunnah (3 dan 4) [3]; dan c) Alqur’an ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan. Bagian kelima itu atau (c), yang dimaksudkan dengan tafsir bi al-‘ilmiy. Dikatakan demikian, karena fungsi hati ( qalb ) dalam Alqur’an berhubungan dengan pemahaman, perasaan dan penetapan nilai baik dan buruk; bahkan pada sisi yang lain, al-qalb itu dikatakan juga ‘aql al-syawwab ( akal yang bercampur / akal berstandar / nilai ganda ).[4] Maka dengan akal ini manusia  mengembangkan kehidupannya melalui aktivitas yang didasarkan pada   ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan satu bagian yang sangat fundamental bagi kemajuan hidup umat manusia, dan diakuinya bahwa agama Islam sangat menghargai potensi akal manusia itu. Wujud penghargaan itu, Alqur’an merekam fungsi akal itu, serta keutamaan ilmu sebagai produknya; sebagaimana tersebar dalam berbagai surah, melalui ungkapan : yatafakkarûn, ya’qilûn, yâ ulî al-albâb, ulî al-nuhâ, ulî al-abshâr, dsb. Bahkan, sejak awal Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, satu bagiannya mengandung pesan al-qalam (pena / alat tulis / pembelajaran) yang mengandung maksud: a) Apa yang diajarkan; b) bagaimana pembelajaran itu berlangsung; c) alat apa yang dipergunakan sebagai kelengkapan pembelajaran; dan d) apa pula maksud dan harapan dari pembelajaran itu ( Q.S. al-‘Alaq : 4-5; dan Q.S. al- Qalam: 1-4). Jika keempat komponen pembelajaran itu terpenuhi dengan baik dan benar, maka akan baik dan benar pula hasil yang diharapkannya.

Satu hal yang lebih mempertegas lagi, adalah isyarat dalam sabda Nabi SAW riwayat Mutttafaq ‘alaih dari Abi Musa al- Asy’ariy, yaitu dua hal yang sangat mendasar yang berhubungan dengan perutusan Nabi SAW, yaitu : Hidâyah dan ‘Ilmu.[5] Keduanya, merupakan alat kenabian ( nubuwwah ) dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi Nabi SAW guna mengantarkan umat manusia menuju kehidupan yang utama dan mulya, sesuai dengan asal penciptaannya ( karâmah al- insân dan ahsan al- taqwîm ). Namun, pada perjalan berikutnya, sikap manusia diumpamakan sebagaimana sebidang tanah yang terkena air hujan, terbagi pada tiga kelompok: Pertama, tanah subur yang terhujani atau terairi dan menjadikan berbagai / pepohonan, tanaman dan rerumputan tumbuh dengan baik. Bagian ini mitsal seseorang penerima kebenaran dan bertanggung jawab atasnya, maka ia termasuk orang yang memperoleh hidâyah mathlûbah (solutif), karena ilmu tentang kebenaran yang diperolehnya itu, dipahami dan diamalkannya, dan diajarkan kepada yang lainnya. Kedua, tanah tandus terhujani atau terairi hanya sebagai tempat penampungan air, seperti sebuah sumur; air di dalamnya dimanfaatkan oleh yang lainnya, tanpa ia sendiri memanfaat kannya. Bagian ini, merupakan mitsal seseorang yang mengetahui kebenaran tidak dilaksanakannya). Ketiga, tanah keras bagaikan batu licin yang tidak bisa menyerap dan menyimpan sama sekali air hujan yang datang kepadanya. Bagian ini, merupakan  mitsal seseorang yang menolak kebenaran.  Kelompok tanah kedua dan ketiga itu, adalah mitsal mereka yang jauh dari perolehan hidâyah mathlûbah ( solutif ), sebagaimana diungkap di akhir hadits.

Berdasarkan Hadits tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa Nabi SAW, dalam membangun kehidupan itu, memakai asas : dari Hidâyah ke ‘Ilmu; sedangkan selain Nabi SAW, memakai azas sebaliknya : dari ‘Ilmu ke Hidâyah (dalam prediksi).  Hidâyah yang diterima Nabi SAW itu, diklasifikasikan Hidayah Solutif ( HdS ) sebagaimana diperoleh nabi-nabi sebelumnya.[6] Dimaksudkan dengan HdS adalah hidayah yang dalam menyelesaikan masalah untuk selamanya; artinya, suatu masalah yang sudah ditangani tidak diulang kembali menjadi masalah baru. Jika kedua hal mendasar ini ( ilmu dan hidayah) berjalan secara bersamaan, dijadikan standar bagi keberagamaan umat, maka apa yang menjadi masalah pelik dalam kehidupan ini, setelah dipertimbangkan secara komprehenshif dan dikomitmeni secara seksama dengan serius oleh para ahlinya, maka berbagai masalah kehidupan tersebut akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.[7] Berbeda dengan penyelesaian masalah melalui pendekatan  ilmu pengetahuan sepihak, sebagaimana yang dilakukan sekarang-sekarang ini; baik dalam penyelesaian terhadap masalah individu, maupun  penyelesaian terhadap masalah kehidupan kolektif, seperti kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila permasalahan kehidupan terjadi lebih cepat daripada solusi yang ditawarkan ilmu pengetahuan, maka bukan permasalahan semakin hilang, bahkan semakin berkembang dan komplek. Hal ini karena, ilmu pengetahuan tidak memiliki kapasitas secara total untuk itu, atau wilayah tersebut bukan kompetensinya. Apa yang terjadi sekarang ini sangat ironis, semestinya kemajuan sain dan teknologi, di dalamnya menyangkut ilmu syari’ah, berhubungan erat dengan realitas kehidupan; dan berposisi sebagai pemberi solusi secara konprehenshif, karena ilmu memiliki karakter prediktif. Namun, realitasnya tidak demikian; bahkan sebaliknya, kadang-kadang ilmu merupakan bagian dari masalah itu sendiri.  Ilmu pengetahuan yang ada sekarang, tidak berdampingan sebagai pasangan bagi perkembangan kehidupan masyarakat yang di dalamnya mengandung berbagai persoalan yang sangat pelik dan komplek. Sering terjadi dalam penyelesaian masalah kehidupan melalui ilmu pengetahuan ini, menimbulkan masalah baru, sebelum masalah yang mendahuluinya selesai, kalau tidak dikatakan gagal. Implikasinya, bahwa persoalan kehidupan semakin terus berkembang menumpuk, tidak sebanding dengan perkembangan ilmu itu. Demikian pula yang dialami ilmu syari’at. Jika kondisinya berlanjut seperti ini, dan tidak ada ikhtiar lain berupa tawaran baru bangunan ilmu pengetahuan yang berposisi sebagai  problems solver (solusi terhadap berbagai masalah), maka peninjauan ulang terhadap konsep dan makna ‘ilmu nâfi’ bagi kehidupan ini sudah terasa kurang relevan lagi,  terutama bila dihadapkan dengan masalah-masalah kehidupan publik.

Berdasarkan kronologis turunnya wahyu / Alqur’an secara tadarruj, tiada lain adalah berjalannya hidayah dan ilmu, atau sebaliknya secara bersamaan;  maka  diperoleh penjelasan bahwa Alqur’an itu, diterima Nabi SAW sangat merapat dengan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat saat itu. Bahkan, ditegaskan setiap Alqur’an itu turun, merupakan isyarat dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhannya, dengan tanpa batas ruang dan waktu. Dalam kontek sebagaimana gambaran di atas, langkah nyata dari para pihak akademisi, untuk bekerja serius dan optimal, melirik kembali paradigma keilmuan yang ditekuninya untuk senantiasa dikembalikan pada tuntutan realitas kehidupan yang sangat membutuhkan panduan bagi tercapainya kehidupan berkeseimbangan, baik dalam rencana awal dan capaian akhir,  lahir dan batin, individu dan kolektif, ilmu amaliah dan amal ilmiah, disertai bingkaian etika selama proses berjalannya di antara pasangan-pasangan itu.

Akan lebih jelas dalam gambaran umum secara metodologis, persamaan dan perbedaan di antara keduanya ( hidâyah dan ‘ilmu ) dalam hubungannya dengan kehidupan, sbb.: Pola wahyu / hidayah yang diterima Nabi Muhammad SAW jika dikembalikan pada intrumen-intrumen cara berfikir, maka akan terlihat ada kesamaan di antara keduanya, yaitu deduktif-induktif, atau induktif-deduktif. Bila memperhatikan setiap rumusan ayat-ayat Alqur’an, akan nampak cara berfikir yang satu kelanjutan dari cara berfikir lainnya, bahkan system kewahyuan menjangkau ke luar batas empiris; dari rekayasa social hingga cita-cita dan tujuan akhir hakikat kehidupan ini.  Perbedaannya juga adalah dalam system kewahyuan / hidayah, di antara kedua cara  berfikir ini, berada dalam keseimbangan penuh; di antara keduanya memiliki hubungan sismbiosis, cara berfikir yang satu tidak bisa dipisahkan dari cara berfikir yang lainnya dalam bidang apapun yang menjadi objek berfikirnya. Karakter berfikir kewahyuan yang seperti ini akan menjamin diperolehnya kehidupan utama, baik yang dicapai individu maupun yang dicapai kolektif. Sayangnya, dalam dunia ilmu pengetahuan, sekalipun memiliki karakter ini, dan areanyapun tersedia, tidak dimanfaatkannya. Sehingga gerakan ilmu pengetahuan, kurang memiliki daya control terhadap berjalannya kehidupan berkeseimbangan yang sangat diperlukan.  Padahal, dalam setiap bangunan kehidupan itu,  diperlukan dua hukum tetap, yaitu hukum berpasangan yang harmonis ( azwâj ); dan hukum berkeseimbangan ( tawâzun ). Kedua hukum tetap dalam  kehidupan ini, dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak berjalan berada dalam gerakan simultan, bahkan realitasnya semakin kontradiktif. Hal itu terjadi, hanya sebagai konsekwensi logis oleh sebab tugas ilmu pengetahuan sebatas explanasi ( menerangkan ) terhadap perkara-perkara global. Karena itu, pesan-pesan kehidupan dalam Alqur’an yang bersifat global ( ijmâliy ), memerlukan penafsiran / penjelasan yang detail sebagai penjabarannya, yaitu oleh ilmu pengetahuan.   

Al-Maraghi dalam tafsirnya, ketika menjelaskan Q.S. al- Fatihah: 5; ada lima tingkatan hidayah; dan ilmu termasuk bagian dari makna hidayah itu pada aspek intrumentalnya; mulai dari instink / gharizah, indra, akal, agama dan taufiq. Fungsi-fungsi dari masing-masing kelima potensi  hidayah itu, merupakan given dari Tuhan kepada makhluk-Nya, di samping potensi lainnya; terutama akal, agama dan taufiq yang hanya diberikan pada  manusia. Posisi ilmu yang terbangun dari potensi-potensi itu dengan berbagai karakteristiknya yang sangat spesipik, berhadapan dengan tuntutan realitas lingkungan kehidupan yang membutuhkan penyelesaian masalah secara konprehenshif dan menyeluruh; maka ilmu tidak memiliki kapasitas untuk itu. Bagian terakhir ini, yang mendesak pembangunan ulang ( rekontruksi ) konsep keilmuan yang dikembangkan dan distudi sekarang ini; agar nilai manfaat dari ilmu pengetahuan itu, benar-benar dapat dirasakan oleh pribadi yang berilmu itu, maupun oleh orang banyak sebagai pemakai ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga, nilai dan martabat kemanusiaan dan peradaban umat manusia secara menyeluruh, bermartabat pula ke depannya.

Bagaimana arah pengembangan ilmu yang memiliki orientasi bayani ( exlpanasi ) menjadi solusi bagi berbagai persoalan kehidupan itu ke depan, maka sesuatu yang ditawarkan adalah menemukan kembali pasangannya, yaitu hidayah solutif. Masalah mendasar tentang hidayah solutif ini, dalam pandangan keagamaan sampai saat ini adalah masuk bagian hak mutlak Allah SWT, [8] di satu sisi; sedangkan di sisi yang lainnya adalah  adanya kebebasan manusia untuk memilih.[9] Jika hidayah solutif tersebut, hanya sampai Nabi SAW saja, maka bagaimana penyelesaian terhadap permasalahan kehidupan sekarang ini. Sekalipun terdapat riwayat dari Nabi SAW, bahwa risalah itu sudah terhenti, bersamaan dengan terhentinya kenabian, maka yang tersisa adalah al-mubasysyirât, yaitu penglihatan seorang muslim berupa ru’yah shâdiqah (prediksi yang benar).[10] Sedangkan ikhtiar umat dalam mencapai potensi ini, melalui mengembangan keilmuan terabaikannya. Secara individual, kualitas ru’yah shâdiqah ini dimungkinkan bisa dicapainya, tetapi ia tidak mungkin bisa memberikan jalan keluar terhadap permasalahan public; karena hidayah belum menjadi pandangan dunia keseluruhannya sebagai bahan studi, dan belum direspon sebagaimana terhadap ilmu pegetahuan. Jika konsep hidayah lebih diturunkan pada level bangunan-bangunan empiris atau semi empiris melalui pemanfaatan fungsi-fungsi Potensi Dasar Insani ( PDI ) / Inner Capasity ( IC ) sebagai jalan penumbuhan rasa kebersamaan, dan jika terdapat sesuatu yang baru dapat dipahami bersama, diyakini bersama, diperjuangkan bersama, diwujudkan bersama, dan bagi kepentingan bersama pula, sekarang ini dan yang akan datang, maka permasalahan akan bisa diminimalisir sebagaimana pada masa nubuwah. Hal ini, bukan sesuatu hayalan tanpa realitas, tetapi lebih pada pemanfaatan potensi diri yang belum tergali secara optimal.  

Jalan bagi bangunan keilmuan seperti itu, sekarang ini sudah bermunculan sebagai informasi akademik, seperti: ditemukannya empat hasil penelitian, berupa: IQ (Intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spiritual Quotient) th.2001; dan hasil penelitian paling akhir SC (Spiritual  Capital) th.2005, karya suami istri Danah Johar & Ian Marshal. Pase ini baru sampai pada tingkat pembangunan wacana, konsep dan teori, melalui pendekatan konprehensif dalam memaknai berbagai realitas yang terjadi, terutama dalam bidang ekonomi. Bahkan, di Indonesia sudah meningkat menjadi bahan training ESQ oleh pengagasnya Ary Ginanjar. Bagian terakhir ini, karena sudah menyangkut aktivitas masyarakat, tidak sebatas wacana. Sehingga dibutuhkan fatwa para ahli hukum Islam tentang boleh dan tidaknya pelatihan seperti itu. Maka pada hari Kamis tgl.15 Juli 2010, harian Republika memuat berita bahwa ahli hukum Malaysia memfatwakan tidak ada yang menyimpang / tidak melanggar syari’at training ESQ itu. Fatwa itu diambil  di samping argument yang mendasarinya, juga karena mempertimbangkan Pandangan Majlis Ulama Inonesia dan sejumlah Negara Islam, seperti Brunei dan Saudi Arabia yang telah menyelenggarakan pelatihan[11]. Demikian juga, pada masyarakat Indonesia tumbuh berbagai aktivitas keagamaan dzikir bersama, dengan pola penyelenggaraan bernuansa sentuhan rasa yang ada dalam qalbu dan perenungan ( muhasabah al-nafs ) melalui pemikiran mendalam tentang sesuatu sampai kearah esensinya. Tawaran serupa ini, bisa dikatakan pase perkembangan keduanya. Pase ketiga, merupakan kelanjutan dari pertama dan kedua, yaitu menawarkan CoHQ ( Core of Human Quotient ). Pase ketiga ini manawarkan integrasi di antara kaidah filsafat, pengetahuan / Ilmu dan teknologi, serta rasa kebersamaan yang paling dalam yang ada dalam diri manusia yang disebut Inner Capasity ( IC ). Sehingga apa yang diketahui, dipikirkan, dirasakan dan dilakukan seseorang atau sekelompok orang, bisa membangunkan satu kesatuan konsep yang utuh, sederhana, dan bisa dilakukan oleh semua orang, sekalipun keberadaannya baru bisa dirasakan bersama dalam wuud gagasan ideal; belum terbangun dalam satu konsep akademik ilmiah. Bahkan, dimungkinkan aspek ini yang tidak bisa adiilmiahkan.  Beberapa karakter dari tawaran ketiga ini, CoHQ, dilihat dari perbedaan dengan aspek lainnya, sbb:  Perbedaan dengan filsafat atau berfilsafat sebagaimana dikembangkan oleh para filosuf atau para ahli bidang studi filsafat, maka filsafat lebih menitik beratkan pada pemikiran mendasar dan dalam melalui pemanfaatan potensi fikirnya yang tidak terbatas; perbedaan dengan keilmuan, baik ‘ilmu ’aqliy, maupun ‘ilmu naqliy dan teknologinya lebih pada aspek empiric, formal dan terbatas pada standar realitas, seperti dalam penetapan syarat dan rukun suatu amaliah ibadat; perbedaan dengan IQ, EQ, SQ, SC, hanya sebatas informasi konsep dan wacana; perbedaan dengan ESQ-Ary Ginanjar, sangat mahal dan mengantarkan pada sikap keakuan pada sebagian orang, tidak menyentuh bagian yang dibutuhkan dan  dilakukan orang banyak secara langsung. Demikian juga dengan dzikir bersama yang diselenggarakan oleh majlis-majlis dzikir, lebih pada syi’ar sesaat secara pasif. Sementara jalan keluar sebagai penyelesaian terhadap berbagai persoalan kehidupan ini,  tidak signifikan. CoHQ, ditawarkan karena memiliki karakter, sbb.: komprehensif, esensial, solutif, berkeseimbangan, abstrak, kualitatif, murah secara financial, dann tidak terjadi pengulangan atas kesalahan yang telah lalu; namun berat secara mental ( tatsqîl ) karena yang dikeriteriakannya adalah keikhlasan, tawakkal, jihad li Allahi ta’ala dan ijtihad. Hal itu, karena dalam CoHQ diperlukan pengendalian diri yang maksimal, namun tidak keluar dari batas-batas keharusan universal ( taqdîr ); bahkan ia berada di dalamnya. Karena itu, keberlakuan CoHQ tidak terbatas oleh ruang dan waktu tertentu, tetapi universal. Di samping itu, nilai manfaat dari manhaj ini, akan memposisikan manusia pada kedudukannya yang sempurna ( iman, taat, jujur dan shalih ); dan  menjamin kehidupan sejahtra dan damai di dunia secara bersama; dan bahagia di akhirat secara khusus bagi orang-orang yang beriman.

 

                                              

Rumusan Masalah.

1.     Mempertanyakan eksistensi ilmu pengetahuan dan posisinya sebagai solusi bagi kehidupan umat manusia yang utama;

2.     Mempertanyakan pengembangan dalam studi Alqur’an, melalui pengembangan wilayah metodologi besar ( grand methodology ) nya yang dapat mempertemukan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang beragam menjadi satu kesatuan ( wahdaniyyah ) dengan tidak mempertanyakan metodologi spesipiknya;

3.     Mempertanyakan keberadaan intrumen-intrumen, konsep-konsep, ibadat dan mu’amalah Islami yang bisa menghubungkan di antara Ilmu formal empiric, dengan hidayah subtansial;

4.     Mempertanyakan al-‘UIûm al-Nafi’ah dari studi keilmuan bagi pembangunan kehidupan yang berkeseimbangan, karena ilmu pengetahuan sekarang ini dipandang bagian dari satu masalah kehidupan.

 

 

Hipotesis yang diajukan.

Al-Wahyusebagai hidayah bagi kehidupan manusia, adalah muthlak kebenarannya; al-‘aql (akal) sebagai alat menggali ilmu pengetahuan adalah relative kebenarannya; dan al-syu’ur (rasa) sebagai alat pemandu kehidupan manusia dan menjalin kebersamaan adalah relative kebenarannya. Namun, akal dan rasa merupakan bagian yang diutamakan dalam memaknai wahyu, Alqur’an dan Sunnah Rasul SAW, yang muthlak kebenarannya.

Hikmah adalah perpaduan di antara satuan ilmu, amal dan rasa, merupakan pintu masuk lahirnya berbagai kebaikan yang sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia.

Jika hikmah sudah diperoleh, maka hidayah akan bisa diperoleh melalui integrasi antar beberapa hikmah; atau integrasi antara satuan ilmu, amal dan rasa kolektif yang berarti pula tercapainya cita-cita wahyu, yaitu sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia.   

 

 

Tujuan dan Kegunaan Penelitian.

1.     Menghubungkan eksistensi keilmuan dengan tuntutan kehidupan manusia yang bermartabat dan utama;

2.     Pengembangan studi Alqur’an yang merapat dengan tuntutan kehidupan manusia sebagai wujud hudan li al-nâs yang dasar-dasarnya sudah dibangun para pendahulu melalui perumusan dasar-dasar metodologi keilmuannya;

3.     Membangun intrumen-intrumen, konsep-konsep, ibadat dan mu’amalah  islami yang menghubungkan di antara tuntutan formal matrial ( ‘ilmu ) dan tuntutan spiritual subtansial ( hidâyah );

4.     Mengangkat nilai manfaat sebanyak-banyaknya dari ilmu pengetahuan yang distudi, baik bagi kehidupan pribadi, keluarga dan kehidupan berbangsa dan bernegara sekalipun.

 

        Adapun kegunaan  penelitian, meliputi :

1.     Sebagai tambahan hazanah keilmuan dan referensi studi keagamaan yang bercorak konprehenshif, terutama dalam studi Alqur’an;

2.     Sebagai wujud adanya kesatuan ilmu pengetahuan melalui perumusan grand methodology yang berrelevansi dengan penyelesaian berbagai persoalan kehidupan;

3.     Sebagai upaya penunjukkan dalam pengembangan ‘Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang diikuti oleh komitmen beretika bagi para pengembangnya, agar lebih mengarah secara total pada pemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia.

 

 

Kajian Pustaka.

Al-Thabary (Tafsîr: Juz II/397) menyampaikan riwayat dari Qatadah tentang makna hudan dalam Q.S. al-Naml: 2; هدى وبشرى للمؤمنينbahwa orang-orang mukmin bila mendengar bacaan Alqur’an, dia menghafalkannya, dan memelihara hafalan itu; kemudian mengambil manfaat oleh sebabnya, dan ia berketetapan hati kepadanya; dia juga membenarkan apa yang dijanjikan Allah  yang dikandungnya; dan dia juga berkayakinan karenanya. Al-Thabari juga menerangkan makna âyâtin bayyinâtin dalam Q.S. al-Baqarah: 99; وَلَقَدْ أَنزلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ, bahwa âyâtin dimaksudkan tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan atas kenabian Muhammad SAW. Tanda-tanda kenabian Muhammad SAW itu, tersembunyi  dari pengetahuan orang-orang  Yahudi; dan dimungkinkan beritanya pada pase awal dirahasiakan dari kalangan Bani Israil. Kisah itu, hanya diketahui oleh para pimpinan dan ulama mereka, setelah pada cerita awalnya dirubah serta pada perjalanan akhirnya diganti. Padahal sebelumnya, telah menjadi ketetapan hukum dalam kitab Tawrat. Kemudian Allah mengungkap kembali hukum-hukum itu, melalui kenabian Muhammad SAW. Karena itu, makna al-âyât al-bayyinât, hanyalah bagi orang yang memiliki karakter dalam dirinya, dia tidak membiarkan dirinya rusak oleh karena perbuatan hasud, dan berlaku zhalim, karena Nabi Muhammad SAW berada pada fithrahnya bersama setiap yang memiliki fitrah yang sahih; membenarkan  berbagai keterangan dan tanda-tanda yang dibawa Muhammad SAW; yang datang bukan karena hasil belajar di antara sesama manusia. Dalam riwayat Ibn Abbas ra., ayat itu dijelaskannya : Engkau tilâwah-kan ayat itu kepada mereka, engkau sampaikan berita itu, pagi dan petang dan di antara pagi dan petang; engkau menurut pandangan mereka adalah ummi, tidak bisa membaca dan menulis. Engkau juga beritakan kepada mereka sesuatu yang ada pada mereka sendiri, dan sesuatu yang belum mereka ketahui. Sebenarnya, hal itu  bagi mereka, adalah ‘ibrah, penjelasan, dan hujjah, jika mreka mengetahuinya.  Dalam hal ini, Hadits Nabi riwayat Ibn Abbas ra., menceritakan kisah dialog antara  seorang Yahudi yang paling mengetahui kitab Tawrat, Ibn Shuriya al-Fithyuniy dengan Rasul Allah SAW; Ya Muhammad ! sesuatu yang kamu datangkan kepada kami itu, kami telah mengetahuinya; dan apa yang diturunkan Allah kepada kamu, suatu ayat yang menjelaskan, maka kami akan mengikuti mu tentangnya.  Maka Allah menurunkan Q.S. al-Baqarah :  99 tersebut.

M.Quraish Shihab (Tafsir Al-Qur’an al- Karim: 1997/46) menjelaskan pembagian hidayah yang dimaknakan petunjuk itu, kepada beberapa macam dan tingkatan; masing-masing tingkatan satu sama lain saling berkaitan rapat, tidak bisa diperoleh tingkatan kedua sebelum kesatu terlebih dahulu, tingkatan ketiga didak bisa diperoleh sebelum tingkatan kedua dan seterusnya, sbb.:  Pertama, naluri ( al-gharizah ). Hidayah naluri ini, diperoleh sejak lahir, seperti tangisan seorang bayi karena ada yang mengganggunya,  diperlukan pertolongan pihak lain. Kedua, pancaindra ( al-hawâs ). Hidayah pancaindra ini sebagai alat komunikasi manusia dengan lingkungannya; mata memandang, tangan meraba, hidung mencium, telinga mendengar, dan lidah merasa.  Ketiga, akal ( al-‘aql ). Hidayah akal berfungsi sebagai interpretasi dan pertimbangan terhadap semua yang diinformasikan pancaindra, lalu dilakukan kesimpulan-kesimpulan yang sedikit berbeda dengan informasi panca indra tersebut. Keempat, agama ( al-dîn ). Hidayah agama, berfungsi menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan akal, seperti keterbatasan akal dalam memahami alam metafisika.Demikian juga Raghib al-Ashbahaniy ( Mufradât Gharîb Alqur’an : I / 538-539 ) membagi hidayah yang diberikan Allah SWT kepada manusia itu, pada empat bagian juga, yaitu : a) Hidayah akal; b) hidayah yang diserukan para nabi Allah ( agama ); c) hidayah tawfiq; dan d) hidayah di akhirat ( tsawâb ) bagi orang-orang mukmin dengan memasuki surga-Nya; dan termasuk bagian dari hidayah ini juga, seorang durhaka dimasukkan ke dalam api neraka ( ‘iqâb ), karena akibat perbuatan buruk selagi di dunianya. Berdasarkan bagian terakhir ini, dari segi nilai, hidayah terbagi dua: hidayah terhadap kebaikan dan hidayah terhadap keburukan (Q.S. al- Balad : 10; Q.S al-Anbiya: 73; Q.S.al-Qashash: 41).

Dalam wilayah empiris,Hidayahdiprediksikan kesatuan hikmah; dan hikmah adalah satuan ilmu pengetahuan yang terintegrasi dengan amal dan rasa kolektif yang berbuah berbagai kebaikan. Integrasi berbagai disiplin Ilmu pengetahuan ( Ilmu syari’at, kimia, social, fisika, kesehatan dan gizi) yang saling berhubungan dan diproses secara  jamâ’iy ( kolektif ) ketika ber-istinbath ahkâm dalam penetapan fatwa sertifikasi halal di Komisi Fatwa MUI dan lembaga-lembaga fatwa Ormas Islam, merupakan satu kebaikan, sekalipun terbatas pada masalah hukum secara bayani, kurang memperhataikan aspekburhani dan‘irfaniynya. Sekalipun demikian, produk fatwa itu menjadi acuan keberagaam umat. Hidayah lebih dari itu, ia merupakan integrasi berbagai hikmah, karena meliput kehidupan secara total dan utuh.

Dari uraian tersebut, terbentang beberapa intrumen ilmu empiric  untuk bisa sampai pada sesuatu yang non empiric, hikmah. Hikmah dipahami sebagai gabungan di antara satuan ilmu, amal dan rasa pemiliknya yang berbuah pada kebaikan untuk diri dan orang lain. Sedangkan hidayah, dimaksudkan di sini,  dicapaimelalui integrasi berbagai hikmah. Salah satu yang menunjukan non empiric, adalah kesiapan sikap jiwa seseorang untuk hidup bersama dengan sejumlah orang lainnya. Hal ini merupakan bagian karunia dari Allah SWT. Intrumen-intrumen tersebut meliputi : hafalan dan pemahaman bersama, anutan dan keyakinan bersama dengan tidak menafikan adanya perbedaan di antara masing-masing individu, memperjuangkan melalui seruan agar bisa membangun amaliah bersama, dan perwujudan secara bersama pula. Pemahaman bersama ini tegak di atas fondasi akhlak karimah dan fitrahnya yang baik dan sahih. 

Ibn Taimiyah ( Muqaddamah fi ‘ilmi al- tafsir: 1-2 ) merekam pula hal tersebut, sbb.: Kebutuhan umat untuk dapat memahami al-Quran itu, sudah sangat mendesak, karena Alqur’an merupakan tali Allah yang kuat, dan peringatan yang sangat bijaksana, serta  jalan yang lurus yang tidak ditemukan penyimpangan di dalamnya oleh sebab pengaruh hawa nafsu; dan tidak pula bercampur baur dengan berbagai pembicaraan manusia, dan bukan pula ciptaan dari para pihak yang   ragu, berbagai keajaiban tidak pula menjadi keputusannya, dan juga para ahli ilmu tidak pernah kenyang karenanya; setiap orang berkata, apa yang diungkapkannya itu adalah kebenaran; orang yang mengamalkannya dapat pahala, orang yang menetapkan hukum dengannya akan adil, orang yang berseru dengannya berarti menyeru pada petunjuk jalan lurus;  barang siapa yang meninggalkannya dengan kesombongan, maka Allah akan membencinya, dan barang siapa yang mencari petunjuk dari selainnya, maka Allah akan menyesatkannya. Allah SWT berfirman :

قَالَ تَعَالَى : {  فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى  } {  وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى  } {  قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا  } {  قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى  }

Maka jika petunjuk dari Ku datang kepada kamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan sedih; dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh baginya kehidupan yang susah, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata : Ya Tuhan ku, kenapa aku kumpulkan dalam keadaan buta, padahal sungguh aku dahulu melihat; Allah berkata : demikian ayat-ayat Kami telah datang kepada mu, lalu kamu melupakannya, dan seperti demikian pada hari itu, kamu dilupakan.[12]

Allah Yang Maha Kuasa berfirman:

: {  قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ  } { يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  } وَقَالَ تَعَالَى : {  الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ  } {  اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ  } وَقَالَ تَعَالَى : {  وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ  } {  صِرَاطِ اللَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ أَلَا إلَى اللَّهِ تَصِيرُ الْأُمُورُ 

Sungguh cahaya dan kitab yang jelas dari Allah telah datang kepada kamu sekalian. Allah memberi petunjuk dengan sebabnya ( cahaya dan kitab itu) kepada siapa yang mengikuti keridhaannya, menempuh jalan keselamatan, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan idzin-Nya, dan Dia menunjuki mereka kepada jalan yang lurus;[13]  Allah SWT berfirman juga:  alif lam ra !Kitab yang telah Kami turunkan kepada mu adalah untuk menarik orang-orang keluar dari kegelapan kepada cahaya dengan izin Tuhan mereka ke jalan Dzat Yang Maha Mulya dan Terpuji) (Allah itu, adalah Dzat yang memiliki segala apa yang di langit dan bumi);[14] dan Yang Mahakuasa berkata: (dan demikian Kami telah wahyukan kepadamu dari perkara urusan Kami secara ruhani yang sebelumnya kamu tidak mengetahuinya, apa kitab itu, dan tidak pula beriman; tetapi Kami jadikan dia cahaya yang Kami tunjuki oleh sebab cahaya itu seorang dari hamba Kami yang Kami kehendaki, dan sungguh engkau akan menunjuki ke jalan yang lurus, yaitu jalan Allah yang bagi-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi, ingatlah kepada Allah segala  urusan akan kembali.[15]

Ia berkata bahwa pengantar singkat ini telah ditulisnya, berdasar pada kapasitas yang Allah telah diktekan dari dalam hati ( melalui cahaya ilmu ), dan Allah itu Dzat Pemberi petunjuk pada jalan kehidupan baik di dunia ini. Bagian pasal ini, memastikan diketahui bahwa Nabi SAW telah menjelaskan kepada para shahabatnya tentang makna-makna Alqur’an melalui makna lafazh-lafazhnya. Dalam hal ini Allah berfirman:    لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إلَيْهِمْ     (= agar kamu /Muhammad dapat menjelaskan kepada orang-orang apa yang diturunkan kepada mereka itu ).[16] Berdasarkan itu, maka intrumen-intrumen alat bagi kehidupan manusia yang akan membawa keselamatan, kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat adalah: Pertama, al-wahyu ( Alqur’an ) sebagai tali yang harus diikuti dari Allah SWT; kedua, al-hawas (indra) sebagai alat yang bisa menangkap bagian-bagian empiric dalam kehidupan; ketiga, al-qalb (hati) sebagai alat untuk dapat memahami dan menilai segala realitas alam termasuk ungkapan-ungkapan ayat Alqur’an;   dan keempat, al-lub (Nurani), yaitu potensi untuk meyakinkan kebenaran dari apa yang dipahami dan  dinilai untuk diperjuangkan dan diwujudkan dalam  sebuah karya nyata budaya kemanusiaan dan peradaban. Sedangkan fu’ad, merupakan medium antara Hati dan Nurani.

Al-Ghazali ( Ihya ‘Ulum al- Din : II/ 219) menyatakan bahwa posisi Hati ( al-qalb) adalah sandaran ilmu pengetahuan, baik ‘ulûm ‘aqliyah / dunyawiyah atau ‘ulûm al-dîniyah / ukhrawiyah. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa  hati ( al-qalb ) itu dengan gharizah-nya, siap menerima berbagai hakikat pengetahuan. Potensi gharizah akal ( ‘ulûm al-’aqliyah) ini, tidak diperoleh karena melalui taqlid ( mengikuti yang lain) atau simâ’ ( sengaja mendengar dari yang lain ); tidak diketahui darimana datangnya dan bagaimana diperolehnya, dua potensi dalam satu dzat, tidak diketahui kedatangannya, mana yang terdahulu dan yang terkemudian. Ia merupakan pengetahuan yang diperoleh manusia dengan sendirinya; ia diciptakan tertanam sejak bayi; namun tidak bisa disembunyikan bahwa potensi akal itu diberikan dan ditunjuki Allah SWT.   Sedangkan ‘ulum al-muktasabah, diperoleh melalui belajar dan mencari petunjuk-petunjuk ( istidlâl ).

Ia berbicara juga tentang akal dengan mengutif perkataan Ali ra : Aku berpandangan akal itu terbagi dua:  1) yang dicetak ( mathbû’), sebagaimana Nabi SAW berkata kepada ‘Ali ra:  Allah tidak menciptakan makhluk yang paling mulya daripada  akal ( al-’aql); dan 2) yang didengar ( masmû’); sebagaimana Nabi SAW berkata juga kepada ‘Ali ra: Apabila manusia mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai kebaikan, maka engkau telah mendekatkan pada akalmu.  Hal ini karena, tidak mungkin taqarrub itu, diperoleh melalui gharizah fithriyah, dan tidak pula secara dharury, tetapi  melalui muktasab (diusahakan). Hal itu pula diumpamakan sebagai  sesuatu yang didengar tidak akan bermanfaat, jika tidak dicetak; sebagaimana tidak bermanfaatnya matahari, bagi mata yang menolak cahayanya. Hati itu, berjalan bersamaan dengan berjalannya mata; gharizah akal berjalan  seirama dengan berjalannya kekuatan penglihatan mata ( al-bashar fi al- ‘ain). Ilmu itu diperoleh dari dalam hati yang berjalan sejajar dengan berjalannya kekuatan pengetahuan penglihatan mata terhadap sesuatu objek yang dilihat. Pada bagian lainnya, al-Ghazali menjelaskan dua konsep, yaitu : al-bashîrah al-bâthinah; dan  al-bashar al-zhâhir.  Timbangan bagi kedua konsep bashîrah dan bashar itu, sebagaimana apa yang disebut fu’ad dalam Q.S. al-Najm: 11;  " ما كذب الفؤاد ما رأى "  ( apa yang dilihatfu’ad tidak ada kebohongan). Demikian juga firman Allah : " فإنها لا تعمى الأبصار ولكن تعمى القلوب في الصدر " ( sungguh mata pisisknya tidak buuta, tetapi mata hatinya yang ada di dalam dadanya yang buta).[17]

     Dzu al-Nun, seorang ahli tasawuf  Mesir, dikutif oleh ‘Abd al-Jabiri ( Bunyah al-‘aql al-‘arabiy: II: 1) mengemukakan hirarki ma’rifah ( pengetahuan ), terbagi pada tiga tingkatan : a) ma’rifah bi îmânin wa bi ikhlâshin ( pengetahuan keimanan dan keikhlasan); b) ma’rifah bi îmânin wa bi ikhlâshin wa bi hujjatin ( pengetahuan keimanan, keikhlasan disertai argument logika sebagaimana ilmu pengetauan yang sekarang berkembang); dan c) ma’rifah bi wahdaniyyah ( pengetahuan terintegratif di antara keduanya, a dan b).  Bagian yang terkahir ini (c), merupakan  objek penelitian setara disertasi ini.  Namun, ketidakmungkinan bagian c ini, dapat berjalan dengan seoptimal mungkin daya manfaatnya, jika kedua bagian lainnya (a dan b) tidak dibangun sebelumnya.

            Isma’il Razi al- Faruqi ( Tauhid: 44-47 ) menyatakan bahwa mengakui Tuhan dan keesaan bearti mengakui kebenaran dan kesatupaduan. Keesaan ilahi dan kesatupaduan kebenaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Secara metodologis, tauhid terbangun dari tiga prinsip. Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas. Prinsip ini bertujuan meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, menjadikan segala sesuatu terbuka untuk diselidiki dan dikritik, melindungi kaum muslimin dari opini / membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan, atau tidak memiliki landasan ilmu. Kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Sering terjadi kontradiksi wahyu dan akal, tetapi Islam menyediakan petunjuk untuk mengatasinya, jika ia terjadi dalam pemahaman, karena masih dalam batas penyelidikan; dan kontradiksi pada pase ini tidak ultimat, sampai diperoleh penyangkalan terhadap kontradiksi tersebut, melalui peninjauan ulang terhadap tesis-tesis yang bertentangan untuk diuji kembali sampai menemukan keterpaduan di antara keduanya. Karena kontradiksi itu terjadi dalam batas pemahaman/ penafsiran oleh akal manusiawi terhadap wahyu itu. Ketiga, keterbukaan bagi setiap temuan yang baru / atau yang berbeda dengan yang ada, bertujuan melindungi kaum muslimin dari literalisme, fanatisme, konservatisme yang mengakibatkan kemandegan, medorong kaum muslimin untuk bersikaf rendah hati intelektual. Sehingga terhadap sesuatu yang ditemukannya, ia menyatakan wa Allahu a’lam.

          ‘Abd al-Razzaq Nawfal (al-Qur’an wa ‘Ilm al-Hadits: 152), mengungkapkan tentang teori kesatuan penciptaan, bahwa  sejak beribu-ribu tahun yang lalu para filosuf  mebahas tentang  materi, termasuk alam. Bahwa alam ini terdiri dari empat unsur, yaitu air, udara, api dan tanah. Pandangan ini berlangsung sampai tahun 500 SM. Teori itu berkembang setelah  2000 tahun kemudian  melalui penelitian William  Hanjz bahwa materi itu tersusun dari  kumpulan atom. Masing-masing benda kumpulan atomnya berbeda-beda banyaknya. Atom merupakan bagian materi yang tidak bisa dipecah lagi, ia sebagai kesatuan wujud. Di dalam atom itu terdapat kekuatan listrik, yang positif dinamakan proton, dan yang negatif dikatakan elektron. Kesatuan penciptaan ini juga ada pada manusia, yaitu: nafs wâhidah. Demikian juga hubungan positif dan negatif dalam penciptaan manusia  dengan konsep zawjaha (pasangannya) (Q.S. al-Nisa: 1;  Q.S. al-A’raf: 187).  

Setelah ilmu pengetahuan itu diperoleh dengan baik, dan telah dibangun integrasi dan keseimbangannya;  melalui grand methodology, maka dua hukum berpasangan ( azwâj) dan keseimbangan ( tawâzun) yang jika ilmu pengetahuan dibangun   di atas dua fondasi hukum ini, maka dalam pemanfaatannya bagi kehidupan manusia akan bisa dirasakan. Karena itu, pada tahap aplikasinya perlu direlevansikan dengan tingkat keluasan garapannya.  Dalam hal ini, Al-Mawardi ( Adab al- Dunyâ wa al- Dîn: 135- 136  ), mengajukan dua hal agar kehidupan di dunia ini bisa baik : 1) membangun suatu system kehidupan (mâ yantazhimu bihî umûru jumlatihâ); dan 2) menyediakan perangkat-perangkat sebagai penyangga yang laik bagi tegaknya bangunan system kehidupan tersebut ( mâ yashluhu kullu wâhidin min ahlihâ). Berdasarkan kedua hal itu, ia menyatakan seorang yang baik berada di lingkungan yang buruk, dan bercerai-berainya segala urusan  tidak akan bisa meniadakan kerusakannya; bahkan bercerai-berainya itu akan menambah buruk keadaan; tetapi seseorang yang keadaannya buruk, berada di lingkungan  yang baik dan segala urusan  padanya teratur dengan baik juga, maka tidak titemukan juga cara untuk memperbaiknya, tidak pula ditemukan cara untuk meluruskannya, karena seseorang itu hidup di dunianya sendiri. Karena itu, penanganan karakter buruk dari perorangan itu, diperlukan penanganan secara khusus, melalui karantina sosial. Masing-masing individu perlu menegakkan ta’âwun, saling membantu. Hal itu kerena perbedaan yang terjadi, kaya miskin/faqir adalah karakternya kehidupan di dunia. Karena itu, tidak ada lagi cara untuk memperbaiki keadaan, kecuali masing-masing orang perlu mentaati agamanya dan menjaga amanatnya.

Selanjunya dalam membangun system kehidupan umat, al-Mawardi mengajukan enam kaidah kehidupan, sebagai berikut : 1) Agama yang ditaati ( dînun mattaba’un); bagian ini dimaksudkan agar kekuatan buruk dari individu bisa dikendalikannya; [18]  2) Negara yang kuat ( sulthânun qâhir ); bagian ini dimaksudkan agar masing-masing pihak yang berbeda keinginan bisa dipersatukan, termasuk para pembangkang bisa ditundukkan;[19] 3) keadilan menyeluruh ( ‘adlun syâmilun );  bagian ini dimaksudkan karena umat baru bisa bersatu hanya di bawah payung keadilan para pimpinan; 4) keamanan merata ( amnun ‘âmmun) akan memberikan ketenangan jiwa; 5) kesejahtraan abadi ( hishbun dâimun ) akan melapangkan jiwa untuk bisa bersyarikat dan terhindarnya kedengkian di antara sesama mereka; dan 6) harapan  dan cita-cita terbuka lebar ( amalun fasîhun) bagi semua pihak sehingga setiap orang bisa bekerja optimal sesuai dengan kapasitas bakat dan keahliannya.   

Keenam kaidah itu, baru akan bisa terwujud dengan baik, jika seseorang memahami aturan-aturan kepublikan, demikian juga para pemimpin public sebagai pihak yang bertanggung jawab menyelenggarakan urusan kepublikan tersebut, memahami betul terhadap amanat yang dibebankan kepadanya untuk dijalankan dengan debaik-baiknya pula.

Apa yang dikonsepkan dalam Alqur’an, merupakan satu kesatuan ajaran yang utuh dan sinergis sebagai  wujud gambaran bangunan kehidupan sistemik; dan  bagian-bagian kehidupan itu, merupakan subsistemnya. Masing-masing arah dari gerakan subsistemnya itu,  tidak boleh ke luar dari arah gerakan system tersebut.

 

 

Kerangka Teori.

        Adapun kerangka berfikir holistic dan manhaji dalam memaknai Alqur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia, sekaligus juga menunjukkan relasi Hidayah dan ‘Ilmu  atau sebaliknya,  relasi ‘Ilmu dan Hidayah, diungkapkan dalam dua gambar, sebagai mana berikut :

 

 

Gambar : 1; Alur pemikiran dari Wahyu / Hidayah ke ‘Ilmu.

 

W A H Y U 

                                              

 

Text Box: sain TeknologiTauhidullah

 

       
    Text Box: Ulum
u
dlndNlmu

Syari’ah
 
 

 

 

 


 Perjanjian Ketuhanan               !             Perjanjian Ketaatan

                                               !

                                               !

       Kaidah Penciptaan              !             Kaidah kebahasaan

                                               !

                                               !

 

       
   
 
 

 

 


 

Hukum AlamFisika/Kimia/ Sosial / EKonomi.ds

Dalil, kaifiyah, alat

 

 

Hukum sya ri’at: ‘Aqi dah/Ibadat/ Akhlak / mu’amalah

Hubungan-hubungan

 

Hakikat Hubungan

 

 
 

 

 

 

 

 


Aktivitas Ibadat

 

 
 

 

 

 


Sasaran yang dipertimbangkan

(Empiris / Formal)

 

 
 

 

 

 


Tujuan akhir yang dicapai

            (Subtansial/Esensial)

 

         Gambar di atas, memperlihatkan alur berjalannya pemikiran keilmuan ( efistimologi ) kesatuan metotologi dasar sebagai penyangga metodologi ilmiah, bagi pencapaian tujuan akhir keagamaan berdasarkan paradigma kewahyuan, al- ruju’ ila alqur’an wa al-sunnah. Mulai dari system kepercayaan, tauhidullah, hukum-hukum penciptaan yang ada di alam sebagai hukum kawniyah, serta hukum syari’at yang tertuang dalam Alqur’an dan al-Sunnah, sebagai hukum qawliyah.   Kedua hukum itu saling terpadu, satu sama lain tidak bisa dipisahkan, bahkan saling keterkaitan kuat dalam satu kesatuan konsep keilmuan dan amaliah; karena keduanya datang dari Dzat Yang Satu yang menuntut keseimbangan. Kedua hukum itu, merapat dengan kehidupan manusia melalui empat perjanjian abadi Khaliq dan makhluq-Nya, yaitu : al-‘aqd, al-‘ahd, al- wutsuq dan al- ishr . Keempat perjanjian ini, akan menjadi timbangan akhir bagi siapa saja yang bisa menyelesaikan tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Pengembangan dari keempat perjanjian itu, dilanjutkan melalui kerja keras tiga Potensi Dasar  Insani ( Indra, Hati dan Nurani ) yang dimotori oleh kekuatan ‘aqal dan nafs secara bersama dalam mewujudkan kaidah-kaidah atau norma-norma filosofis.  Dari norma filosofis terbangun kaidah-kaidah kealaman dalam bentuk penemuan ilmu ‘aqliyah, berupa sain dan teknologi (Fisika, kimia, matematika, ilmu humaniora, dll.); dan kaidah kebahasaan dalam bentuk penemuan ilmu naqliyah, berupa ilmu syari’at ( ilmu Alqur’an, ilmu Hadits, ilmu Fiqh/ ushulnya, tasawuf , dll.). Dalam aspek efistimologi ilmu-ilmu itu, terpandu oleh dalil, cara/kaifiyah dan alat; hubungan-hubungan di antara berbagai unsur yang saling mengikat dan menjadi pandangan dan acuan bersama; serta hakikat hubungan yang membawa pada esensi dari hubungan-hubungan tersebut. Sedangkan dalam aspek aksiologi ilmu-ilmu tersebut adalah tuntutan aktivitas ibadat, baik individu atau kolektif. Diharapkan dengan landasan keimanan tauhidullah, ikatan keilmuan, amaliah dan rasa kolektif, dapat membuahkan atsar berupa sasaran pencapaian yang bersifat duniawi formal; dan capaian tujuan akhir kehidupan yang bersifat global.       

         Kerangka pemikiran manhaji ini, bisa dipakai untuk mengukur berbagai aktivitas keagamaan, mulai dari kaifiah berwudhu yang berposisi sebagai wasail bagi pelaksaan ibadat yang lebih besar, seperti salat yang memiliki sasaran spesipik juga. Demikian juga ibadat-ibadat lainnya dalam Islam; bahkan pengukuran bagi mu’amalah islami, kerangka pemikiran manhaji tersebut bisa dipergunakannya.

         Satu bagian lagi yang menyangkut tuntutan umum bagi keseharian seseorang yang dapat mengantarkan kehidupan Islami yang dipandu oleh ketiga fungsi Potensi Dasar Insani, adalah diisyaratkan dalam Q.S. al- Zumar : 17-18; dan Q.S. al- Nahl : 119-123.

   Gambaran   alur kerja yang terintegrasi di antara ketiga Potensi Dasar Insani ( Indra, Hati dan Nurani ) dalam proses penumbuhan kreativitas dan inovasi yang terintegrasi dan berkeseimbangan serta berrelasi dengan cita-cita berkehidupan yang dinformasikan melalui wahyu, sebagaimana tertulis dalam teks-teksnya, Alqur’an dan al- Sunnah, baik di dunia dan baik di akhirat, tiada lain adalah  relasi ‘Ilmu dan Hidayah secara bersama. Cara kerja yang saling berrelasi di antara keduanya itu, dimulai dari pemanfaatan panca indra dalam berbagai aktivitas keseharian seseorang ketika berhadapan dengan objek yang ada pada lingkungan ( realitas yang dihadapi )nya, dan pengetahuan yang dimilikinya sebagai alat  penilai dua realitas : perkataan dan perbuatan. Kedua jenis objek itu, dinilai oleh hati ( qalb ) melalui dua kekuatan al-‘aql dan al-nafs, dengan standar penilaian ganda,  baik ( taqwâ ) dan buruk ( fujûr ).  Jika penilaian terhadap keduanya atau salah satunya adalah baik, maka akan berlanjut diakses oleh potensi ketiganya, yaitu  nurani ( al-lub ) atau akal sehat ( ‘aql khalish ) melalui fu’ad.[20]  Jika penilaian terhadap keduanya, atau salah satunya itu adalah buruk, maka tidak akan dapat diakses oleh potensi nurani, tapi terhenti pada hati fujûr. Kerja nurani, ketika mengakses sesuatu yang dipertimbangkan baik oleh hati, atau hati dalam keadaan ragu, tidak dapat memberikan penilaian baik atau buruk, maka nurani  akan memberikan pertimbangan

dengan penuh keyakinan dan putusan-putusan yang keluar dari dalamnya

hanya satu, yaitu: benar dan jelas kebenarannya, tulus, abadi, universal, komulatif, dan subtantif. Oleh sebab itu, maka keputusan yang datang dari

nurani ( lub ) merupakan putusan solutif terhadap berbagai masalah ke hidupan bagi siapa saja yang telah siap memberlakukannya secara

subjekatif.  Ujung capaiannya adalah diperolehnya kebaikan hidup di dunia dan di akhirat secara bersamaan.

 

Gambar : 2; Alur pemikiran dari ‘Ilmu ke Wahyu /  Hidayah, sbb.:

       

                                        Wahyu

 

 
 

 

 


                                     Tauhidullah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


HdO = Hidayah Objektif; HdS = Hidayah Subjektif.

 

Gambar di atas, diformulasikan dalam empat jalur. Pertama, menyangkut wilayah yang sangat abstrak, gagasan, ide dan keyakinan, yaitu wahyu dan tauhidullah. Kedua, menyangkut wilayah ilmu pengetahuan, meliputi potensi  Indra ( al-hawas ) melalui lima potensinya,  berbagai realitas dan ilmu yang dimiliki karena pengalaman seseorang, dan objek indrawi berupa  berbagai perkataan dan perbuatan; dan Hati (al-qalb ), dengan potensinya memberikan standar ganda baik-buruk, senang-benci, gembira-sedih; dan potensi lainnya, berupa akal dan nafs sebagai motivator. Ketiga, jika sampai di sini, Hati memberikan keputusan baik dan diikutinya tentang sesuatu objek yang diindra itu, melalui kekuatan aqal syawwab ( akal berstandar ganda) maka kekuatannya bersifat Zhan (perkiraan kuat) tentang kebaikan sesuatu tersebut. Bagian ini yang dikatakan keputusan ilmiyah, atau keputusan yang didasarkan pada Hidayah Objektive (HdO). Jika informasi tersebut  berlanjut disampaikan melalui aqal khalish ( akal sehat ) munuju  Nurani (al-lub, jamaknyaal-albab), maka akan masuk pada wilayah keyaqinan, sekalipun bersifat relative; namun akan direspon dan diterima oleh banyak orang karena kesamaan dalam peenerimaan kebenaran secara subjective. Akhir dari semuanya itu (subjective + subjective berbuah substantive) dan akan berujung pada kehidupan jama’ah yang baik. Hal ini karena, Nurani memiliki karakter subtantif, abstrak, konprehenshif, lurus dan jelas kebenarannya, idealis, hidup dan dinamis. Capaian dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, melalui integrasi, Indra, Hati dan Nurani, akan memiliki kekuatan solutif, sekalipun bersifat subjective ( HdS). Sehingga kehidupan yang sebenar-benarnya dan yang dicita-citakan, berupa kebaikan di dunia akan tercapai, dalam batas-batas nilai kemanusiaan tertinggi. Namun, jika semuanya itu di sertai dengan nilai keimanan, tauhidullah,  dan buah amal salih sebagai wujud ketaatan terhadap segala yang datang dari wahyu, maka bersamaan dengan kebaikan di dunia itu, kebaikan di akhiratpun akan tercapai juga.

Langkah seperti di atas, maka apa yang dimaksudkan dengan pendekatan Bayani, Burhani dan ‘Irfani oleh al- Jabiri dalam buku keduany: Bunyah al-‘Aql  al- ‘Arabiy, akan bisa di formulasikan dalam bingkai grand methology sebagai konsumsi pengembangan keilmuan ke depan.  Demikian, semoga bermanfaat.wa Allahu a’lam bi al- shawab.

   

 

 

Metodologi.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah bookssurvey,dan pelatihan-pelatihan olah rasa kolektif dan ketulusan. Books survey,yaitu penelitian yang didasarkan pada studi literature, terutama menyangkut interpretasi Alqur’an dan Hadits Nabi SAW, melalui tiga pendekatan, sbb.:

1.                       Qirâah Muntijah ( bacaan produktif) dengan teknik yang didasarkan pada pemanfaatan tiga potensi dasar insani secara bersamaan. Ibn Taimiyah ( Muqaddamah, Loc.Cit. ) mengungkapkan berdasar pada kapasitas yang Allah telah diktekan dari dalam hati ( melalui cahaya ilmu ), dan Allah itu Dzat Pemberi petunjuk pada jalan kehidupan baik di dunia ini. Bagian pasal ini, memastikan diketahui bahwa Nabi SAW telah menjelaskan kepada para shahabatnya tentang makna-makna Alqur’an melalui makna lafazh-lafazhnya. Dalam hal ini Allah berfirman:    لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إلَيْهِمْ     (= agar kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada orang-orang apa yang diturunkan kepada mereka itu ). Demikian juga Ibn Qayyim (al-Fawâid: 13) jika kamu bermaksud mengambil nilai manfaat dari bacaan Alqur’an itu, maka tiga langkah perlu dilakukan : 1) kumpulkan hati ketika membaca dan mendengarnya; 2) temukan fungsi pendengaranmu ( sam’aka ), atau dipersaksikan hati; dan 3) hadirkan dirimu seolah-olah berada bersama orang yang diajak bicara oleh Allah SWT, karena titah terhadapnya adalah titah kepadamu juga melalui lidah rasul-Nya. Acuan ketiganya didasarkan pada : Q.S.Qaf : 37; dan Q.S. Yasin : 69.  Hasan al- Banna (Muqaddamât fî ‘ilmi al-Tafsîr : 30-31) setelah ditanya muridnya tentang tafsir Alqur’an yang paling baik dan mempermudah jalan pemahaman, dijawabnya “qalbuk” ( hatimu); lalu ia berkata : fa qalbu al-mukmini lâ syakka huwa afdhal al- tafâsîr li kitâb Allah ( hati orang mukmin tidak diragukan merupakan penafsir yang paling baik bagi kitab Allah). Kemudian ia menunjukkan langkah teknis pemahaman, sbb.: 1) Hendaklah seorang pembaca Alqur’an disertai dengan tadabbur dan khusyu’; 2) mohon ilham / kecerdasan dan petunjuk atas kebenaran kepada Allah SWT, ketika membacanya; 3) menghimpunkan pengetahuan tentang sirah Nabi SAW, karena di sana terdapat sebab-sebab turunnya yang merapat dengan terjadinya peristiwa, karenanya pemahaman yang sahih dan selamat akan terbantu lebih banyak ditemukan. Maka, setelah itu, akan muncul cahaya bersinar dari dalam lubuk hati (shamîm al- qalb). Demikian juga Muhammad Abduh, dikutif oleh Hasan al- Banna, menyatakan : 1) Dawamkan dalam membaca Alqur’an; 2) pahami segala perintah,  larangan, nasihat dan ibrahnya, sebagaimana Alqur’an dibacakan pada hari-hari diturunkannya; 3) hati-hati atas berbagai arahan tafsir-tafsir kecuali untuk memahami lafazh yang asing; atau mengikatkan pada makna mufradat lain yang memiliki hubungan; 4) libatkan diri kearah yang ditunjuki Alqur’an; dan 4) jika ditemukan makna lafazh yang pelik, bantulah dengan penafsiran para ulama tentang lafazh tersebut.

Disamping itu, dalam menajamkan pendekatan ini, adalah melalui pemaknaan terhadap semua konsep Alqur’an tentang kehidupan ini, melalui teknik studi linguistic dan semiotic sekalipun dalam batas umumnya. Beberapa ahli tentang masalah ini bermunculan, seperti : Mohammad Arkon,   M. Quraish Shihab, dll.

Berdasarkan itu, maka intrumen-intrumen alat bagi kehidupan manusia yang akan membawa keselamatan, kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat adalah: Pertama, al-wahyu ( Alqur’an ) sebagai tali yang harus diikuti dari Allah SWT; kedua, al-hawas (indra) sebagai alat yang bisa menangkap bagian-bagian realitas dalam kehidupan, termasuk pandangan dan pengetahuan seseorang; ketiga, al-qalb (hati) sebagai alat untuk dapat memahami dan menilai segala realitas alam termasuk ungkapan-ungkapan ayat Alqur’an;    dan keempat, al-lub (Nurani), yaitu potensi untuk meyakinkan kebenaran dari apa yang dipahami dan  dinilai untuk diperjuangkan dan diwujudkan dalam  sebuah karya nyata budaya kemanusiaan dan peradaban. Sedangkan fungsi al-Fu’ad, merupakan penyambung di antara al-qalb dan al-lub, karena dua karakternya, yaitu:  kekosongan jiwa ( kebimbangan berat ) dan tidak ada kebohongan.

2.                       Qawâ’id al- Tafsîr,meliputi lima cara : 1) Alqur’an dengan Alqur’an; 2) Alqur’an dengan Hadits Nabi SAW ( Tafsir bi al-ma’tsûr); 3) Alqur’an dengan Ilmu Pengetahuan ( Tafsir bi al-‘ilmi ); 4) Alqur’an dengan hukum-hukum logika bahasa ( Tafsir bi al-ma’qûl ); dan 5) Alqur’an dengan pengalaman keagamaan seorang ahli tafsir ( Tafsir bi al- Isyâry). Setiap penafsiran senantiasa dapat dikembalikan pada tiga nilai dasar etika : Rububiyah; Insaniyah dan tsaqafiyah; dan dikembalikan juga pada tujuan akhir risalah Islam ( maqâshid al- syarî’ah ).

3.                          Manhaj al-Hayâh;dengan pendekatan holistic ( menyeluruh ), dan manhaji. Dimaksudkan holistic, adalah satu  bidang keilmuan merupakan bagian dari bidang keilmuan lainnya yang diposisikan secara  seimbang terintegrasi dan saling berhubungan. Dalam hal ini, Seyyed Hossen Nasr (Pengt. Osman Bakar, Hirarki Ilmu Membangun Rangka Fikir Islamisasi Ilmu: 1998/ 11) menyatakan:

Dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubunganantar berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan  realisasi kesatuan ( keesaan ) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Dunia Islam telah kehilangan visi hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam system pendidikan Islam tradisional.

Sedangkan yang dimaksud pelatihan olah rasa kolektif dan ketulusan dimaksudkan untuk menurunkan pada level amaliah praktis guna penumbuhkan pengalaman keagamaan yang optimal.

Kemudian dimaksudkan manhaji adalah analisis dalam pengkajiannya erdasarkan formulasi kehidupan, jelas tahapan pencapaiannya, dan berkeseimbangan sampai pada tujuan akhir yang ditetapkan. Hermeneutiktidak sepenuhnya digunakan di sini, karena menyangkut bagian-bagian rasa dan pengalaman keagamaan perorangan yang paling subjective yang dibangun atas dasar integrasi tiga Potensi Dasar Insani ( PDI ).

Jamil Shaliba ( Mu’jam Falsafiy : II / 435 )  memanta’ripkan manhaj, lebih jelas ukurannya daripada al- thariq dan al- syari’ah, yaitu :    الطريق الواضح  السلوك البين  السبيل المستقيم  ( jalan  yang jelas, pola hidup yang  terang dan pijakan yang meluruskan, baik yang berhubungan dengan aspek keilmuannya, maupun petunjuk pelaksanaannya yang bisa menyampaikan pada sasaran-sasarannya). Dalam entri al-thariqah ( method ) tiada lain adalah al-manhaj, yaitu jalan yang jelas dan lurus oleh sebab pandangan yang sahih yang dimungkinkan dapat menyampaikan pada tujuan akhir yang telah ditetapkan (Ibid.: II/ 20).

4.                      Kaidah al-Tadarruj fi al-Ta’lim;  bahwa kunci utama dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang memiliki kekuatan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu menemukan nûr ( cahaya kehidupan) yang dapat mengeluarkan dari suasana kegelapan, adalah melalui pengendalian nafs yang ada pada diri masing-masing pencari ilmu itu. Nafs yang dimaksud di sini,  sebagaimana diungkap dalam Q.S. Yusuf : 53; nafs itu sungguh memerintahkan keburukan atau berprilaku maksiat terhadap pemiliknya karena kelezatan duniawi, kecuali nafs yang dirahmati Allah SWT. Istilah lain untuk nafs buruk ini, adalah hawa nafs. Apalagi, jika yang dicari adalah hidayah Allah SWT, perlu dipastikan keimanan yang kuat terhadap-Nya, kataatan yang komit bisa dipertanggung jawabkan, dan keikhlasan yang sejati disertai keridhaan dalam mengamalkan ilmu pengetahuan dari setiap pemangkunya. Ada enam tahapan yang mesti dilalui, jika seseorang menghendaki kemadirian akademik yang berintegrasi seimbang dengan  amaliah dan rasa publiknya, yaitu : Pertama, penguasaan qirâ’ah, kitâbah, tahfîzh dan imlâ; kedua, penguasaan perbendaharaan kata beserta makna mufradatnya; ketiga, pemaknaan yang lebih komprehenshif; keempat, pemahaman terhadap teks nash /dalil-dalil yang ta’arudh/mutktalif; kelima, muhasabah atau introspeksi, guna memfungsikan potensi dasar insani / Inner Capacity;  keenam, aplikasi nilai ajaran agama dalam kehidupan nyata secara individual; dan ketujuh, perumusan grand methodologi guna menemukan konsep tauhid ilmu ( integrasi antar berbagai bidang ilmu pengetahuan ) sebagai landasan pandangan, kehendak dan aksi yang mengarah pada sasaran bersama. Ketujuh tahapan itu, terkait erat  dengan standar penguasaan materi ajar yang seimbang dengan sikap dan aksinya pada setiap tingkatan pendidikan dan pengajaran di sekolah dari tingkatan awal Raudhah al-Athfal ( TK) sampai dengan PT ( Cf. Ayat Dimyati, Mengerti dan Memahami Islam Kaffah, bahan kajian Ramadhan pada jama’ah Mesjid Raya Mujahidin).

Manhajidimaksudkan di sini juga berbeda dengan manhaj al-‘ilmy, sebagaimana ditawarkan dalam metodologi ilmu empiris, seperti ilmu social, sejarah atau ilmu alam sekalipun. Apalagi ia berbeda dengan apa yang disebut manhaj al-durûs ( kurikulum pelajaran ).[21] Namun, semua metodologi yang telah dibangun itu, merupakan bagian yang diaksesnya juga, pada level-level tertentu. Karena itu, yang dimaksud manhaji di sini adalah manhaj kehidupan  (manhaj al-hayâh) merupakan kelanjutan manhaj-manhaj yang telah ada sebelumnya. Artinya, tidak berjalan manhaj yang digunakan di sini ( CoHQ ), jika tidak memahami manhaj-manhaj empiris lainnya, seperti manhaj para ahli fiqh dan ushulnya, manhaj muhaddits dan ahli tafsir  atau ahli spiritualis lainnya, seperti / ahli tasawuf/mistisisme; bahkan sampai pada kaidah-kaidah filosofis sekalipun dalam batas-batas tertentu yang diposisikan sebagai pendukung/ intrumentalnya. Karena itu, kesadaran untuk bisa menghargai dan menerima pikiran, karya dan temuan orang lain sangat dibutuhkan, sekalipun penguasaan secara detail manhaj-manhaj itu kurang dipahaminya.

 

 

Sistematika Pembahasan.

Adapun sistimatika pembahasan, dikemukakan sebagai berikut:

Bab I tentang Pendahuluan berisi bahasan latarbelakang masalah, rumusan masalah, hipotesis, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metodologi, sistimatika bahasan,  out line dan daftar bacaan.

Bab II, tentang konsep Kehidupan dalam Alqur’an, meliputi bahasan : Pengertian hidup dan kehidupan manusia; siklus kehidupan; Alqur’an sebagai jalan hidup dan berkehidupan, tujuan hidup dan pertanggung jawabannya berdasarkan Alqur’an.

Bab III, tentang konsep ‘Ilmu pengetahuan, hikmah dan Hidayah, berisi uraian  batasan ta’rif ilmu, hikmah dan Hidayah; sumber-sumber ilmu pengetahuan, hikmah dan Hidayah; eksistensi ilmu pengetahuan, hikmah dan hidayah; hirarki ilmu pengetahuan, hikmah  dan Hidayah; perbedaan dan persamaan; sasaran ilmu, hikmah dan Hidayah.

Bab IV, tentang relasi Ilmu pengetahuan dan Hidayah, meliputi bahasan: Dimensi-dimensi Ilmu pengetahuan dan Hidayah; cara kerja Ilmu pengetahuan dan Hidayah; sasaran akhir dari ilmu pegetahuan dan hidayah, keperluan kehidupan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan hidayah.

Bab V, tentang aplikasi Ilmu dan Hidayah dalam kehidupan manusia, meliputi bahasan : Aplikasi Alqur’an sebagai hidayah bagi umat manusia dan al-Sunnah sebagai bayan-nya; aplikasi dalam ibadat dan mu’amalah islami melalui kasus-kasus dalam beribadat dan mu’amalat islami; realisasi dalam kehidupan nyata ( pribadi, keluarga, lingkungan, dan berbangsa dan bernegara) wujud pemanfaatan ilmu pengetahuan dan hidayah.

Bab VI, tentang aplikasi dalam pendidikan dan pengajaran, meliputi: pengenalan tujuh pase pembelajaran berikut pelatihannya dalam garis umum; rancangan kurikulum pembelajaran; penyusunan materi ajar dan referensi; penyediaan tenaga guru dan sarana pisik; dan pelaksanaan PBM dan evaluasi.

Bab VII, tentang kesimpulan dan penutup.

        Demikian, rancangan penelitian dengan tema Relasi Ilmu dan Hidayah ini dibuat, mudah-mudahan ada manfaatnya.  wa Allahu a’lam bi al- shawab.

 

 



[1] Al-Thabary dalam Tafsirnya (Juz III / 448) menyatakan bahwa dimaksudkan dengan ungkapan  dalam Q.S. al- Baqarah : 185;  hudanli al-nas, adalah petunjuk bagi umat manusia menuju jalan kebenaran; atau dimaksudkannya (berfikir) manhaj. Sedangkan bayyinâtin, adalah berbagai penjelasan ( wâdhihâtin ) terhadap sesuatu yang datang dari petunjuk (hidayah) itu, berupa penjelasan yang menunjukkan pada batas-batas, ketentuan-ketentuan, dan tentang hukum halal dan haram. Kemudian, al-furqan dimaksudkan, adalah pemisah di antara hak dan batil; sebagaimana dalam riwayat Asbath dari al-Suda bahwa makna: وبينات من الهدى والفرقانdalam ayat itu adalah pemisah  min al- halal wa al-haram.

Harun Nasution ( Islam Rasional: 1995/31) memaknakan Alqur’an sebagai hidayah itu adalah bahwa Alqur’an itu mengandung  dasar-dasar agama, pegangan, hukum-hukum, petunjuk tentang  pemakaian daya jasmani serta daya akal  untuk kemaslahatan manusia. Dia menyatakan hal itu, dengan mengutip pandangan Rasyid Ridha dan al- Zamakhsyari dalam tafsir keduanya. Al-Kitab yang tidak mesti berarti Alqur’an, atau lawh mahfûzh, atau ummu al-kitâb, atau ilmu Tuhan;  ia mengandung makna segala-galanya. Karena itu, Alqur’an memerlukan al- Sunnah, ijma’, qiyas dan ijtihad dalam mengaplikasikannya.

[2] Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkecenderungan hati untuk arah qiblat salat itu ke masjid al-Haram yang sebelumnya ke bait al-Maqdis;  karena ia berada di tempat kelahirannya, Makkah, sebagaimana dalam Hadits  : صحيح مسلم ج: 1 ص: 375

عن أنس أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  كان يصلي نحو بيت المقدس فنزلت قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك   قبلة  ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام فمر رجل من بني سلمة وهم ركوع في صلاة الفجر وقد صلوا ركعة فنادى ألا إن القبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة

صحيح البخاري ج: 6 ص: 2648

عن البراء قال لما قدم رسول الله  صلى الله عليه وسلم  المدينة صلى نحو بيت المقدس ستة عشر أو سبعة عشر شهرا وكان يحب أن يوجه إلى الكعبة فأنزل الله تعالى قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك   قبلة  ترضاها فوجه نحو الكعبة وصلى معه رجل العصر ثم خرج فمر على قوم من الأنصار فقال هو يشهد أنه صلى مع النبي  صلى الله عليه وسلم وأنه قد وجه إلى الكعبة فانحرفوا وهم ركوع في صلاة العصر

[3]Cf. Wahbah al- Zuhaily ( Alqur’an al- Karim bunyatuhu al-Tasyri’iyyah: 1993/ 48-49).

[4] Makna qalb demikian itu, bila dihadapkan dengan konsep  lub yang bermakna aql al-khalish. Makna lub demikian itu, karena kesucian dan kebersihannya. Setiap lub adalah akal, tidak setiap akal adalah lub. Karena itu, segala sesuatu yang tidak diketahui oleh akal syawâb kecuali oleh akal khâlis dikatakan ulu al-albab, sebagaimana  Q.S. al- Baqarah: 269 :(ومن يؤت الحكمة فقد أوتى خيرا) إلى قوله: (أولوا الالباب)

غريب القرآن للأصفهاني - (ج 1 / ص 446). Dalam term para ahli filsafat, ungkapan qalb itu secara umum dikatakan al-nafs, al-ruh, atau sesuatu yang halus, bersifat ketuhanan; ia berhubungan dengan qalb jasmaniy. Karena itu, hakikat manusia  menurut mereka berhubungan dengan jiwa yang berbicara (al-nafs al-nâthiqah), yaitu akal ( cf. Jamil Shaliba : Mu’jam falsafiy :  II/ 196 ); namun mereka tidak sampai membicarakan lub.

[5] صحيح البخاري ج: 1 ص: 42

عن أبي موسى عن النبي  صلى الله عليه وسلم قال ثم مثل ما بعثني الله به من   الهدى  والعلم كمثل الغيث الكثير أصاب أرضا فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب الكثير وكانت منها أجادب أمسكت الماء فنفع الله بها الناس فشربوا وسقوا وزرعوا وأصابت منها طائفة أخرى إنما هي قيعان لا تمسك ماء ولا تنبت كلأ فذلك مثل من فقه في دين الله ونفعه ما بعثني الله به فعلم وعلم ومثل من لم يرفع بذلك رأسا ولم يقبل هدى الله الذي أرسلت به

[6]Q.S. al- Shaffat : 99; Q.S. al-Syu’ara: 62; Q.S. al- Tawbah: 40. 

[7]Al Jurjani ( al-Ta’rifât :  I/  82) member ta’rif  hidâyah adalah سلوك طريق يوصل إلى المطلوب( jalan yang dilalui yang menyampaikan pada yang dicari); atau الدلالة على ما يوصل إلى المطلوب،(penunjukan atas sesuatu yang menyampaikan pada apa yang dicari). Sedangkan ‘Ilmu dita’rifkan adalah I’tiqâd al-jâzim al- muthâbiq li al-waqâi’i (keyakinan yang tetap yang seirama dengan apa yang terjadi); atau  حصول صورة الشيء في العقل( diperolehnya gambaran sesuatu dalam aqal) (  التعريفات - (ج 1 / ص 49).

 

[8]Beberapa ayat Alqur’an mengisyaratkan tentang masalah ini, spt.: Q.S.al-Qashash :56.

[9] Q.S. al- Insan : 3; Q.S. al- Balad: 10.

[10] Al-Muwaththa : Juz VI/ 28; Shahih Bukhari : Juz XXI/341; Sunan al- Turmudzi: VIII/ 229-230; Sunan Ibn Majah: XI/ 370; dan Musnad Ahmad : XXVII/369, XLVIII/ 314, L/485, dan LV/117.

[11] Dua tokoh Ormas besar di Indonesia, mengomentari atas fatwa yang dikeluarkan Datok Haji Wan Jahidi bin Wan The (Mufti Wilayah Persekutuan negeri Malaysia, meliputi Kuala Lumpur, Putra jaya, dan Labuan) pada tgl. 17 juni 2010, bahwa ESQ itu sesat dan haram, yaitu Din Syamsudin ( Ketua Umum Muhammadiyah ) menanggapi fatwa itu sebagai salah persepsi dan salah pengertian adalah sangat disayangkan; dan Said Aqil Siradj ( Ketua Umum PB NU) menanggapinya tidak layak dialamatkan pada ESQ; praktik keagamaan tersebut sudah dikaji oleh al- Ghazali, hanya penyampaiannya disesuaikan dengan masa kekinian ( Harian Republika, Kamis, 22 Juli 2010, hal 12).

[12]Q.S.Thaha : 123-124.

[13]Q.S. al-Maidah : 15-16.

[14]Q.S. Ibrahim : 1-2.

[15]Q.S. al-Syura: 52-53.

[16] Q.S.al-Nahl : 44.

[17] Q.S. al- Haj : 46;   Q.S. al-Qashash : 10 : dan fu’ad ibu Musa menjadi kosong / hampa.

[18]  Agama yang ditaati itu berhubungan erat dengan kesempurnaan akal seseorang. Pelaksanaan syari’at  ajaran agama oleh para penganutnya, baru bisa dipandang sah, jika pada mereka itu diperoleh akal                                                     yang sempurna sehat.  Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Qiyamah : 36;Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?

Sebagaian filosof membagi wilayah etika pada dua bagian : Pertama, etika syari’at, dimamaksudkaannya untuk penyempurnaan kewajiban-kewajiban individual; dan  kedua, etika siyassah, dimaksudkannya untuk penyempurnaan kewajiban-kewajiban public, termasuk mengolah Negara. Siapa saja yang meninggalkan kewajiban individualnya, maka dia telah menzhalimi dirinya; dan bagi siapa saja yang merusak lingkungan, maka dia telah menzhalimi yang lainnya.   

 

[19] Beberapa Hadits Nabi SAW berikut menjelaskan hal ini. Pertama , Hadits nabi SAW berikut :   السلطان ظل الله فى الارض  (kekuasaan Negara itu, adalah wujud tempat bernaung yang disediakan Allah SWT di muka bumi, setiap yang terzhalimi akan mengembalikan masalah kepadanya ).  Kedua, Hadits nabi SAW :   ان الله ليزع بالسلطان اكثر مما يزع بالقران ( Bahwa Allah menyelesaikan berbagai masalah melalui kekuasaan negara lebih banyak daripada menyelesaikan masalah dengaan Alqur’an). Ketiga, Hadits Nabi SAW :  ان الله حراسا فى السماء  و حراسا فى الارض فحراسه فى السماء الملائكة وحراسه فى الارض الذين يقبضون ارزاقهم  و يذبون عن الناس

( bahwa Allah SWT memiliki para penjaga di langit dan para penjaga di bumi, maka para penjaga di langit itulah para malaikat, dan penjaga di bumi itulah mereka yang mengusai rizqi/ kekayaan ( ilmu dan harta dan mereka yang menahan orang-orang). Keempat, Hadits nabi SAW :  الامام الجائر خير من الفتنة  و كل لا خير فيه  وفى بعض الشر خيار     ( seorang pemimpin yang cenderung zalim lebih baik dari fitnah, semuanya tidak ada kebaikan nya, tetapi pada sebagian keburukan itu mengandung pilihan). Kelima, Abdullah Ibn Mas’ud berkata :  Penguasa itu rusak, tetapi apa yang Allah perbaiki dengan sebabnya lebih banyak; Jika dia berlaku adil, maka dia akan memperoleh pahala, maka mestilah kamu sekalian bersyukur, jika seseorang berlaku zhalim, maka dosa atasnya, hendaklah kamu bersabar).  

[20]Q.S. al- Najm : 11 Hati /fuad itu tidak membohongi apa yang dilihatnya); dan                Q. S. al-Qashash: 10;  ( Hati Ibu Musa menjadi kosong atau bimbang berat,  karena ingat anaknya, Musa ) . Jika demikian,  maka fu’ad  ( berkarakter tidak bohong dan namun terkena kebimbangan ) itu, berposisi  sebagai intrumen / penyambung informasi  antara Hati dan Nurani.

Sedangkan lub ( nurani) berpotensi hanya satu nilai, yaitu  benar, lurus, jelas dan  yakin. Karena itu, jika dimaksudkan untuk membangun kebersamaan, maka potensi nurani ini yang dominan berperan; dan bersamaan yang dibangunnya secara tulus.   

 

 [21]Selain tiga jenis manhaj/ tharîqah yang telah disebutkan di atas, Jamil Shaliba ( Ibid.: II/20) menyebutkan beberapa jenis manhaj / thariqah yang lainnya yang biasa digunakan dalam pembelajaran yang disebut manhaj al-durûs, yaitu : tharîqah al-tajrîbiyyah ( methode Experimental), tharîqah al-ittifâq / tharîqah al-talâzum fi al- wuqû’ ( methode concordance), tharîqah al-Ikhtilâf / tharîqah al-talâzum fi al-ikhtilâf ( methode difference), thariqah al-bawâqiy ( method residus ),tharîqah al-talâzum fi al-taghyyur, atautharîqah al-taghayyurât al-mutalâzimah ( Methode variation concomitant), atau thuruq al- baths ataumanâhij al-bahts ( methodologis), danal-tharîqah al-mukhtashshah bi al-sâlikîn ilâ Allah ( mistisisme) (Cf . al-Ta’rifât karya al- Jurjâniy). Sayyid Quthub (:  في ظلال القرآن - (ج  1 / ص 7) menyatakan bahwa makna الهداية إلى الطريق المستقيمitu, merupakan penjaminan berupa diperolehnya kebahagiaan dunia dan akhirat karena suatu keyakinan. Dia itu  pada hakikatnya, merupakan petunjuk terhadap fithrah manusia untuk menuju perundangan Allah yang seirama di antara gerakan manusia dan gerakan segala yang ada, menuju Allah rabb al- ‘alamin ( هي ضمان السعادة في الدنيا والآخرة عن يقين . . وهي في حقيقتها هداية فطرة الإنسان إلى ناموس الله الذي      الله رب العالمينينسق بين حركة الإنسان وحركة الوجود كله في الاتجاه إلى 


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website