PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Barat
.: Home > Artikel

Homepage

REKONTRUKSI HUKUM ISLAM Aplikasi Hukum ‘Ainiy dan Hukum Kifaiy dalam Ibadat dan Mu’amalat

.: Home > Artikel > PWM
20 Maret 2012 16:43 WIB
Dibaca: 5452
Penulis :

 

REKONTRUKSI HUKUM ISLAM [1]

Aplikasi Hukum ‘Ainiy dan Hukum Kifaiy dalam Ibadat dan Mu’amalat

Oleh :  Ayat Dimyati

Pendahuluan

Berbicara hukum Islam yang spesipik sebagaimana dalam wilayah studi pada Fakultas syari’ah ini, tidak bisa lepas dari berbicara agama Islam sebagai suatu sistem kehidupan yang menjamin kebaikan penuh, di dunia dan di akhirat. Hal itu tergambar dalam tujuan syari’at Islam itu sendiri, rahmatan li al- ‘alamin (Q.S. al-Anbiya: 107).  Tujuan syari’at itu, bersifat abstrak, menyeluruh dan esensial yang hukum asalnya di bangun melalui hukum ‘ainiy; berupa khithab-khitab secara individual / ‘ainiyah.  Hukum Islam yang kita pelajari dalam wujud hukum ‘ainiy itu, bersifat spesipik, terbatas, intrumental dan formal.[2]  Karakteristik hukum Islam seperti itu, telah kita kenali berkat hasil studi tempo dulu sampai sekarang, kemudian ditransferkan pada generasi pelanjut kita, sepertinya tanpa ada perubahan mendasar di kalangan umat.  Jika pola pemahaman, anutan, perjuangan dan perwujudan atas hukum Islam  seperti itu, maka selamanya dan sampai kapanpun tujuan syari’at di atas tidak akan tercapai. Hukum Islam yang kita bicarakan dan kita kerjakan pada setiap harinya, jika kurang membawa kemajuan atau perubahan dalam kehidupan umat menuju kondisi yang lebih baik, maka nilai manfaat dari ilmu ( ‘ilmu nâfi’ ) yang kita ajarkan itu, kurang mengakses aspek kepublikan. Realitas di negeri yang berpenduduk muslim terbesar ini, menunjukkan, bahwa ketika hukum ‘ainiy ditunaikan, maka hukum kifaiy terabaikan; seperti kecelakaan karena berdesakan, bahkan kematian, ketika pembagian ZIS pada bulan Ramadhan dan bulan Syawal; dan ketika pembagian daging hewan kurban beberapa hari yang lalu, tepatnya pada hari tgl. 16 dan 17 November 2010/ 10 Dzu al-hijjah 1431.  Padahal peristiwa ini pada setiap tahunnya sering terjadi, dan setiap tahun itu pula tidak terjadi perubahan yang signifikan.

Laiknya, kita semua perlu komitmen untuk berbicara tentang standar-standar capaian kemajuan yang sebenarnya bagi umat ini, setelah kita mengetahui dan mendalami hukum Islam itu. Ikhtiar yang sedang dilakukan sekarang melalui program pengendalian mutu akademik, baru sebagai langkah pemula dan  bersifat administratif formal; sedangkan aspek-aspek esensialnya yang menyangkut etika dosen dan mahasiswa, dan etika manajmen akademik masih berat dilaksanakan. Relasi hubungan di antara kita semua dosen–mahasiswa, pimpinan-bawahan, bersifat simbolik; padahal kita diikat oleh keimanan yang sama, mushaf yang sama, dan kiblat yang sama. Dikatakan demikian, karena kita sivitas akademika belum pernah melakukan evaluasi total terhadap cita-cita dan tujuan keberadaan di lembaga ini. Berapa banyak perbandingan alumni yang setelah selesai studi menemukan jalan keluar dari persoalan kehidupannya; atau kita sebagai dosen dalam menyelesaikan masalah tidak murni karena ilmu pengetahuan yang dikuasasinya. Bagian ini, yang menjadikan awal pemikiran bahwa ilmu itu, hanyalah intrumental bagi kehidupan, tidak berhubungan dengan solusi berbagai masalah kehidupan individu apalagi kolektifnya, termasuk hukum Islam ( al-fiqh ) yang kita pahami dan kita ajarkan.

Aspek esensial ini, jika dikaji mendalam, tiada lain adalah wujud dari bangunan etika kebersamaan (kepublikan). Etika kebersamaan itu, baru bisa disentuh oleh pengembangan dan pendalaman terhadap kaidah-kaidah kifaiyah. Ketika kita berada pada posisi penegakkan kaidah kifaiyah, kecenderungan individu /‘ainiy melebur dalam kepentingan kolektif tertentu; kepentingan kolektif tertentu melebur dalam kepentingan kolektif lebih besar lagi, dengan tanpa menafikan maziyah-maziyah individu dalam kehidupan kolektive itu. Bahkan, komunitas menghargai atas keunggulan individu tersebut dan menempatkannya pada posisi yang tepat.  Demikian selanjutnya sampai ditemukan tujuan syari’at Islam, rahmatan li al- ‘âlamin.

Dalam cacatan kecil makalah ini, hanya akan dikemukakan intrumen-intrumen bagaimana alur proses pemikiran dari kontruksi hukum ‘ainiy ke hukum kifâiy. Kondisi dan posisi di antara kedua hukum itu, sampai saat ini, baru bisa dipahami, diyakini, dan diperjuangkan serta diwujudkan dalam kontek saling terpisah; tidak dibangun saling berhubungan secara timbal balik. Bahkan, hukum kifaiy, menjadi lahan studi yang terabaikan untuk dikembangkan, berbeda dengan hukum ‘ainiy sudah sampai pada tingkatan sangat detail yang diwujudkan dengan ikhtilaf fiqhiyah yang belum ditemukan ujungnya. Padahal, mempertahankan kondisi keilmuan saling berhubungan timbal balik itu di antara ‘ainiy dan kifaiy, dibutuhkan keseimbangan dalam pengembangan di antara keduanya. Hal itu, diperlukan guna kebutuhan amal islami yang berkeseimbangan pula, di antara pemikiran (al-fikr) hukum dan ketaatan sebagai amaliahnya (al-dzikr), antara individu dan kolektifnya, antara instrumental dan subtansialnya. Bagian ini yang membedakan studi Islam pada masa shahabat bersama Nabi SAW dengan pada masa jauh setelahnya (Cf. Ibn Taimiyah, Muqadamah fi ‘ilm tafsir: 2-6 ).

Acuan Dasar Pemikiran

Q.S. Al-Baqarah : 185;

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَان[3]

Q.S. al-Maidah : 3;

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا[4]

Hadits Nabi SAW riwayat Muttafaq ‘alaih dari Nu’man Ibn Basyir ra.:   

صحيح البخاري - (ج 1 / ص 90)

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِه[5]

 

Karakteristik Hukum ‘Ainiy dan Hukum Kifaiy.

Hukum ‘ainiymemiliki karakteristik, sbb.:

Sangat personal, pelaksanaan kewajiban tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain; jika dilakukan secara berjamaah dipandang sebagai keutamaan saja; bila terjadi kelalaian tanggung jawab sendiri; intervensi orang lain sangat terbatas, kecuali untuk tujuan mengingatkan. Karena itu, maka mestilah masing-masing seorang dari orang-orang mukallaf berkewajiban mengikuti apa yang telah ditentukan khitab itu, agar tidak jatuh pada pandangan bahwa seseorang tidak diperintahkan, atau tidak dinashkan untuknya sehingga dia tidak melakukannya. Jika hal ini terjadi, maka kemashlahatan yang dikandung nash perintah itu batal. Bagian inilah yang dikatakan hukum ‘ainiy. Pada bagian lainnya, Al-Qurafi ( Ibid.: I/ 132) menggambarkan bahwa perbuatan itu terbagi pada dua bagian dilihat dari aspek kemaslahatannya, yaitu: Pertama, kemaslahatan itu berulang-ulang karena berulangnya perbuatan; dan kedua, tidak berulangnya kemaslahatan oleh karena perbuatan yang berulangkali. Bagian yang pertama ini yang dikatakan perkara ‘ainiyah, seperti salat zhuhur; kemaslahatannya berupa ketundukan kepada Allah SWT, dan sikap mengagungkan-Nya,  berdo’a kepada-Nya; dan ibadat lainnya baik badaniyah maupun maliyah yang ada dalam dasar-dasar Islam yang lima (Cf. Al-Syathibiy, al-Muwafaqat:  II/ 180). Kemaslahatan dalam masalah ini, berulang-ulang selagi berulangnya pekerjaan tersebut.

Hukum kifaiymemiliki karakteristik, sbb.:

Nizham al-Din al- Anshari ( Fawâtih Rahmut, dlm Al-Mustashfa min ‘ilm al-ushul: I/ 62) menyatakan bahwa wajibkifâyah adalah kewajiban menyeluruh atas setiap orang, jika diperoleh sebagian yang melakukan kewajiban itu, maka kewajiban itu gugur oleh karenanya. Hubungannya dengan pahala, merupakan suatu pahala yang diberikan kepada orang yang melaksanakan kewajiban itu, tetapi orang yang tidak melaksanakannya tidak disiksa, karena diperoleh sebagian orang melaksanakan kewajiban tersebut; jika tidak ada seorangpun yang melaksanakan kewajiban itu, maka semua orang akan menerima sanksi /hukuman.  Khithab hukum  kifâiy, bersifat menyeluruh / kolektif sekalipun terdapat unsur praduga benarnya; kewajiban individu longgar, jika terdapat individu lain yang melaksanakan. Artinya, individu lainnya terbebaskan dari kesalahan sekalipun membiarkannya. Al-Qurafi ( Loc.Cit.: I/132 ) mencontohkan  dengan perbuatan penyelamatan seorang tenggelam di laut, kemudian orang-orang mengangkatnya. Jika diperoleh seseorang turun ke air setelah itu, maka ia tidak akan memperoleh maslahat sedikit pun. Bagian ini yang dikatakan hukum kifâiy dengan peniadaan manipulasi berbagai perbuatan.  Contoh lainnya bidang kifaiy ini, seperti penyelenggaraan pemerintahan, alat transportasi, peradilan, jihad, mencari ilmu, dan berbagai aktivitas yang disyari’atkan untuk kepentingan umum (cf. Al-Syathibi:Loc.Cit).

Al-Qurafi ( Ibid.: II/20 ) mengatakan bahwa khithab yang menjadi acuan adalah khithab ghair mu’ayyan, seperti  Q.S. Ali ‘Imran : 104;  Q.S. al-Tawbah : 122; dan al-Nisa : 102.  

 

Intrumen-intrumen Penghubung yang Ditawarkan.

Terdapat empat langkah dari tuntutan hukum ‘ainiy menuju tuntutan hukum kifaiy, sbb.:

1)      Pemahaman, meliputi unsur-unsur, sbb.: Pemaknaan terhadap segala realitas yang ada, melalui: baca, tulis, hafal dan imla; pemahaman terhadap satuan konsep ibadat dan mu’amalah secara terintegrasi dan konprehenshif; penyelesaian berbagai kontradiksi /dalil-dalil mukhtalif melalui jama’, tarjih dan naskh, dan dalam ilmu sosial dan politik dikenal dengan manajeman konplik; mengkondisikan pemahaman bersama melalui pendekatan yang terintegrasi diantara ilmu pengetahuan.

2)      Keyakinan, meliputi unsur-unsur, sbb.: Introspeksi/ muhasabah; dawam /komitmen dalam ketaatan; pengendalian diri terhadap perkara-perkara yang batil; menjauhi syirk; tasyakur bi al-nikmat.

3)      Perjuangan; meliputi unsur-unsur, sbb.: Niat ibadah kepada Allah dalam setiap aktivitas; memupuk ketulusan; memelihara saling tolong menolong; bersikap istiqamah; bersabar dalam menghadi berbagai kesulitan dan musibah.  

4)      Perwujudan; meliputi unsur-unsur, sbb.: Diselenggarakan secara hemat/ ekonomis; menjaga keharmonisan bersama; mengikuti hukum lingkungan dan aturan; memperhatikan tradisi baik (al-makruf); melalui musyawarah; ta’awun dan solidaritas; dan manfaat bagi semua.

Kempat hal ini dipertimbangkan, untuk menurunkan sesuatu yang suci/ ideal/ bernilai besar dan tinggi,  pada wilayah empiris, spesipik dan terukur dan bisa disepakati bersama.

 

Relasi Simbiosis di antara Hukum ‘Ainiy dan hukum Kifâiy.

Al-Syathibiy ( al-Muwafaqat: II/ 176-178 ) menghubungkan ‘ainiyah dan kifaiyah ini dengan maqâshid al-syar’iyah,terbagi pada dua bagian : ashliyah dan tabi’ah. Maqâshid  ashliyah bersifat dharûriyyah ( primer ) ditemukan dalam setiap ajaran agama, karena menyangkut penegakkan  kebaikan umum secara mutlak, tidak dikhususkan oleh sebab tertentu, keadaan tertentu  atau waktu tertentu. Maqâshid ashliyah ini terbagi pada dua bagian : dharûriyah ‘ainiyah dan dharûriyah kifâiyyah.  Dharuriyah ‘ainiyah, bisa tegak jika terpenuhi lima penjagaan : agama diyakini dan diamalkan; diri dengan menegakkan kehidupannya; aqal dengan memahami   perintah Allah SWT; keturunan  dengan  kelembutan sikap dan silaturahim; dan harta dengan  saling tolong menolong dalam memperolehnya. Dharuriyyah kifâiyyah, meliput pemeliharaan terhadap urusan primer di atas bagi yang lainnya. Kebaikan ‘ainiyah ( individu ) tidak akan bisa tegak dengan sebaik-baiknya, jika kebaikan kifâiyah tidak baik.  Karena urusan kifâiyah tersebut berfungsi sebagai penegak kebaikan masyarakat banyak dan semua makhluk; dan  memperbaiki  urusan kifâiyah tidak dikembalikan kepada hal-hal spesipik /khash atau ‘ainiyah. Karena itu, urusan kifâiyah ini, diserahkan kepada para pemimpin untuk dikoordinasikan melalui permusyawaratan dengan keadilannya. Di samping itu, petugas-petugas yang terkait dengan urusan kifâiyah itu secara khusus pula ditetapkan syari’at, seperti perintah menjaga amanah, tidak boleh rasywah, dan menjauhi segala perbuatan dan kebijakan yang merugikan masyarakat banyak.   

Sudah disepakati secara mutawatir bahwa  manusia itu tidak akan bisa hidup  seorang  diri. Realitas kita sebagai pribadi, seperti sekarang ini, tidak bisa lepas dari relasi pihak lain yang  saling berkelanjutan dan menghendelnya. Karena itu, jika kita masing-masing menyempatkan diri untuk memberikan sesuatu secara tulus pada yang lain, tanpa ada kaitan interes matrial karena sudah berkecukupan, maka ketika itu diri kita sedang marapat dengan bingkai-bingkai ke kifâiy-an. Ini yang dimaksud ke jamaahan, atau hidup berjamaah. Beberapa kisah besar telah dimiliki oleh umat ini, baik pada masa yang lalu atau orang-orang  besar para pahlawan yang dimiliki bangsa ini. Seorang Zainal Abidin, cucu Ali Ibn Abi Thalib, ketika wafatnya ditemukan tanda dipundaknya, seperti seorang pekerja pemikul gandum. Hal itu dipertanyakan khalayak yang jawabannya baru diketahui setelah beberapa saat wafatnya, yaitu orang miskin Madinah mengeluh kekurangan makanan (‘Abdullah Nasih ‘Ulwan, al- Ukhuwwah al-islamiyah). Demikian juga seorang Sudirman, dalam keadaan sakit, bergerilya memimpin perang melawan Belanda; Pangeran Diponegoro, seorang pemimpin perguruan pondok pesantren di Jawa Tengah; demikian juga KH Hasan Musthafa di Tasik malaya; mereka mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Sudah tentu perjuangan mereka itu diawali dengan perlawanan terhadap hawa nafsunya sendiri, sebagai usaha penegakkan hukum ‘ainiy dengan sebaik-baiknya. Apa makna dari semua itu, tiada lain adalah relasi yang sangat nyata dan paling objektif melebihi batasan-batasan penjelasan ilmiyah; dan bagian ini yang dikatakan aplikasi sinergis di antara hukum ‘ainiy dan hukum kifâ’iy. Demikian juga sebaliknya, setelah hukum kifâiy ternunaikan dengan baik dan berkelanjutan, maka arah dari relasi kedua hukum itu berujung pada pribadi-pribadi merdeka, mandiri dan berdayaguna. Bagian ini yang dikatakan relasi simbiosis di antara hukum keduanya.    

 

Aplikasi Intrumental dari studi hukum ‘Ainiy menuju hukum Kifâiy.

Hukum ainiy bidang ibadat, seperti salat dan aktivitas sebelumnya, bersuci/ thaharah. Aktivitas thaharah tidak bisa lepas dari ikatan dua hukum itu, ‘ainiy dan kifâiy secara bersamaan. Berwudhu / bersuci ketika akan menunaikan salat, adalah kewajiban ‘ainiy / ataufardh ‘ain, tetapi sarana dan prasarana yang dipakai bersuci adalah bagian kewajiban kifâiy. Proses ketika berwudhu itu dilaksanakan, berjalan dari ‘ainiy ke kifâiy. Hal ini terlihat dari bacaan seorang yang berwudhu mulai dari ucapan basmalah        بسم الله الرحمن الرحيم  berakhir ucapan do’a :  اللهم اجعلنى من التوابين واجعلنى من المتطهرين. Jika kedua ungkapan itu dipahami, diyakini, diperjuangkan dan diwujudkan dengan benar, tanpa ada kebohongan dan pengingkaran, maka kehidupan sehari-hari kita itu akan mengantarkan  pada cita cita pribadi dan kolektif yang  sebenarnya; dan sekaligus juga sebagai bukti nyata ( syahâdah ) menuju kehidupan rahmatan li al-‘âlamin sebagai wujud dari pencapaian sasaran berthaharah. Gambaran intrumental yang ada dalam ibadat wudhu tersebut, meliputi : intrumen zahir, terdiri atas  : bacaan basmalah, tamadhmadh danistintsâq, ghasl al- wajh, yadain wa rijlain , mash al- ra’s wa al-udzunain, do’a dan pernyataan syahâdah (sikap hidup); dan intrumen batinnya, meliputi niyat, memaknai dan memahami segala apa yang terjadi selama berwudhu dilaksanakan. Demikian juga, intrumen jika membicarakan ibadat kurban, setelah diketahui kaifiahnya dalam ilmu fiqh, yaitu intrumen pisik, meliputi : kaifiah penyembelihan, dan pengurusan daging, kriteria hewan yang sah untuk dikurbankan; sedangkan intrumen non fisik, meliputi : pemaknaan dan pemahaman terhadap konsep-konsep al-abtar, mukhbitin, li yadzkurû isma Allah, wajilat qulûbukum, ilâhun wâhidun fa lahû aslimû, taqwa, li tukabbirû Allah, danmuhsinîn. Jika semua konsep-konsep itu dimaknai dan dipahami dengan benar, maka apa yang terjadi di belakang kisah Nabi Ibrahim as dan putranya itu, akan terbukti dalam kehidupan sekarang ini. Beberapa kaidah kulliyyah dalam beribadat, akhlak dan mu’amalah, sbb.: annahû laisa lil insân illâ mâsa’â, wa anna sa’yahu sawfa yarâ wa sayujzâhu al-jazâ’a al- awfâ; lâ taziru wâziratun wizra ukhrâ, lâ yukallifu llâhu nafsan illâ wus’ahâ,lâ dharar wa lâ dhirâr, al-ashl fi al-asyyâ al- ibâhah (Cf. Fathiy Ridhwan,min falsafah al- Tasyri’ al-  Islamiy: 170-173).

 Hukum mu’amalah berdasarkan syari’at Islam, sekalipun lebih pada hukum kifâiy-nya daripada ‘ainiy-nya, karena sejak dari awal melibatkan dua belah pihak  ( ‘âqidain ) yang seimbang, dan tidak mungkin dilakukan sepihak tanpa yang lainnya. Masing-masing dari keduanya (‘âqidain), terikat oleh isi perjanjian/ aqad  yang dibuat bersama ( Cf. H.A. Djazuli, Pengt. Syari’ah sebagai Rahmatan lil ‘âlamin,hal.: xx – xxxii;dlm. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Islam: Kiblat, Bandung 2002 ). Jika salah seorang tidak bisa menjaga isi perjanjiannya itu, maka dampaknya akan merugikan tidak hanya yang bersangkutan sebagai ma’qud-nya, tetapi juga akan merugikan pihak lain yang lebih banyak, sekalipun tidak berhubungan langsung dengannya. Karena itu, dalam ketentuan mu’amalah islami, ditemukan apa yang disebut prinsif-prinsif mu’amalah, seperti:  tabâdul al-manâfi’, ‘an tarâdhin, daf’u al-gharar, musyârakah, ta’âwun ‘alâ al-bir wa al- taqwâ, danlâ ribâ. Kemudian turun lagi pada lever aplikasi, dengan berbagai kaidahnya, seperti : al-Masyaqqah tajlîb al- taisîr, al-dharûrâtu tubîh al-mahzhûrât, al-umûr bi maqâshidihâ, al- akhdzu bi al-zhâhir; al-ashlu fi al-kalâm al- haqîqah; lâ yunsabu sâkitun qawlun wa lâkinna al-sukûtu fi ma’radhi al- hajah bayânun;  âkhir al-kalâm ‘alâ awwalihi wa awwaluhu ‘alâ âkhirihi, al washfu fi al-hâdhir laghwun, wa fi al- ghâibi mu’tabar (Cf.Fathiy, Ibid.:177-181).

Hukum seni budaya, berdasarkan syari’at Islam, adalah juga bagian hukum ‘ainiy. Bahkan, sebagian ahli seni berpandangan bahwa demi seni, maka batasan halal-haram tidak mempengaruhinya. Pandangan ini, merupakan pandangan yang egois mengabaikan hak-hak orang lain atau hak publik. Karena itu,  bagi setiap muslim yang akan mengembangkan seni budaya, maka prinsif berikut mesti dipeganginya, yaitu :  lâ ba’îd ‘an Allah;  lâ fasâd; lâ dharar; danlâ ‘ishyân. Prinsif-prinsif tersebut, jika diperhatikan adalah dimaksudkan untuk memberikan batasan hak-hak individu yang seimbang dengan kewajiban-kewajibannya terhadap publik. Demikian juga pembatasan terhadap hak-hak publik yang seimbang dengan kewajiban-kewajibannya terhadap individu. Artinya, bagaimana agar keseimbangan hak individu dan hak kolektif; atau sebaliknya kewajiban individu / ‘ainiy dan kewajiban kolektif / kifâiy, bisa terjaga dengan baik.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah lebih nyata lagi bahwa hubungan yang dibangun berkaitan dengan wilayah hukum kifâiy yang diikuti oleh pertanggungjawaban publiknya. Dalam studi fiqh siyasah, masalah ini telah dibicarakan dengan sangat jelas dan tegas, bagaimana aplikasi etika kepublikan yang laik ditegakkan oleh para pemangkunya. Al-Mawardi ( Adab al- Dunya wa al- Din: 135-147) mengemukan ada enam hak yang mendukung kebaikan hidup di dunia ini, yang mesti  dipikul seorang pemimpin pemerintahan bersama rakyatnya,sbb.:  1) membangun agama yang ditaati rakyatnya; 2) menyeleng garakan pemerintahan yang kuat; 3) meciptakan kesejahtraan yang langgeng; 4) menegakkan keadilan yang menyeluruh; 5) menstabilkan keamanan yang merata; dan 6) melapangkan setiap harapan dan cita-cita mulya dari anak bangsanya. Lebih jauh lagi, al-Mawardi ( Ibid.: 134 ) mengajukan gagasan bahwa keenam hal itu, baru akan berjalan dengan baik jika segala kegiatan didasarkan pada satu sistem perencanaan yang dipahami, diyakini, diperjuangkan dan diwujudkan bersama.  Semua komponen  yang ada di dalamnya, merupakan pendukung dan pelaksana kuat terhadap sistem perencanaan tersebut. Karena itu, tuntutan keadilan dan  keteladanan para pimpinan dalampenyelenggaraan pemerintahan merupakan syarat mutlak bagi tegaknya ketaatan rakyat; baik dalam suka, maupun dalam duka; berat maupun ringannya.

Realitas hukum’Ainiy dan hukum Kifâiy dalam Kehidupan.

Berbagai masalah, terutama urusan kifaiy, menghadang dalam kehidupan keseharian kita sebagai warga negara muslim terbesar di negeri ini, jika kita mengembalikannya pada standar  ajaran agama dan cita-citanya, masih sangat jauh. Sepertinya, segala masalah tersebut sulit untuk ditemukan jalan keluarnya. Hal itu, diakui secara terbuka di hadapan pimpinan nasional pada Kongres Umat Islam Indonesia V pada tanggal 7-10 Mei 2010, bahwa umat Islam belum bisa memunculkan kepemimpinan Nasional yang bisa mengangkat umat dari keterpurukan ekonomi, dan masalah lainnya. Sepertinya, ketaatan beragama seperti ibadat haji, dan lainnya yang bersifat kewajiban ‘ainiy, tidak mempengaruhi urusan kifaiy menjadi lebih baik. Padahal, sangat sulit mencari pejabat publik dari orang Islam yang belum ibadat haji, dll.      

Alur Metodologis Kesatuan Ilmu, Amal dan Rasa kolektif.

Gambar : 1; Alur pemikiran dari Tauhidullah  melalui integrasi Kaidah-kaidah ‘Ilmu Pengetahuan dan‘amal  menuju sasaran formal  dan subtan sial dalam kehidupan.

             W A H Y U

                                               

                                       Tauhidullah

 

               
 
   
     
 
   
 
 

 

 

 


 Perjanjian Ketuhanan                   !             Perjanjian Ketaatan

                                                  !                                           

       Kaidah Penciptaan                 !             Kaidah kebahasaan           

                                                 !

                                                 !

 

Hukum AlamFisika/Kimia/ Sosial / EKonomi.ds

Hukum sya ri’at: ‘Aqi dah/Ibadat/ Akhlak / mu’amalah

Dalil, kaifiyah, alat

 

Hubungan-hubungan

Hakikat Hubungan

 

 
 

 

 

 


Aktivitas Ibadat

 

 
 

 

 


Sasaran yang dipertimbangkan

(Empiris / Formal)

 

Tujuan akhir yang dicapai

            (Subtansial/Esensial)

Gambar : 2; Alur pemikiran  relasi  Wahyu /  Hidayah  dan  ‘Ilmu, melalui  kerja Potensi Dasar Insani  secara terintegrasi yang berimplikasi  pada solusi berbagai persoalan hidup, sbb.:

                                        Wahyu

 

 
 

 

 


                                     Tauhidullah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


             HdO = Hidayah Objektif;      HdS = Hidayah Subjektif.

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]Al-Ghazali ( al-Mustashfa : I/ 55) menjelaskan bahwa yang dimaksud hukum Islam itu ialah : Gambaran tentang titah Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa hukum wajib (al-wajib ), hukum mahzhur ( terlarang),  boleh (al-mubah), sunnat ( al-mandub ), dan makruh ( al-makruh ).

[2] Ia ( Ibid.: I/67) membagi tuntutan hukum kewajiban itu pada tiga bagian : mu’ayyan (berobjek tertentu); mubham ( berobjek samar) / sebutan lainnya, bi ghair mu’ayyan; dan mukhayyar ( berobjek pilihan ). Ketiga pembagian kewajiban itu, disandarkan pada tuntutan khithab yang terucapkan  atau tersebutkan atau yang tersifatkan;  bukan pada  ‘ain-nya dari seseorang. Karena hal itu tidak dimungkinkannya.Al-Qurafi ( al- Furûq: II/20) menjelaskan bahwa khithab yang tidak menentukan siapa yang menjadi objeknya tidak berlaku dalam syari’at, khitab seperti ini dikatakan khithab majhûl; jika diberlakukan, maka perintah yang ada dalam khithab itu akan ditinggalkannya.

[3]  Dari Q.S.al-Baqarah:185 ini, menggambarkan relasi yang sangat signifikan di antara bayyinat ( satuan ayat Alqur’an, satuan Hadits Nabi SAW, dan satuan bidang ilmu pengetahuan ( syari’ah atau saintek) agar bisa berposisi berada pada bagian dari petunjuk ( min al-huda). Jika sudah dibangun, bayyinat min al-huda, maka mesti diarahkan untuk berposisi petunjuk bagi kehidupan umat manusia (hudan li al-nas). Siapapun ahli ilmu pengetahuan yang sudah menempati  posisi terakhir ini, akan nampak berkepribadian furqan , pribadi yang khas sebagai ilmuwan muslim yang berbeda dengan pribadi ilmuan selainnya yang bukan muslim. Karakter ini tumbuh dan berkembang menjadi kuat, merapat terus setiap saat melalui rentangan waktu yang lama, diantara detik, menit, jam, bulan dan tahunnya. Inilah mu’jizat Alqur’an yang ditunggu bangun kembali di  akhir zaman  ini.

[4]Dari Q.S.al-Maidah : 3 ini, mengisyaratkan tegaknya agama Islam yang sempurna dalam kehidup an, jika tiga potensi dasar insani ( Indra, Hati dan Nurani ), sebagai nikmat dari Allah SWT, sempurna pula difungsikan dengan seimbang. Ujung yang akan dicapai adalah keridhaan yang penuh dari seseorang ahli ilmu pengetahuan dalam mentaati ajaran agamanya. Hidup mereka tidak mandeg di dunia ini,tetapi berlanjut pada kehidupan di akhiratnya. Mereka siap menerima pertanggung jawaban hidupnya nanti  di hadapan Allah SWT .

[5]Hadits ini mengisyaratkan relasi yang sangat kuat di antara aspek global /menyeluruh, halal dan haram ( hidayah ) dan aspek perinciannya, bayyinun  ( bayyinat / ilmu ). Perkara-perkara musyta bihat, adalah menjadi tanggung jawab para ahli ilmu pengetahuan untuk menjelaskannya.


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website