PWM Jawa Barat - Persyarikatan Muhammadiyah

 PWM Jawa Barat
.: Home > Artikel

Homepage

Ragam Ekpresi dalam Alqur’an

.: Home > Artikel > PWM
20 Maret 2012 17:12 WIB
Dibaca: 7758
Penulis :

 

Ragam Ekpresi  dalam Alqur’an

Laporan Hasil Penelitian

 H. Ayat Dimyati

 

PENDAHULUAN

 

Latarbelakang dan Acuan Pemikiran.

Alqur’an adalah kitab suci umat Islam. Ia merupakan alat komunikasi di antara manusia dengan Tuhan. Manusia sendiri tidak akan bisa berhubungan dengan Dzat Tuhan, kecuali sebelumnya Tuhan mengutus terlebih dahulu para rasul-Nya. Nabi Muhammad SAW sebagai utusan  Allah terakhir datang untuk mengingatkan umat manusia agar mereka berkehidupan sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya; dan juga mempertimbangkan segala apa yang menjadi petunjuk-petunjuk-Nya, baik yang berhubungan dengan akidah, ibadah, mu’amalah dunyawiyah, akhlak, maupun yang berhubungan dengan sain dan teknologi; seni dan budaya, pilitik dan ekonomi serta yang lainnya. Dalam garis umum, kandungan ajaran Islam itu terbagi empat dimensi yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat. Keempat dimensi ini, jika kandungan ajaran Islam itu dikembalikan pada isyarat sabda Nabi SAW riwayat Muttafaq ‘alaih dari Abi Hurairah as., ketika Nabi SAW berdialog dengan Malaikat Jibril as, yang disaksikan oleh para  sahabatnya, yaitu: 1) dimensi aqidah dengan pertanyaan mâ al-Imân ( apakah iman itu ? ); 2) dimensi syari’ah dengan pertanyaan mâ al-Islâm ( apakah islam itu ? ); 3) dimensi ihsan / akhlak dengan pertanyaan mâ al-ihsân (apakah ihsan itu ? ); dan 4) dimensi sain dan teknologi dengan pertanyaan matâ al-sâ’ah ( kapan terjadinya kiamat ? ). Dimensi ke empat diartikan sain dan teknologi, didasarkan pada isyarat Q.S Luqman: 34; bahwa al-sa’ah itu berkaitan dengan konsep-konsep keilmuan / sain dan produk-produknya; dan dalam hadits itu sendiri diisyaratkan tanda-tanda al-sa’ah itu, berhubungan dengan alih generasi dalam kehidupan ini; teori-teori kepemimpinan dan pengendalian pembangunan pisik dalam berbagai seginya.

Untuk bisa memahami kandungan ajaran Islam tersebut, dan juga bagian-bagian yang diperintahkan, dilarang dan apa yang ditunjuki-Nya itu, adalah melalui studi teks Alqur’an itu. Teks asli Alqur’an berasal dari bahasa Arab, maka penguasaan bahasa Arab, bagi setiap orang yang akan menggali maqsud yang dikandung teks tersebut, merupakan syarat utama yang mesti dikuasainya. Untuk tujuan itu, para ulama sejak dari semula telah membangun kaidah –kaidah pemahaman terhadap teks, kaidah-kaidah ikhtilâf al-nushûsh, kaidah-kaidah yang merelevansikan di antara cita-cita yang dikandung oleh teks suci dengan perjalanan hukun sunnatullah di alam yang melahirkan qawâ’id al-fiqhiyah dalam berbagai persinya seluas lingkup kehidupan itu sendiri. Itu semua dirumuskan secara serius berkesungguhan dan berkesinambungan antar generasi dalam masa yang panjang, agar apa yang menjadi cita-cita dan harapan dari kehidupan ini, perorangan atau kolektif, secara hakiki,  bisa dicapainya.

Ragam ekpresi yang menjadi tema penelitian di atas, adalah berbagai pengungkapan, pernyataan dan pandangan serta isyarat-isyarat sebagai perwujudan dari sebuah pemahaman, keyakinan, perjuangan, perasaan individu ketika berrelasi dengan lingkungannya atau antar kehidupan kolektif, dalam kondisi baik atau dalam kondisi buruk[1]. Rumusan ini, dihubungkan dengan posisi Alqur’an sebagai kitab suci yang merekam kondisi realitas kehidupan, cita-cita dan harapan, serta pandangan-pandangan hidup manusia. Namun, posisi dan fungsi Alqur’an itu, meliput tidak sebatas rekaman kehidupan dan kecenderungan saja secara alamiyah, tetapi juga mengarahkan kehidupan itu sendiri, agar bisa berjalan dengan sebaik-baiknya sesuai kehendak penciptaannya. Sekarang ini, kehidupan dirasakan  serba kontradiktif, sehingga suasananya seperti pada masa suasana “jahiliyah”; ketidakadilan hukum, trafikking (bagian dari  perhambasahayaan), pornografi dan pornoaksi, pemunculan kepemimpinan publik ( seperti pilpres, pilkada, bahkan suksesi kepemimpinan ormas, sudah kurang lagi memperioritaskan aspek keahliannya yang berhubungan dengan penegakkan tanggung jawab moral publik, tetapi melebihkan kekuatan matrial dan eporia dunyawiah).  Tawaran ilmu pengetahuan dengan berbagai konsep, tiori dan pendekatan, tidak bisa lagi memberikan jawaban signifikan bagi berbagai persoalan yang melanda kehidupan ini. Karena itu, diperlukan berbagai usaha secara konsepsional teoritik dan komprehenshif, serta interdisiplin yang berintegrasi kokoh guna pencarian jalan keluar terhadap berbagai persoalan itu, maka penulisan berbagai ragam ekpresi dalam Alqur’an ini, diharapkan sebagiannya memperoleh andil untuk itu.    

Bagian terakhir perlu juga disertakan sebagai acuan teori untuk malihat kandungan Alqur’an, sbb.: Ibn Taimiyah dalam Muqaddimah Ilm al-Tafsir, hal 2-3, mengungkapkan :

Bahwa setiap ungkapan pembicaraan itu, mengandung maksud yang bisa dipahami makna-maknanya; atau tidak hanya terbatas pada lafazh-lafazhnya secara tersendiri; dan mengetahui maksud yang dikandung Alqur’an, adalah lebih diutamakan lagi. Juga berdasarkan kebiasaan, orang-orang melarang membaca buku ilmiyah, seperti buku-buku kedokteran atau buku matematika, sementara mereka tidak menjelaskan maksudnya; bagaimana dengan kalam Allah SWT / Alqur’an yang berfungsi menjaga, menuntun keselamatan, sumber kebahagiaan dan tegaknya kehidupan di dunia dan akhirat mereka dengan baik ?Kebutuhan umat untuk dapat memahami al-Quran itu, sudah sangat mendesak, karena Alqur’an merupakan tali Allah yang kuat, dan peringatan yang sangat bijaksana, serta  jalan yang lurus yang tidak ditemukan penyimpangan di dalamnya oleh sebab pengaruh hawa nafsu; dan tidak pula bercampur baur dengan berbagai pembicaraan manusia, dan bukan pula ciptaan dari para pihak yang   ragu, berbagai keajaiban tidak pula menjadi keputusannya, dan juga para ahli ilmu tidak pernah kenyang karenanya. Setiap orang berkata, apa yang diungkapkannya itu adalah kebenaran; orang yang mengamalkannya dapat pahala, orang yang menetapkan hukum dengannya akan adil, orang yang berseru dengannya berarti menyeru pada petunjuk jalan lurus.  Barang siapa yang meninggalkannya dengan kesombongan, maka Allah akan membencinya, dan barang siapa yang mencari petunjuk dari selainnya, maka Allah akan menyesatkannya.

Demikian eksistensi Alqur’an sebagai Kitab Suci bagi umat Islam, namun dalam aspek pemahaman terhadapnya, berhadapan dengan berbagai pandangan yang banyak, sejak awal para shahabat pun perbedaan ini sudah terjadi, sebagaimana dikemukakan oleh  Muhammad Ahmad Abu Zahrah yang dikutif oleh H. Djauharudin AR dalam pengantar terjemahan  buku al-Madzâhib al-Islâmiyyah, hal. v :

Aku tidak senang, bahwa shahabat Nabi SAW itu tidak berbeda pendapat ( dalam memahami teks Alqur’an dan al- Sunnah), sebab apabila para sahabat itu hanya satu kata saja (sependapat saja), pasti manusia ada dalam kesempitan. Dan sesungungguhnya mereka itu ( para sahabat ) adalah imam-imam yang harus diikuti, maka apabila seseorang telah mengikuti salah satu pendapat di antara mereka ( para sahahabt ), maka itu adalah sunnah.

Sekalipun demikian, ikhtilaf pandangan dalam memahami teks nash dalam setiap periode umat ini berbeda-beda, terkait dengan masalah yang dihadapi dalam setiap periode tersebut. Pada masa shahabat perbedaan sangat terbatas, pada masa tabi’in lebih meluas; demikian perbedaan semakin banyak setelah masa itu, apalagi pada masa sekarang ini. Namun, pengembalian berbagai pandangan tersebut, adalah maqashid dari setiap pernyataan yang standarnya adalah etika besar / moral publik, sebagaimana tertera dalam ungkapan cita-cita risalah Islam diturunkan, yaitu rahmatan li al- ‘alamin.

 

Tujuan dan Pembatasan Masalah .

a.       Menambah rujukan tentang ragam ekpresi dalam Alqur’an sebagai hudan li al-nâs ( petunjuk bagi kehidupan umat manusia );

b.      Memberikan arah dan pilihan kepada para pembaca tentang ekpresi yang dikehendaki Alqur’an sebagai wujud pandangan, sikap, dan amaliah islami yang utama; dan penyaringan terhadap  semua ekpresi yang kurang baik;

c.       Menunjukkan bahwa ekpresi yang dikehendaki Alqur’an itu, adalah terbangun dari totalitas akhlak al-karîmah yang berujung pada tercapainya cita-cita kehidupan rahmatan li al-‘âlamin.

d.      Secara spesipik dimaksudkan agar terpenuhinya sasaran penugasan dari LP3M STAIM melalui  penelitian ini dalam waktu, biaya dan tenaga yang terbatas selama tiga bulan ( Oktober- Desember 2011) .

Namun, dalam penelitian ini tidak semua bagian ekpresi yang dikandung Alqur’an diungkap. Dalam penelitian ini hanya dipertimbangkan sesuai dengan keterbatasan yang ada, waktu, biaya, terutama Ilmu pengetahuan yang dimiliki peneliti. Bagian terakhir ini diungkapkan secara gamblang, apalagi jika menggunakan pola holistic, menyangkut berbagai hal terkait, seperti aspek-aspek social, psykologis, dll. Karena itu, pada penelusuran di sini hanya dibatasi 1/3-nya, dari keseluruhan ungkapan ekpresi yang peneliti pahami. Mudah-mudahan, penelitian berikutnya bisa berlanjut jika diperlukan.

   

Berbagai Ekpresi Qur’ani sebagai Objek Penelitian.

Objek penelitian yang dimaksud, meliputi 22 butir pernyataan Alqur’an, sebb. :

1.Perintah  (al-Awâmir); 2.Aman (al-Amn); 3.Kembali (Al-‘Awd); 4.Bengkok ( al-‘Awj ); 5.Kikir ( al-Bukhl ); 6.Salah (al-Bathil); 7.Ajakan ( al-Du’a /al-Da’wah ); 8.Sesat ( al-Dhalal ); 9.Pergi / hilang ( al- Dzahab); 10.Marah ( al-Ghadhab); 11. Yang Benar ( al-Haq / al-Haqiqah ); 12.Cinta (al-Hub /al-Habibah, Mahabbah); 13. Malu/ Hidup ( al-Hayâ wa al-Hayat); 14. Teguran/ peringatan (al-Indzâr); 15.Munkar ( al-Inkar); 16.Durhaka ( al-‘Ishyân); 17.Ragu ( al-Raib ); 18. Diam / tenang ( al-Sukun/ al-sakinah ); 19. Khabar gembira (al-Tabsyîr); 20. Penyucian diri ( Tazkiyah al- Nafs);  21.Perjanjian kuat ( Mitsâq );22. Harapan  ( al-Tarâjî’ ).

Penyajian terhadap hasil penelaahan terhadap beberapa ungkapan yang menjadi objek penelitian tersebut, akan disajikan dalam sistimatika glosari atau  abjadi sebagaimana terbaca dalam judul bab II-nya, bab URAIAN.

Demikian, bab pendahuluan ini mudah-mudahan bisa mengantarkan kemudahan bagi setiap pembaca  dalam memahami seluruh hasil penelaahan ini. Amin.

 

U R A I A N

A

Al-Amr /  الأمر( command / perintah). Ungkapan ini  bermakna perintah. Al-Jurjani ( al-Ta’rifât : Juz I/ 11  ) memaknai amr / perintah dengan perkataan yang menuntut untuk berbuat dari  seseorang yang lebih atas kepada orang yang berada di bawahnya.  Perintah sendiri dalam Alqur’an bisa dibentuk melalui lafazh fi’l al-amr ( kata kerja perintah), seperti diungkap dalam Q.S.  Alqur’an : wa u’mur bi al-‘urfi (perintahlah dengan melalui ‘urf); dan wa u’mur ahlaka bi al-shalah (perintahlah salat keluargamu itu); aqîmû al-shalah wa âtû al-zakâh (dirikan oleh kamu sekalian shalat dan tunaikan zakat). Juga dibentuk melalui lafazh amara , atau umira ; seperti lafazh Hadits Nabi SAW, ketika memerintah sesuatu kepada para sahabatnya, dengan ungkapan : amaranâ  kadza atau umirnâ bi kadzâ . Melalui pemahaman dengan beberapa langkah di atas, dari sejumlah ungkapan fi’l al-amar itu, atau melalui ungkapan lafazh amara atau umira, melahirkan berbagai ragam tuntutan. Ragam tuntutan itu, dalam Ilmu Ushul al-Fiqh telah dikonsepkannya; dari hukum wajib sampai ibahah.  Hukum wajib dari lafazh amr itu, merupakan hukum asalnya; sedangkan hukum ibahah dari lafazh amr itu, adalah hukum furu’ (cabang) karena terdapat karinah kebahasaan yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Umpamanya, ungkapan kalimat  fa inkihû mâ thâba lakum min al-nisâi ( maka nikahilah oleh kamu sekalian wanita yang kamu senangi); mâ thâba merupakan karinah yang mengeluarkan hukum nikah dari hukum wajib kepada sunnah; dan karinah lainnya, in khiftum an lâ thuqsithû; Kata in  merupakan harf syarthiyah yang jawabannya fa ankihû ... . Hal itu, bermakna bahwa jika syaratnya tidak ada, yaitu khiftum ( kamu khawatir ),  maka hukum asal nikah itu wajib; namun karena karinah tersebut ditemukan, maka hukum wajib itu berubah kepada hukum lainnya, sunnah. Penetapan hukum nikah sunnah itu, karena sabda Nabi SAW mengungkapkannya : سنن النسائي - (ج 10 / ص 309)وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي( dan aku menikahi wanita, barang siapa yang membenci sunnahku,maka ia bukan golonganku). Demikian juga perubahan hukum wajib menjadi hukum ibâhah, terjadi karena keberadaan perintah ( amr ) diungkapkan setelah nahyi ( larangan ), seperti sabda Nabi SAW: kuntu nahaitukum ‘an ziyârah al- qubûr, fa al-ân fa zûrûhâ . Kalimat fa zûrûadalah kalimat perintah dhamir antum ( fi’lal-amr, zûrû ). Ziarah qubur, dihukumi ibâhah karena letak amar-nya setelah adanya nahyi (larangan). Berdasarkan kaidah-kaidah amr di atas, dan dari kedua kasus, pernikahan dan ziarah kubur itu, maka ekpresi umat Islam dalam menunaikan agamanya, kadang-kadang tidak seragam, tetapi seirama dengan pandangan keagamaan yang merapat dengan kesepakatan sosial budayanya. Ketidakseragaman ini, hanya dalam batas detailannya, seperti dalam penyelenggaraan resepsi pernikahan, tradisi berziarah kubur, atau dalam desain bangunan mesjid tempat beribadat. Sedangkan dalam batas besaran dan kaidah umumnya tidak berbeda; atau karena kualitas dalil yang menunjukinya yang telah banyak dibicarakan oleh para ulama, baik dalam Ilmu Ushul al-Fiqh, maupun dalam Ulum al- Hadits.

 

Al-Amn /  الأمن/الامانة( security / reliability / keamanan).  Al-Jurjani (al- Ta’rifat : I/ 11-12 ) menta’rifkan al- amn adalah tidak terjadinya tidaksenangan atau hilangnya kebencian pada suatu masa. Kondisi seperti itu, terkait erat dengan makna al-îmân, yang menjadi sistem keyakinan dalam agama Islam. Makna al-iman sebagai sebuah sistem keyakinan itu, mengandung tiga unsur yang saling terkait: pembenaran di hati ( tashdîq al-qalb), pengakuan di lidah ( iqrâr bi al-lisân ) dan pengamalan dengan anggota badan (‘amalun bi al-arkân).  Ketiga unsur tersebut merefleksi pada setiap pandangan, pikiran dan pola tingkah laku baik/salih dan taat seorang mukmin. Karena itu, tidak ada hubungan di antara orang yang beriman dengan perbuatan maksiat. Artinya, bahwa setiap orang yang beriman mesti menjauh dari berbagai perbuatan maksiat yang merusak kualitas keimanannya itu. Sebaliknya, keimanan akan memberikan fondasi bagi kokohnya amal shaleh.     Hal ini, ditunjukan oleh hubungan yang signifikan di antara  seruan keimanan dan larangan berbuat maksiat dan perintah berbuat baik. Hubungan keimanan dengan larangan berbuat maksiat, diungkapkan Q.S. Al-Baqarah: 130; Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sekalian memakan riba yang berlipat ganda; Q.S. al-Nisa: 29;  Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu sekalian memakan harta-harta di antara kamu sekalian itu, dengan cara batil.  Ungkapan lâ ta’kulû dalam kedua ayat itu,  menunjukkan larangan   yang ditunjuki lâ nahyi. Hukum yang diambil dari larangan itu adalah menunjukkan haramnya, sebagaimana kaidah al-ashlu fi al-nahyi li al-tahrîm ( asal setiap larangan  itu adalah haram). Beberapa ungkapan selain lafazh al-amr, adalah lafazh kataba Allâhu, atau dalam bentuk pasif (majhûl), kutiba;  faradha / furidha, memiliki makna hukum wajib, dengan makna Allah mewajibkan, atau mukalaf diwajibkan.

Hubungan keimanan dengan perintah berbuat baik/salih, ketaatan, atau penegakkan hukum secara adil, diungkapkan Q.S. al-Baqarah : 172; 183; 178.  

Al-Jurjani juga menjelaskan orang yang bersaksi ( syahâdah ) dan beramal tetapi tidak berkeyakinan, maka dia itu orang munâfiq. Ekpresi orang munafiq diungkap dalam beberapa ayat Alqur’an, sbb.: Q.S. Al-Baqarah : 8-20, 76, 204, 206; Q.S.Ali Imran: 71, 72, 118-120; Q.S.Al-Nisa: 60-62, 72, 81, 88, 90, 138-146, dsb.   Orang yang bersaksi (syahâdah) tidak disertai dengan beramal dan tidak juga berkeyakinan, maka dia itu orang fâsiq. Ekpresi orang fasiq diungkap Q.S. Al-Baqarah: 26-27; Q.S.Al-Kahfi: 50; Q.S.Yunus:33; Q.S.Al-Ahzab: 20; Q.S.Al-Isra: 16; dan jika seseorang kosong dari syahâdah, maka dia orang kâfir. Ekpresi orang kafir, diungkap Q.S. Al-Baqarah: 6-7. Kemudian Jurjani juga mengklasifikasikan keimanan itu pada lima bagian: 1) Iman mathbû’, yaitu tingkatan imannya para malaikat; 2) Iman ma’shûm, yaitu tingkatan keimanan para Nabi As,; 3) Iman maqbûl, yaitu tingkatan imannya para mukminin; 4) Iman mawqûf, yaitu imannya para tukang bid’ah; dan 5) Iman mardûd, yaitu imannya orang-orang munâfiq. Jika dihubungkan dengan ragam ekpresi, maka akan nampak jelas perbedaan di antara kelima klasifikasi keimanan itu, dapat dibagi pada dua kelompok besar. Pertama, bagian 1, 2, dan 3, adalah ekpresi positif karena termasuk bagian ketaatan (al-thâ’ah) terhadap ajaran agama; sedangkan kedua, bagian 4 dan 5 termasuk ekpresi negatif, karena diperoleh karakter pembangkangan ( al-‘ishyân ) terhadap ajaran agama.    

Dari al-amn itu juga memunculkan ekpresi lainnya, yaitu sifat  al-amânah, orangnya disebutmukmin. Pembagian keimanan yang lima di atas yang memiliki karakter al-amânah hanyalah para malaikat, para Nabi Allah SWT, dan kaum mukminin. Pandangan,  pikiran, perasaan dan sikap keagamaan dari kelompok inilah yang akan melahirkan ekpresi keagamaan yang akan membawa kemajuan, kedamaian dan solutif terhadap berbagai masalah kehidupan; baik kehidupan di dunia ini, sampai di akhirat kelak. Q.S. al-Ahqaf , 17;   يلك ءامن ان وعد الله حق  و   (celakalah kamu, karena itu berimanlah kamu ! sungguh janji Allah itu adalah haq). Perintah berimanlah )امن ( dalam ayat itu, adalah menunjukkan perintah wajib, karena dalam keimanan itu ada keselamatan; dan keselamatan itu ada selama dalam ketaatan dan kebenaran dalam menjalankan ajaran agama. 

 

Al-‘Awaj / العَوَجُ( crookedness / bengkok);  pengarang Lisân al-‘Arab (II/331) menguraikan ungkapan ini dengan panjang lebar. Makna al-‘awaj ditunjukkan bagi sesuatu yang pada asalnya lurus tegak kemudian bengkok atau condong/miring seperti anak panah, pagar, pohon, pisik seseorang karena sedang sakit / usia tua; atau bukan pisik, seperti pandangan, pikiran dan sikap. Bahkan, dalam sejarah perjalanan agamapun, mulai dari Nabi Ibrahim as, sampai Nabi Muhammad SAW, mengalami perubahan dan penyimpangan yang kemudian diluruskan kembali oleh nabi Muhammad SAW sebagai rasul dan nabi Allah terakhir, sebagaimana diungkap Q.S.Thaha,107 : لا ترى فيها عِوَجاً; dan Q.S. Al-Bayyinah, 5:  ين القيمةد   وذلك. Dalam Alqur’an dan Hadits, pengungkapan kata ‘awaj itu sering dipakai, hanya dalam pengucapannya bisa dibaca ‘awaj dan bisa dibaca  ‘iwaj atau‘ûwj. Dari ketiga bacaan tersebut, yang banyak diungkap untuk makna kebengkokan dalam agama, banyak digunakan kata  al- ‘iwaj ( jalan yang bengkok),  sebagaimana Q.S.al-Kahfi, 1 :  الحمد لله الذي أَنزل على عبده الكتاب لم يجعل له عِوَجاً ( segala puji bagi Allah yang telah menurunkan al-Kitab kepada hamba-Nya;  Dia tidak menjadikan bagi al-Kitab itu kebengkokan di dalamnya ). Tetapi Alqur’an itu, sebagai kitab yang lurus membimbing dan mengingatkan adanya siksaan yang keras dari sisi Allah SWT, dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman yang beramal saleh.  Karena itu, keikhlasan sangat diperlukan yang berujung munculnya ekpresi kejujuran, kebenaran, dan cahaya keberanian. Hal itu terjadi, oleh sebab kekuatan / spirit dari apa yang dibaca, dipikirkan dan dirasakan seseorang ketika menyentuh bagian-bagian ungkapan teks zhahir Alqur’an. Karena itu pula, kekuatan hawa nafsu, mesti terkendalikan dan jangan sampai mempengaruhi bacaan, pikiran, perasaan dan amal seseorang. Dalam hal ini, diungkapkan Q.S.al- Ra’d, 13; Jika kamu ( Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka, setelah datang kepadamu ilmu tentang kebenaran, maka Allah tidak akan lagi memberikan perlindungan dan penjagaan kepada kamu.   Jika demikian, kebengkokan dalam pelaksanaan ajaran agama, disebabkan karena keterlibatan hawa nafsu  umat beragama itu sendiri, atau karena pengaruh pihak luar dalam proses pemahaman terhadap teks ajaran agama itu.

 

Al-‘Awd /  العود( return / kembali ). Pengarang Lisân  al- ‘Arab (III/ 315) menyatakan bahwa salah satu  nama Tuhan adalah al-Mu’îd ( Dzat Tempat Kembali). Al-Azhari berkata bahwa Allah yang memulai penciptaan kehidupan, kemudian mematikannya, lalu mengembalikannya. Imam Sibawaih, memaknai “memulai” dan mengembalikannya” itu, bahwa kepergiannya itu tidak terputus sampai pada waktu kepulangannya kembali. Ia berkata :عَوْدي على بَدْئي أَي رجَعْتُ كما جئت فالمَجِيءُ موصول به الرجوعُ فهو بَدْءٌ والرجوعُ عَوْدٌ( kembaliku pada awal permulaanku, bermakna aku kembali ke tempat sebagaimana aku datang; maka tempat datang bersambungan dengan tempat kembali;  kembali itu adalah permulaan dan kembali itu juga adalah pengembalian). Makna kebahasaan tersebut, dijadikan standar bagi pemaknaan beberapa ayat Alqur’an berikut :  Q.S.Rum,27: وهو الذي يبدأُ الخلقَ ثم يُعِيدُه  ( Dia Dzat yang memulai penciptaan dan mengembaliannya). Perbuatan “memulai” dan “mengembalikan“ itu, dari setelah kehidupan kepada kematian di dunia ini, dan setelah kematian kepada kehidupan pada hari kiamat nanti. Abu ‘Ubaid berkata, makna memulai ( yubdi’u ) dan mengembalikan ( yu’îd ) itu, seperti para prajurit ketika berangkat perang dan bisa kembali lagi, bersama kuda perangnya. Firman Allah lainnya, Q.S.Al-A’raf, 29-30;  كما بدأَكم تَعودُون فريقاً هَدى وفريقاً حقَّ عليهم الضلالةُ ( Sebagaimana Allah memulai (penciptaan kamu sekalian) yang kamu sekalian kembali);  namun, (berdasarkan itu) segolongan memperoleh petunjuk, dan segolongan lagi tersesat). Kondisi itu juga, terjadi ketika seorang wanita melahirkan anaknya, dalam pengembalian kedua tidak lebih berat dari permulaannya, baik dalam kesakitannya maupun dalam kebahagiaannya. Hal itu, karena keduanya merupakan fithrah yang telah diketahui sebelumnya; demikian juga ketika ruh ditiupkan pada janin yang masih berada di dalam rahim seorang ibu, ketika pada proses awal kejadiannya. Kandungan makna seperti itu, diungkap juga Q.S. al-Mujadalah, 3:  والذين يُظاهِرون من نسائهم ثم يَعودُون لما قالوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ  ( dan orang-orang yang menzhihar wanita-wanita mereka kemudian mereka kembali kepada sebelum yang mereka katakan, maka hendaklah memerdekakan hamba sahaya ). Q.S. al-Qashash, 85:  لرادّك إِلى معاد( sungguh kembalimu itu ke tampat asal kamu / Makkah). al- Zujaj berkataal-ma’âd adalahal-mawlûd;  atautempat kebangkitanmu itu di akhirat). Pengertian al-’awd, seperti itu, jika dipahami dengan benar sampai berbuah pada keyakinan, maka akan tumbuh kekuatan berupa spirit untuk memperjuangkannya, yang berujung pada sikap prilaku keseharian, bahwa setiap orang itu benar-benar akan dikembalikan pada keadaan seperti semula. Hal itu, akan mempengaruhi  ekpresi  setiap orang yang memahami dan meyakininya. Karena itu, al-mî’âd ( tempat kembali ),  merupakan bagian dari keimanan terhadap hari akhir yang mesti diimani setiap muslim.

 

B

Al-Bukhl /  البُخْل( kikir ); pengarang Lisân al-‘Arab (  XI/47 )  menyatakan pengucapan lainnya untuk al-bukhl adalahal-bakhal, al-bakhl danal-bukhul bermakna lawan al-karam ( mulya ). Seseorang yang memiliki sifat kikir, maka orang tersebut tidak memiliki sifat mulya atau kemulyaan sebagai manusia yang hidupnya tidak bisa menyendiri, tetapi atas bantuan orang lain.   Dalam Alqur’an, sifat al- bukhl itu digambarkan melalui kisah Qorun dan Haman yang berakhir pada keadaan sangat terhina. Q.S. Ali ‘Imran  180:

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil atas harta yang dikaruniakan Allah kepada mereka itu, menyangka lebih baik bagi mereka. Sebenarnya, kebakhilan itu adalah  buruk  bagi mereka. Harta yang dibakhilkan mereka itu akan dikalungkan kelak di leher mereka di hari kiamat.   Kepunyaan Allahlah, pewarisan segala apa yang di langit dan di bumi. Dan Allah   mengetahui apa yang kamu sekalian kerjakan.

Dua akibat yang akan menimpa seseorang oleh sebab sikap bakhilnya itu: 1) keburukan berbagai seginya, baik dari segi hubungan dengan Allah SWT, sebagai orang yang tidak taat menjalankan ibadah, maupun dari segi hubungan sesama manusia; dan  2) adzab di akhirat berupa harta yang dibakhilkannya itu akan melilit mencekik lehernya.

Ekpresi orang-orang yang bakhil terhadap karunia Allah SWT, disebutkan Q.S. al-Taubah : 76; sebagaimana mereka yang berkarakter mu’ridhûn ( orang-orang yang berpaling dari kebenaran); Q.S. Muhammad  37-38; sebagaimana orang-orang yang membuat kerugian untuk dirinya sendiri. Hukuman yang akan mereka terima, sebagaimana diungkapkan Q.S. al-Nisa 37, berupa  ancaman yang disejajarkan dengan ancaman terhadap orang-orang kafir, berupa azab yang paling hina. Dalam ayat lainnya (Q.S. Al-Tawbah: 77) orang bakhil disejajarkan dengan orang munafiq, karena mereka telah menyalahi janji dan berbohong. Hal itu, karena mereka tidak bisa memahami, menyakini, memperjuangkan, serta mewujudkan apa yang seharusnya mereka lakukan dalam kehidupan ini. Jika dikembalikan kepada akibat buruk dan adzab di akhirat demikian keras, maka kebakhilan itu sama sekali tidak ada kebaikannya bagi kehidupan ini. Maka dari itu, bakhil merupakan sifat buruk yang diharamkan oleh agama yang harus dijauhi.  

 

Al-Bâthil الباطل (  batal  ).  Pengarang Lisân al-‘Arab ( XI : 56) makna al- bâthil, atau al-bathl, yang jamaknya abâthîl ataubawâthil; bermakna lawan al- haq (kebenaran), merupakan makna esensi keagamaan. Makna al-bathil secara bahasa adalah al-ta’aththal (liburan), al-hazl ( gurauan ) danal-hadara ( meninggalkan ). Al-Tabaththalu bermakna ekpresi dari segala perbuatan yang mengandung gurauan, permainan dan kebodohan. Al-bathâlah  dan al-buthûl, bermakna syajâ’ah ( berani ), pahlawan; karena dalam peperangan dia berlari cepat meningalkan yang lainnya. Dalam Alqur’an, ungkapan yang berasal dari bentukan kata ba-tha-la ini, berada di 34 tempat tersebar dalam berbagai surah dan ayat. Al-Haq datang dari Allah, dan al-bathil datang dari syetan. Q.S.Saba,   49 : وما يبدئ الباطل وما يعيد; maksud al-bâthil dalam ayat itu bermakna iblis / syetan, ia pemilik kebatilan. Haq dan bathil itu, merupakan dua standar nilai  yang saling berlawanan. Hal itu dinyatakan dalam Q.S. al-A’raf : 118; Jika al-haq ( kebenaran risalah yang dibawa Musa as ) telah datang, maka batallah apa yang telah mereka lakukan sebelumnya. Demikian juga Q.S. al- Isra : 81; dan katakan oleh mu ( Muhammad) al-haq itu telah datang, dan al-bathil itu telah hilang; sungguh al-bathil itu akan lenyap. Bahkan, lebih nyata dan tegas lagi dinyatakan Q.S.Al-Anfal 8; Kebenaran itu akan nyata, dan kebatilan itu akan hilang. Beberapa ekpresi al-bathil, ditunjuki Alqur’an dengan ungkapan: al-manni (beritanya disebarkan kepada yang lain yang menjadikan penerima sedekah tidak senang), al-adzâ (sesuatu kotor yang menyakiti penerima sedekah), danal-riyâ (Q.S. Al-Baqarah : 264). Ekpresi orang-orang kafir adalah mengikuti kebathilan (dari syetan), sedangkan ekpresi orang-orang beriman adalah mengikuti kebenaran dari Tuhan mereka ( Q.S.Muhammad:3 ). Karena itu, kebenaran wajib diikuti karena didalamnya mengandung kebaikan dan keselamatan, sedangkan kebathilan harus dijauhinya, karena di dalamnya mengandung kecelakaan dan kebinasaan.

 

D

Al-Du’â / الدعاء/ الدعوة(seruan). Secara kebahasaan, terdapat beberapa  ungkapan seruan dalam Alqur’an, yaitu: 1) al-du’â; 2) al-da’wah; 3) ta’âl; dan 4) harf al-nidâ / يا.  Pengarang Lisân al-‘Arab ( XIV : 257 ) menyatakan bahwa makna al-du’â adalah al-istighâtsah ( memohon do’a ), makna lainnya dikatakan jugaal-‘ibâdah, dan al-da’wah ilâ al-haq. Do’a kepada Allah itu, ada tiga sasaran: a) tauhidullah dan  sanjungan kepada-Nya; b) permohonan ampunan, rahmat dan kedekatan kepada Nya; dan c) permohonan diperoleh bagian di dunia, harta, ilmu, maupun keturunan yang baik. Landansan berdo’a, dinyatakan dalam Q.S.Al-Baqarah: 186;

Apabila hamba Ku bertanya tentang Ku, maka sungguh Aku adalah dekat, Aku akan mengabulkan do’a orang-orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada Ku. Maka laksakanlah (perintah-perintah dan jauhi larangan-larangan Ku) untuk-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada Ku; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk.

 Landasan seruan bermakna da’wah ilâ al-haq ( seruan pada kebenaran ) Q.S.Al-Nahl , 125; Serulah oleh kamu kejalan Tuhanmu dengan hikmah, maw’izhah yang baik, dan berdialoglah dengan mereka melalui cara yang baik.

Jika diperhatikan dalam setiap aktivitas ritual, ekpresi do’a yang dilakukan umat Islam di mesjid-mesjid  diperoleh ragam ekpresi.  Di antara mereka ada yang sambil mengangkat kedua belah tangan selama dalam berdo’anya;  ada juga di antara mereka yang tidak mengangkatnya; ada juga yang sendiri-sendiri atau bersama-sama; ada juga di antara mereka yang suaranya dikeraskan ( jahran wa ‘alâniyah ), ada juga yang suaranya disirkan ( tadharru’an wa khufyan); dan ada juga yang ketika membacakan do’anya dengan dipimpin oleh seorang alim, sedangkan orang banyak hanya mengaminkannya saja. Bahkan, mungkin hanya di Indonesia yang dalam berdo’anya secara bersama-sama terkait dengan aktivitas politik, dengan sebutan”istighâtsah”. Selain dari itu, pada sebagian masyarakat ada yang berdo’a pada waktu-waktu yang telah ditetapkan, baik  karena ada landasan dalil atau tidak berlandaskan dalil. Mereka menetapkan waktu-waktu berdo’a, seperti: ketika salat Subuh pada saat i’tidâl akhir (berdo’a qunut);  ada juga mereka yang tidak melakukannya; pada saat ada kematian, dikenal dengan tradisi tahlilan; dan pada saat  kelahiran anak, dikenal marhabaan, bagi sebagian masyarakat muslim;  sedangkan bagi sebagian lainnya tidak demikian. Namun, hal itu dilihat dari kacamata kehidupan sosial kemasya rakatan. Etika yang mesti  ada dalam setiap kali do’a dipanjatkan, yaitu: sikap dan ucapan mensucikan Allah SWT, mengagungkan Nya; bersyukur atas segala ni’mat yang telah diberikan-Nya; dan menyanjung-Nya. Beberapa hal yang menjadikan seseorang berdo’a/ menyeru diungkap dalam Alqur’an, meliputi : 1) Ketika dirasakan siksaan di akhirat akibat perbuatan zhalim di dunia (Q.S. Al-A’raf, 5), maka bertaubat dengan yang sebenarnya di dunia ini, merupakan jalan keluar dari terkenanya adzab di akhirat kelak bagi setiap orang yang telah berbuat salah/dosa. 2) harapan bagi masa depan yang lebih baik sebagai ungkapan rasa syukur (Q.S.Yunus, 10); harapan ini banyak terungkap hampir terumuskan dalam setiap tujuan ibadat dalam Alqur’an, seperti ungkapan: mudah-mudahan kamu bertakwa, bersyukur, memperoleh petunjuk, diperoleh kemenangan, dll.; 3) seruan alih generasi bagi kelanjutan missi  kebenaran, ketauhidan, kesucian karakter dan peradaban menuju kedamaian (Q.S.Al-Baqarah, 129). Karena itu pula, bertabligh merupakan suatu kegiatan yang tidak boleh terputus, sebagaimana Hadits Nabi SAW riwayat Bukhari dari Abdullah Ibn ‘Amr ra, ballighû ‘annî wa law âyatan ( sampaikan oleh kamu sekalian dariku, sekalipun satu ayat). Berdasarkan Hadits ini,  maka dakwah atau tabligh merupakan kewajiban setiap orang muslim sesuai dengan kemampuan dan keahliannya; 4) esensi seruan Allah itu adalah untuk sesuatu yang benar dan lebih bermanfaat, lurus menuju jalan keselamatan; berbeda dengan seruan orang-orang kafir adalah kesesatan (Q.S.Al-Ra’d, 14); 5) seruan karena panggilan kesatuan  nasab dalam keluarga besar melalui nama bapak-bapaknya dinilai lebih bermanfaat; jika tidak demikian, maka kehidupan keluarga  akan buruk (Q.S.al-Haj, 13). Di samping itu, seruan anak-anak terhadap ayah-ayahnya itu, dimaksudkan juga agar nasab sebagai pemberian dari Allah SWT bisa tetap terjaga dan terhormati secara abadi; dan 6) seruan kenabian ( da’wah al-nubuwwah ) berupa persaksian, kabar gembira dan  peringatan bagaikan lampu penerang kehidupan bagi umat manusia (Q.S.al-Ahzab , 46). Bagian yang terakhir ini, didasarkan pada seruan atas kebenaran itu pula, keterjagaan hukum-hukum kehidupan, sehingga diperoleh keselamatan dan  kemajuan bersama yang berkelanjutan dan  diharapkan bisa dipertahankan secara baik dan benar.

Bentuk seruan lainnya ditunjukkan dengan harf seruan, yaitu “ya nidâ / يا!” bergandengan dengan harf tanbih “ ha /  ها  “ ; dan di antara keduanya disisipi harf istifham “ayyu /  أي“  (  يأيها) ,   memberikan makna bahwa seruan itu harus diperhatikan dengan benar oleh siapa saja yang ada di dalam jangkauan wilayah seruan itu. Seruan melalui bentuk ini banyak diungkap dalam Alqur’an,  يأيها الذين امنوا = 40 kali;     يأيهاالانسان     =    23 kali;      يا اهل الكتاب   =  5 kali;  ياأيها الناس= 14 kali;       ياأيها النبى        =    11 kali;      يابنى أدم      =  4 kali ;    يا بنى اسرائيل    =  4 kali ;

يا بنى    =   3 kali;    ياأيها الرسول       =  3 kali;   يا صاحبى    =  2 kali;    

 يا أبت   =   3 kali;  Yâ ‘Ibâdî = 2 kali;  Yâ Qawm  = 5 kali;  Yâ Ma’syara al-Jin wa al-Ins=2 kali; Yâ nisâi al-nabiy = 2 kali.   Ungkapan seruan lainnya : Yâ Ibrâhim; Yâ Ukhti Hârûn; Yâ ayyatuhâ al-nafs; Yâ Ayyuhâ al- MuddatstsirYâ ayyuhâ al-Muzzammil; Yâ Dâud; Yâ Zakariya; Yâ Maryam; Yâ Mûsa; Yâ Yahyâ; Yâ wailaty,   masing-masing diungkap 1 kali.

Kemudian seruan yang terbentuk dari  ungkapan  ta’âl (      تعال     ) atau     تعالوا   sebanyak  7 kali.  Ungkapan  تعالوا     ini bermakna    هلموا  bermakna marilah kamu sekalian, sebagaimana ungkapan Q.S. Ali ‘Imran, 61; فقل تعالوا ندعو أبناءنا وأبناءكم   ( maka katakan oleh mu, marilah kamu sekalian kita seru anak-anak kami dan anak-anak kamu ); dan Q.S. Ali ‘Imran, 64;   الى كلمة سواءتعالوا قل يا اهل الكتاب  ( katakanlah hai ahli kitab, marilah kamu sekalian menuju kalimat yang sama ! ). Bentuk yang lainnya lagi, seruan yang datang dari ungkapan ta’âl  ini dalam bentuk mu’annats adalah ta’âlaina, sebagaimana Q.S. al-Ahzab, 28;    فتعالين أمتعكن وأسرحكن سراحا جميلا ( marilah kamu sekalian agar aku beri kamu sekalian mut’ah, dan aku ceraikan kamu sekalian dengan cara yang baik ).

 

Al-Dhalâl /الضَّلالُ( kesesatan ). Pengarang Lisân al- ‘Arab ( XI: 390)   makna  dhalâl adalah lawan hidâyah atau rusyd ( petunjuk). Beberapa makna al-dhalâl yaitu tersesat dari perjalanan atau hilang atau tertutup. Dalam ungkapan bahasa  , seperti :أَضْلَلْت الشيءَ إِذا غَيَّبْتَه وأَضْلَلْت المَيِّتَ دَفَنْته( aku telah menghilangkan sesuatu itu, apabila aku telah mengghaibkannya; dan aku menghilangkan mayat itu, jika aku telah menguburkannya). Contoh lainnya, seperti ungkapan وضَلَلْت المَسْجدَ والدارَ إِذا لم تعرف موضعهما وضَلَلْت الدارَ والمَسْجدَ والطريقَ( engkau telah kehilangan mesjid dan rumah, jika engkau tidak mengetahui tempat keduanya; dan engkau telah kehilangan rumah, masjid dan jalan yang menujunya).  Ibn al-Atsir  berkata bahwa makna al-dhâllah adalah  al-dhâi’ah ( hilang / papa ); atau bermakna  saqatha  ( jatuh ).

Penterapan  ungkapan al-dhalâl, terlihat dalam berbagai kondisi, meliputi : 1.Bidang akidah, dinyatakan Q.S Ibrahim, 36:  رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كثيراً من الناس( Ya, Tuhan ku ! Sungguh, mereka, umat manusia, telah tersesat, karena berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apapun dan tidak bisa berpikir). Akibat buruk dari prilaku dhalâl itu, diungkap dalam Q.S.Saba,50:قُلْ إِن ضَلَلْتُ فإِنما أَضِلُّ على نفسي(katakan oleh mu jika aku telah tersesat, maka itu hanyalah akan merugikan diriku sendiri). Disebutkan dalam Q.S.al-Baqarah, 26-27; yang termasuk dhalâl adalah mereka orang fasik, dengan tiga indikator: melepaskan ikatan perjanjian keimanan dengan Allah dan rasul-Nya; melepaskan ikatan ketaatan terhadap ajaran agama; dan berbuat kerusakan di muka bumi.

2. Bidang Ilmu, amal dan rasa kolektif  diungkapkan dalam Hadits,الحكمةُ ضالَّةُ المؤمن وفي رواية ضالَّةُ كل حكيم(hikmah itu adalah sesuatu yang  hilang dari orang mukmin; dalam satu riwayat, sesuatu yang hilang dari setiap penegak hukum; Cf. Hr al-Turmudzi dari Abi Hurairah). Ekpresi hidup seorang muslim adalah ekpresi total, kesatuan iman, islam, ihsan dan ilmu serta rasa;  bagian ini yang masih jarang dimiliki seorang mu’min, hikmah. Berdasarkan Q.S.Al-Isra, 39; bahwa hikmah itu adalah bagian dari wahyu Allah SWT.

3. Bidang kepemilikan harta benda yang hilang dari genggaman pemiliknya, في هذا الحديث الضَّالَّةُ من الإِبل والبقر( dalam Hadits Nabi SAW terdapat ungkapan kehilangan unta dan sapi ). Ekpresi seseorang yang kehilangan barang miliknya, atau kekasihnya, maka ekpresi orang itu, baik perkataan, perbuatan dan sikapnya akan berbeda dengan pihak lainnya yang tidak mengalami kehilangan sesuatu.    

4. Bidang  kemalakahan seseorang /daya hafal; Q.S. Thaha, 52: لا يَضِلُّ رَبي ولا يَنْسى أَي لا يَضِلُّه ربي ولا ينساه   ( Tuhanku tidak menyesatkan dan tidak melupakannya ). Daya hafal ini sangat diperlukan, terutama bagi penjagaan agama; bahkan dalam penentuan kriteria imamah salat orang yang memiliki banyak hafalan Alqur’an dan bagus bacaannya, ditetapkan sebagai orang yang berhak menjadi imam salat.

5. Bidang  hubungan  darah dan  kekeluargaan;  dalam kisah ummi Musa as, yang telah membuang anaknya ke S. Nil karena perintah wahyu, dinyatakan  Q.S.  Al-Qashash, 10  :        اصبح فؤاد  ام  موسى فا رغا  و( fu’ad /hati ibu Musa menjadi kosong sunyi). Berdasarkan kisah ini, bahwa manusia itu tidak bisa lepas dari dua hal, formal dan subtansial, lahir dan batin. Karena itu, pengertian dhal ini juga,  bisa secara lahiriyah teks lafazh dan juga bisa secara batiniah, dari makna yang dikandungnya. Agama Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan keluarga serta negaranya dari kehilangan sesuatu yang menjadi milik lahirnya, berupa tanah air, harta kekayaan, individu dan keluarga;  maupun yang menjadi milik batinnya, berupa kehormatan dan martabat sebagai warga panduduk dunia.

6.Bidang karya dan usaha, Q.S.Al-Kahfi,104:    ضَلَّ سَعْيُهم في الحياة الدنيا وأَضَلَّه أَي أَضاعه وأَهلكه( usaha mereka dalam kehidupan di dunia hilang dan rusak). Di samping setiap orang Islam di wajibkan bekerja dan berusaha sesuai dengan kemampuannya, maka negarapun memiliki beban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap warga penduduknya, sesuai dengan kaidah :  على الرعية  منوط بالمصلحة  الامام تصرف   (  distribusi kebijakan seorang pimpinan atas rakyatnya itu, meliput berbagai kebaikan ).

7.Bidang ketaatan  terhadap  ajaran agama, Q.S.  Al-Qamar,47:       إِنَّ المجرمين في ضَلالٍ وسُعُرٍ أَي في هلاك والضَّلال النِّسْيان    (sungguh orang-orang pelaku kejahatan itu berada dalam kesesatan, kerusakan, dan lupa ).Demikian juga, dalam penegakkan hokum,jika terjadi pertengkaran di atara para warga, atau kezhaliman, maka  Negara harus konsisten  dalam penegakkan keadilan bagi semua. Hakikat  keadilan tidak akan tegak,  jika yang menjadi acuan hukum dan perundangan suatu Negara bukan ajaran agama, atau ketaatan terhadap hukum agama tidak sepenuhnya. Karena itu, kewajiban pertama dan utama bagi suatu Negara adalah   penegakkan aturan  agar setiap warga Negara dan para pimpinannya,  mesti menjalankan ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya ( dînun muttaba’un) dan kekuasaan Negara yang kuat ( sulthân qâhir).  

8. Bidang kelalaian atau lupa dalam persaksian di peradilan, Q.S. Al-Baqarah, 282 :مِمَّنْ تَرْضَوْن من الشُّهَداء أَن تَضِلَّ إِحداهما فتُذَكِّر إِحداهما الأُخرى  ( Persaksian (dua orang) dari orang-orang yang kamu ridhai, untuk saling mengingatkan; jika salah satu telah lupa, maka yang lainnya mengingatkannya ).  Demikian juga, ketersesatan tidak boleh ada pada bagian instrumental peradilan, sebagai penyangga tegaknya keadilan, seperti dalam persaksian. Karena itu, termasuk pelaku dosa besar  seseorang yang berani berbohong ketika menyampaikan persaksian di depan  pengadilan, qawl al- zûr dansyahâdah al- zûr .

Delapan bidang di atas itu, mengimformasikan makna al-dhalâl; dan dari kedelapan itu juga diperoleh  relasi ungkapan al- dhalâl dengan berbagai karakter buruk, sebagaimana diungkap Alqur’an dalam berbagai ayat. Karakter buruk tersebut meliputi : kufur, syirk, dusta, kerugian, berpaling dari kebenaran, mengada-ada dalam agama, mengikuti hawa nafsu, prilaku jahat, fitnah, fasiq, pembicaraan senda gurau, tanpa pelindung, dada sempit, riba nasiah, tidak diterima taubat, jalan bengkok, zhalim, tidak beriman pada hari akhir, keras hati, tuli, syaithan, dan durhaka.

Berdasarkan itu semua, maka  ekpresi yang ditunjukan oleh pelaku-pelaku kesesatan (dhâllun wa al-mudhillun)  adalah ekpresi buruk yang tidak dikehendaki oleh syari’at. Ekpresi itu sebagai akibat dari pemahaman, keyakinan, dan ikhtiar serta wujud sikap yang buruk dari mereka yang berkarakter dhalal ( sesat ).

Al-Dzahab/الذهب(pergi/ hilang). Kandungan makna kata tersebut meliputi : 1) pergi berjalan, atau hilang (al-sayr, al-murûr wa azâlahu)  sesuatu; seperti dikatakan seseorang pergi ke WC/ jamban; jamban/WC dikatakan al-midzhab (tempat menghilang / buang air besar). Makna seperti ini, dikatakan pergi atau hilang secara pisik dan merupakan suatu ekpresi atas kehendak buang hajat, rasa hormat, memelihara adab kesopanan pribadi dan kelompok; 2) nama suatu barang perhiasan, emas; diungkapkan dalam Hadits Nabi SAW riwayat Ali ra.: لو أَرادَ اللّه أَن يَفْتَحَ لهم كنوزَ الذِّهْبانِ لفَعَل هو جمعُ ذَهَبٍ(jika Allah menghendaki bagi mereka dibukakan perbendaharaan emas, tentu Dia akan lakukan; kataal-dzihbân jamak dari dzahab (emas);sebuah ekpresi bahwa segala sesuatu itu ada dalam genggaman milik-Nya; 3) ungkapan al-dzahab menunjukkan harta pada umumnya ( al-amwâl ); seperti ungkapan :  يَكْنزُون الذَّهَبَ والفِضَّة ولا يُنْفِقُونَ الكُنُوزَ في سَبِيلِ اللّه وقيل جائِزٌ أَن يكونَ مَحْمولاً على الأَمْوالِ فيكون ولا يُنْفِقُونَ الأَموال  (mereka menyimpan emas dan perak dan tidak menafaqahkannya di jalan Allah,  dikatakan juga boleh mengandung makna harta kekayaan; maka jadilah mereka tidak menafaqahkan harta kekayaan). Perbuatan menumpuk-numpuk harta kekayaan itu, merupakan ekpresi para matrialisme dan kapitalisme jika telah menguasai harta kekayaan; 4) idzhâb/ tadzhîb dimaknai juga mewarnai sesuatu dengan warna emas, sebagaimana  dikatakan :  وأَذْهَبَ الشيءَ  dimaknai )  طلاه بالذَّهَبِsesuatu itu dicat dengan warna emas); atau dzahhabta al-syaia bermakna mudzahhabun idzâ thallaitahu bi al-dzahab ( engkau mencat sesuatu dengan berwarna emas ). Gambaran mencat berwarna emas itu, merupakan ekpresi dua wajah kemunafikan, lain di muka lain di hati;  5) bermakna kinâyah yang menunjukkan ekpresi muka yang bersinar karena ketaqwaan, kejujuran, keberanian, ketulusan dan keagungan akhlaknya, seperti wajah Rasul SAW, sebagaimana diungkap Hadits riwayat al-Nasai dari Jarir ra., melalui jalan Muslim, ketika penyebutan shadaqah, terlihat wajah Rasul Allah SAW  seolah-olah bersinar keemas-emasan (Lisan al-‘Arab :I/393 ); 6) al-dzihâb dimaknai  al-amthâr al-dha’îfah (hujan grimis), sebagai ekpresi kegembiraan, atau ekpresi kekhawatiran basah atau sakit sebagaimana diungkap dalam Hadits Ali ra, tentang salat istisqa; 7) al-dzahab juga dimaknai al-mikyâl ( ukuran /timbangan ) pendudukYaman; sebagaimana Hadits riwayat ‘Ikrimah ra : adzâhiba min bur, atau adzâhiba min sya’îr (suatu timbangan biji gandum, atau satu timbangan gandum kering ). Ungkapan tersebut merupakan suatu ekpresi adanya kesepakatan standar timbangan. dan 9) dzahab bermakna pergi menuju kebenaran / taqarrub, jauh dari segala pembangkangan dan merupakan ekpresi keteguhan iman dan ketundukan yang bulat terhadap ajaran agama, sekalipun berhadapan dengan ancaman dan penyiksaan berat yang akan membawa kematian, seperti dalam beberapa ayat Alqur’an berikut : a) Ungkapan Nabi Ibrahim as, dalam Q.S. al-Shâffât: 99; innî dzâhibun ilâ rabbî sayahdîni ( sungguh Aku akan pergi ke Tuhan ku, maka Dia akan menunjukiku ); b) Q.S.Fathir :8;  فلا تذهب نفسك عليهم حسرات (janganlah kamu membiarkan dirimu dalam keadaan sangat sedih atas kematian yang menimpa mereka oleh sebab kekufurannya). Ungkapan itu bermakna ekpresi kinayah atas kematian yang menimpa mereka sebelum beriman.   c) Q.S. Fathir :16;إن يشأ يذهبكم ويأت بخلق جديد( jika Dia menghendaki, tentu akan menghilangkan kamu dengan menggantikan penciptaan yang baru), ia merupakan ekpresi dan kinayah atas ke mahakuasaan Allah SWT dengan segala penciptaannya; d)  Q.S. Fathir; 34 ;وقالوا الحمد لله الذى أذهب عنا الحزن( dan mereka berkata segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kamu kesedihan). Ungkapan itu merupakan suatu ekpresi syukur atas ni’mat yang telah diterimanya. e)  Q.S.al-Ahzab:33,   يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت  (Allah menghendaki agar Dia menghilangkan  kekejian dari kamu sekalian ahli bait ); f) Q.S.Al-Nisa: 19;فلا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما آتيتموهن أي لتفوزوا بشئ من المهر أو غير ذلك مما أعطيتموهن( janganlah kamu halangi mereka untuk mengambil kebahagiaan terhadap sebagian  sesuatu mahar atau sesuatu yang lainnya yang kamu berikan kepada mereka). Ayat ini merupakan ekpresi kemerdekaan memilih dari setiap orang dalam menentukan kehidupan di masa depannya yang lebih baik;  g)Q.S. Al-Anfal, 46; ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم( dan janganlah kamu bertentangan, maka kamu akan gentar, lalu kekuatan kamu menjadi hilang). Ungkapan ini merupakan ekpresi peringatan agar tidak memelihara konplik; h) Q.S. Al-Baqarah, 17; ذهب الله بنورهم(Allah menghilangkan cahaya mereka); sebagai gambaran suatu ekpresi ketersesatan segala ikhtiar orang-orang munafiq;  i) Q.S.Al-Baqarah: 20;  ولو شاء الله لذهب بسمعهم( kalau sekiranya Allah menghendaki tentu Allah akan menghilangkan pendengaran mereka); gambaran ekpresi ketidak berdayaan orang-orang munafiq; j) Q.S. Hud;10;  ليقولن ذهب السيئات عنى    ( sungguh mereka berkata telah hilang bencana-bencana itu dari ku); suatu ekpresi kesedihan jika ni’mat Allah dicabut dari seseorang, dan ekpresi kegembiraan jika bencana kesulitan menghilang dari seseorang; k) Q.S.Hud: 74, فلما ذهب عن إبراهيم الروع  (ketika Ibrahim telah hilang rasa ketakutannya); ekpresi rasa gembira mengiringi nabi Ibrahim as., setelah hilangnya rasa ketakutan ( Cf. Raghib al-Ashbahaniy, Gharib al- Qur’an: I / 182 ; Cf. Lisan al- ‘Arab : I /393).

 

G

Al-Ghadhab  /    الغَضَبُ  ( marah );  pengarang Lisân al- ‘Arab ( I / 648 ) menyatakan bahwa makna ghadhab adalah lawan ridha. Makna  ghadhab lainnya adalah al-inkâr dan al- sukhth ( benci / tidak senang ). Ibn ‘Arafah ( Lisan, Ibid., 649) berkata bahwa ghadhab itu, merupakan sesuatu yang dimasukkan ke dalam hati makhluk, ada yang terpuji ( mahmûdah ) dan ada yang tercela ( madzmûmah ). Ghadhab terpuji, berposisi dekat dengan ajaran agama dan kebenaran; sedangkan ghadhab tercela berada di luar kebenaran.

Q.S. Al-Fatihah, 7;  menggambarkan tiga tipe manusia dalam merespon ajaran agama Islam:Pertama, tipe mereka yang tergolong an’amta ‘alaihim.  Golongan ini memiliki karakter dan sikap sebagaimana karakter dan sikap para nabi Allah as ( amanah, shidieq,fathanah dantabligh disertai alat mukjizatnya); para shiddieqîn ( orang-orang yang jujur ); parasyuhadâ ( mereka yang telah menjadi saksi dalam hidupnya sebagai seorang yang benar-benar menjalankan syari’at agama ); dan shalihîn ( mereka orang-orang baik). Kedua, tipe mereka yang tergolongal-maghdhûb ( dibenci ) yang akan memperoleh teguran sampai hukuman dari Allah SWT di akhirat. Ketiga, tipe mereka yang tergolong sesat ( sifat-sifatnya telah dijelaskan pada entri al-dhalâl). Ekpresi qur’ani dari masing-masing tipe kelompok orang tersebut, dinyatakan dalam berbagai ayat yang tersebar di berbagai surah. Ekpresi yang dikehendaki dan membawa pada cita-cita dan harapan agama Islam adalah tipe an’amta ‘alaihim, sedangkan dua tipe lainnya tidak dikehendakinya .  Dinyatakan dalam sebuah kaidah,    إِذ ذَهَبَ مُغَاضِباً قيل مُغاضِباً لربه وقيل مُغاضِباً لقومه( karena dia pergi dengan marah, maka dikatakan bahwa dia sedang marah kepada Tuhannya, dikatakan juga dia sedang marah kepada kaumnya).

Gambaran karakter al-maghdhûb yang direkam Alqur’an, sbb.:  1) pembunuhan sengaja; 2) pengabdian terhadap thaghut; 3) nifaq; 4) syirk; 5) suuzhan; 6) memalingkan suatu qaum  dari jalan Allah; 7) durhaka;   8) baghy/separatis; 9) benci beribadah; 10) penyimpangan; 11) fitnah; 12) qadzf; 13) berhujah dengan kebatilan; dan 14) berlebihan karena hawa nafsu. Kemudian jenis adzab yang diperoleh karena ghadhab Allah itu, meliputi: 1) siksa yang besar; 2) laknat Allah SWT; 3) kehinaan dan kemiskinan; 4) siksa yang terhina; 5) tempat kembalinya jahanam; dan 6) keji / najis / rijsun.

 Ekpresi kemarahan digambarkan Q.S.Al-Furqan, 12 ;   رأتهم من مكان بعيداذا

  سَمِعُوا لها تَغَيُّظاً وزَفيراً(bagaikan mereka mendengar suara teriakan yang keras dari tempat yang jauh, sebagaimana pengembala memanggil ternaknya dengan keras karena dorongan sangat ingin ). Sekalipun demikian, Rasul Allah SAW memberikan teladan pada setiap umatnya, jika ditemukan suatu saat yang seseorang tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya, sebagaimana ditunjukkan dalam beberapa hadits berikut :  Hadits Nabi SAW riwayat Bukhari ( al- Shahih, XXII: 254) menceritakan bahwa Nabi SAW marah karena terdapat sesuatu yang tidak disenanginya ditanyakan dan pertanyaan itu berulang-ulang; dalam riwayat Imam Muslim ( al-Shahih, II: 493) diceritakan Nabi SAWsangat marah ( asyadd al-ghadhab ) karena salat shubuh  terlalu lama yang dibelakangnya terdapat orang lemah, orang tua dan mereka yang banyak keperluan; dan dalam riwayat Abu Daud ( al-Sunan, VI: 400 ) diceritakan bahwa Nabi SAW marah karena beberapa orang sahabat yang berpuasa terus menerus selama satu masa penuh ( shawm al- dahr ).

Berdasarkan keterangan di atas, makna ketaatan beragama itu adalah al-itbâ’ , yaitu pelaksaan  ajaran agama didasarkan pada dalil-dalil baik dari Alqur’an dan al-Sunnah melalui periwayatan  yang diterima (maqbûl), dan diinterpretasikan secara benar sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at mu’tabarah tidak lebih dan tidak kurang. Dalam hal ini, kaidah menyatakan :                            

ما أخذ عن رسول الله صلى الله عليه و سلم مراده من غير غلو ولا تقصير

                Apa yang diambil dari Rasul Allah SAW itu adalah maksudnya dengan tidak dilebihkan dan tidak dikurangkan.   

Dalamilmu ushul al- fiqh,  terdapat  kaidah :             لا تفريط  ولا افراط    .

Alqur’an merekam al-ghadhab ini, sebanyak 19 ayat dalam 17 surah.

 

H

Al-Haq/ الحق/ الحقيقة(kebenaran / hakikat ). Raghib al- Ashbahani (I/125) menyatakan bahwa makna asal al-haq itu adalah المطابق و الموافقة  ( terdapat persesuaian dengan realitas ). Dimensi-dimensi al-haq: 1) keberadaan sesuatu itu oleh sebab tuntutan hikmah (adanya relevansi yang tepat di antara ilmu, amal dan rasa kolektif dan berbuah kebaikan); karena itu Allah dikatakan al-Hak ( adanya relevansi kalâm, af’âl danirâdah Allah SWT dan berbagai kebaikan bagi kehidupan manusia). Q.S. Al-An’am,  62;   ثم ردوا إلى الله مولاهم الحق   (  Kemudian mereka kembali kepada Allah; pelindung mereka adalah al-haq ); Q.S. Yunus, 32;       

        فماذا بعد الحق إلاالضلال فأنى تصرفونربكم الحق      فذلكم الله

 (  maka demikian itu Allah Tuhan kamu, al-Haq;tidak ada sesuatu setelah al-hak kecuali kesesatan,  bagaimana kamu bisa berpaling);

       2) Segala sesuatu  yang ada itu, dipertimbangkan berdasarkan tuntutan hikmah. Karena itu, dikatakan perbuatan Allah itu seluruhnya kebenaran ( al-haq ). Q.S. Al-Ahqaf, 3;

مَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ

( Tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantara keduanya, kecuali dengan hak ( sebenarnya) dan samapai batas waktu tertentu. Dan orang-orang kafir itu berpaling jauh dari segala yang kamu sekalian peringatkan).

Demikian juga dalam penciptaan matahari bersinar dan bulan bercahaya dengan hak juga, sebagaimana Q.S. Yunus, 5;  ما خلق الله ذلك إلا بالحق  (tidaklah Allah menciptakan yang demikian itu kecuali dengan hak ).

 Dialog yang bernada mempermainkan orang-orang zhalim ketika merasakan adzab di akhirat karena perbuatannya di dunia, diungkapkan Q.S. Yunus, 10; ويستنبئونك أحق هو قل إى وربى إنه لحق(mereka meminta berita yang paling benar kepada kamu, katakan oleh kamu, ya ! Aku bersumpah,  Tuhankulah yang lebih berhak ).   

3) Keyakinan terhadap sesuatu itu, sesuai dengan hakikat sesuatu itu. Hal ini karena berhubungan dengan hari kebangkitan di akhirat, berupa: pahala, siksa, surga dan neraka itu adalah benar adanya .  Q.S. Al-Baqarah, 213; فهدى الله الذين آمنوا لما اختلفوا فيه من الحق( maka Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman, oleh karena sesuatu kebenaran ( al-haq ) yang diperselisihkan.

4) Perbuatan dan perkataan yang terjadi, didasarkan pada keharusan disertai dengan ketentuan waktu, mudah-mudahan perkataan dan perbuatan itu benar. Q.S. Yunus, 33; كذلك حقت كلمة ربك  (Seperti demikian itu kalimat kebenaran dari Tuhan kamu );    Q.S Al-Sajdah, 13;  ولكنحق القول منى لاملان جهنم     ( dan tetapi perkataan yang benar dari ku adalah sungguh aku akan penuhi neraka  jahannam itu dari komunitas jin dan manusia ). Q.S. Al-Mu’minun, 71;   ولو اتبع الحق أهواءهم( dan kalau kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, tentulah langit dan bumi serta orang-orang yang ada di dalamnya akan rusak). Dua cara pernyataan kebenaran itu: 1) dinyatakan oleh dalil dan ayat secara jelas, sebagaimana Q.S.al-Nisa, 91;وأولئكم جعلنا لكم عليهم سلطانا مبينا( dan mereka itu, Kami telah menjadikan argumen yang jelas bagi kamu sekalian atas mereka itu untuk kamu memerangi mereka); 2) penyempurnaannya dengan syari’at  dan menyebarkannya kepada seluruh umat manusia, sebagaimana Q.S. al-Shaf, 8 ;والله متم نوره ولو كره الكافرون    (  dan Allah itu menyempurnakan cahaya (agama)-Nya, sekalipun dibenci orang-orang kafir ); Q.S. al-Fath,28; هو الذى أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله  (  Dia Dzat yang mengutus Rasul-Nya dengan disertai  hidayah dan agama yang haq, agar memenangkan atas semua agama, cukuplah bersama Allah itu sebagai saksi ).

Jika akidah telah benar ( al-haq), perkataan dan perbuatan juga diharapkan benar, maka pertolongan Allah atas orang-orang yang beriman sudah mesti diperolehnya, sebagaimana Q.S.Rum, 47;  وكان حقا علينا نصر المؤمنين -Demikian juga keselamatan atas mereka orang beriman akan diperolehnya juga, sebagaimana Q.S.Yunus, 103;   كذلك حقا علينا ننجي المؤمنين  . Maka kebenaran itu adalah tidak adanya perkataan atas Allah kecuali al-haq (Raghib al-Ashbahani,Gharib al-Qur’an: I/ 126 ).

Penyataan hakikat itu dipergunakan  pada sesuatu yang memiliki ketetapan dan berwujud, seperti sabda Nabi SAW kepada Haritsah  bahwa bagi setiap realitas itu memiliki hakikat, maka apa hakikat keimananmu ? yaitu sesuatu yang diberitakan melalui seruan kebenaran, dan seseorang memelihara hakikat itu sesuai dengan yang semestinya.  

           Al- Hayâh  /       الحياة/      الحيا / ( hidup /malu   ). Lisân al- ‘Arab (XIV :  211) mencatat  al-hayah (hidup) adalah lawan al-mawt ( mati );  al- ahyâ  lawan  al- amwât. Q.S. al-Nahl, 97; فلنُحْيِيَنَّه حَياةً طَيِّبَةً( maka sungguh Kami akan menghidupkannya dengan penghidupan yang baik ). Makna ayat itu bahwa  Dia memberi rizki yang halal di dunia, dan sungguh Dia juga akan balas mereka dengan pahala kebaikan oleh karena sesuatu yang telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya. Beberapa makna  al- hayyu dari segala sesuatu adalah bermakna membatalkan kematian. Al-Hayyu juga bermakna bagi segala sesuatu yang  bercakap, termasuk kehidupan  tumbuh-tumbuhan selagi dari awal pertumbuhannya Q.S. Fathir, 22:وما يَسْتوي الأَحْياءُ ولا الأَمْواتُ( tidaklah sama orang yang hidup dengan orang yang mati). Tsa’lab menafsirkan al-hayyu dengan  al-muslimu dari, sedangkan al-mayyitu ditafsirkan  dengan al-kâfiru. Demikian juga al-Zujaj, memaknai al-ahyâ dengan al-mu’minûn, dan al-amwât dengan al-kâfirûna. Ia mendasarkan pandangannya pada  Q.S.al-Nahl,21;  amwâtun ghairu ahyâ, wa mâ  yasy’urûn  (mereka mati tidak hidup, tetapi mereka tidak merasakan). Demikian juga ketika ia memahami Q.S.Yasin,70 : li yundzira man kâna hayyan; ia mentafsirkan untuk mengingatkan siapa yang mukmin, maka dia akan memahami apa yang dititahkan ( Allah ) kepadanya; sedangkan seorang kafir bagaikan bangkai. Karena itu, secara tegas dinyatakan  Q.S. al-Baqarah, 154; ولا تَقُولوا لمن يُقْتَلُ في سبيل الله أَمواتٌ بل أَحياء( dan janganlah kamu sekalian katakan  bagi orang yang berperang di jalan Allah itu mati, tetapi  dia itu hidup); dan Q.S. Al-An’am, 122  ;

أَوَمَنْ كان مَيْتاً فأَحْيَيْناه وجعَلْنا له نُوراً يمشي به في الناسِ كمَنْ مَثَلُه في الظُّلُمات ليس خارج منها

(dan apakah orang yang dalam keadaan mati, lalu Kami hidupkannya, dan Kami jadikan baginya cahaya sebagai penerang, dia berjalan dengan cahaya itu, di hadapan orang-orang yang sepertinya berada dalam kegelapan, dia tidak bisa keluar darinya.

Ayat itu dipahami, bahwa Allah menjadikan dia sebagai penerima hidayah, maka jadilah dia hidup. Dan sungguh ketika dia berada dalam kegelapan karena tersesat, dia itu mati. Namun, tidak demikian ketika orang-orang kafir diberitahukan  tentang adanya hari kebangkitan dan hari pengembalian segala urusan, digambarkan Q.S. al- An’am, 29 ;            قالوا ان هِيَ إلاّ حَياتُنا الدُّنْيا نَمُوت ونَحْيا وما نَحْنُ بمبْعُوثِينَ( mereka berkata, tidaklah dia itu hanyalah kehidupan kami di dunia, kami mati dan kami hidup, dan tidak kami dibangkitkan); dan     Q.S.Ghafir ,11 ;رَبَّنا أَمَتَّنا اثْنَتَيْن وأَحْيَيْتَنا اثنتين  قالوا ( Mereka berkata :  Ya Tuhan Kami ! matikanlah kami dua kali, dan hidupkanlah kami dua kali juga). Dimaksudkan dengan perkataan mereka orang kafir itu, agar mereka bisa memperbaiki kehidupannya pada yang kedua kalinya, barulah kematian setelah itu. Ekpresiistihya ( menuntut kehidupan) lainnya, diungkapkan Q.S. al-Baqarah, 49;  ويَسْتَحْيُون نِساءَكم( dan mereka menghidupkan wanita-wanita ). Bagian ini merupakan sikaf dan pandangan serta prilaku Fir’aun yang ketakutan dan merasa terancam kekuasaannya oleh seorang anak laki-laki yang akan lahir, akibat dari ramalan ahli sihir). Q.S.Al-Baqarah, 26; إن الله لا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مثلاً ما بَعُوضَةً( sungguh Allah tidak malu menjadikan perumpamaan semitsal nyamuk ).  Al-Jauhari mengartikan ungkapan أَحْيا القومُ حَسُنت حالُ مواشِيهمْ( sekelompok itu telah hidup,bermakna keadaan kehidupan kelompok itu baik); sedangkan makna hidup bagi sebidang tanah adalah jika tanah itu subur.  Demikian juga,Abu Hanifah berkata bahwa  yang dikatakan tanah itu hidup, adalah  jika darinya mengeluarkan berbagai tumbuhan.Dalam Hadits Nabi SAW, pengertian hidup atau menghidupkan itu terkait dengan wilayah pemilikan sebidang tanah, seperti Hadits  :من أَحْيا مَواتاً فَهو أَحقُّ به( barang siapa yang menghidupkan, tanah mati, maka dia yang lebih berhak kepemilikannya)[2]. Kepemilikan di tandai dengan pagar, tanaman atau bangunan. Makna lainnya, hidup atau menghidupkan itu berhubungan dengan aktivitas ketaatan, seperti salat dan beribadat. Hal ini ditunjuki Hadits: أَحْيُوا ما بَيْنَ العِشاءَيْن( hidupkan oleh kamu sekalian diantara dua waktu Maghrib dan ‘Isya ).  Perintah menghidupkan  dari kata  amar : Ahyû bermakna istaghallû bi al-shalâti wa al- ‘ibâdati wa al-dzikr wa lâ tu’aththilû  ( menyibukkan diri dengan salat, ibadat dan  berdzikir dan tidak meliburkannya )[3]. Sebaliknya, jika tidak diisi kegian diantara kedua waktu itu, maka berarti mematikannya. Ihyâ al-lail bermakna menghidupkan malam hari, atau al- sahr (berjaga) dengan beribadat. Al-dâr al-âkhirah dikatakan juga dâr al- hayâh al- dâimah. Potensi lainnya, yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan ini adalahal-rûh, sebagaimana dalam pernyataan : وكلُّ ذي رُوح حَيَوان( setiap yang memiliki rûh adalah hayawân ). Al-hayawân dimaksudkan adalah  mata air di surga (‘ainun fi al- jannah ); tidak ada sesuatupun yang menimpa kehidupan ini kecuali atas idzin Allah SWT. Al-Hayawân juga dimaknai dengan satu jenis lainnya, yaitu perkampungan (al-hay) yang ada ditengah-tengah pedalaman  masyarakat ‘Arah atau juga dimaksudkan al- syakhsh (person) yang disebut bikr. Al- Bikr dapat diartikan status jenis kelamin, baik gadis atau perjaka, lawan kata al-tsayyib ( duda atau janda) .  Al- Hayâ, juga bisa diartikan curah hujan atau tanah subur ( al-mathar al-mamdud wa al-khishbah), kerena turun hujan dalam waktu yang lama, dapat mensuburkan sebidang tanah dan mensejahtrakan kehidupan manusia. Al-Tahiyyât li Allah, bermakna keselamatan dari berbagai bahaya  itu hanya milik  Allah SWT. Al- Tahiyyat itu sendiri dalam pembicaraan masyarakat Arab, adalah ungkapan yang menghidupkan satu bagian dengan satu bagian lagi dari mereka ketika mereka saling bertemu. Maka ketika itu, muncullah ungkapan do’a keselamatan, rahmah dan keberkahan pada setiap pertemuan dengan ucapan :السلامُ عليكم ورحمةُ الله وبركاتُه. Q.S.  al-Ahzab, 44:تَحِيَّتُهُمْ يوْمَ يَلْقَوْنَه سَلامٌ وإذا حُيِّيتُم بتَحِيَّةٍ فحَيُّوا بأَحسَنَ منها أَو رُدُّوها( keselamatan mereka pada hari mereka  saling bertemu karena do’a keselamatan; jika kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka  hormatilah dengan yang lebih baik lagi atau kembalikan dengan yang seimbang).  Al-Hayâ ( malu ) adalahal-tawbah ( taubat ). Sabda Nabi SAW  :الحَياءُ شُعْبةٌ من الإيمان( malu itu adalah sebagian cabang dari cabang keimanan )[4]. Karena terdapat rasa malu itu, maka seseorang dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat; keimananlah yang dapat memutuskan dan memisahkan di antara seseorang mukmin dengan kemaksiatan itu. Ibn al- Atsir berkata  bahwa malu itu sebagian dari iman; karena  iman itu terbagi pada dua bagian: Pertama, mengikuti segala apa yang diperintahkan Allah SWT; dan kedua, menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Jika seseorang menjauhi  segala apa yang dilarang itu didasarkan karena rasa malu, maka itu menunjukkan terdapatnya bagian dari imannya.  Demikian juga hadits lainnya :  إذا لم تَسْتَحِ فاصْنَح ما شئتَ( apabila tidak ada rasa malu, maka lakukan sekehendak kamu). Yang dimaksud oleh hadits itu, adalah apabila tidak ada rasa malu, maka terhadap kemaksiatan dan kekejian itu tidak ada daya tangkalnya. Ibn al-Atsir berkata : terdapat dua takwil dalam masalah ini. Pertama, takwil zhahir bagian ini pandangan masyhur, yaitu apabila tidak ada rasa malu dari kecacatan, dan tidak takut apa yang dilakukannya tertelanjangi, maka lakukan  apa yang tergores dihati kamu dari berbagai kebaikan atau keburukan. Apabila haya ( rasa malu) sudah tidak ada,   maka segala yang diperintahkan akan tertanggalkan oleh sebab perbuatan berbagai kesesatan dan tawaran berbagai keburukan; kedua, jika keimanan meyertai setiap perbuatan dan tuntutan rasa malu ikut serta berjalan menyertainya, maka kebenaran akan mengikuti. Karena itu, tidak akan terjadi perbuatan yang dituntut rasa malu dengan ungkapan lakukan apa yang kamu kehendaki itu datang dari perkataan Nabi SAW, kecuali hanyalah dari aspek di dalamnya mengandung ketercelaan, akibat  karena meninggalkan rasa malu. Dengan demikian, mengikuti rasa malu itu, adalah diperintahkan; dan meninggalkan rasa malu itu adalah terlarang. Di antara pemakaian ungkapanistihyâ yang bermakna menghidupkan dan mengikuti  tuntutan rasa malu, merupakan satu bahasa bermakna ganda. Dalam istilah ilmu bahasa ungkapan seperti ini, dikatakan : إضافة المسمى إلى نفسه ( menyandarkan yang dinamai kepada dirinya).

Di samping makna di atas, ditemukan juga  bahwa kata al- hay itu, bentukan  ism fi’il, seperti ungkapan حَيَّ على الصلاة حَيَّ على الفَلاحbermakna marilah atau  hadapkanlah  dengan segera.

Raghib al-Ashbahaniy ( I/ 138 ) mengungkapkan tiga aspek penggunaan ungkapan الحياة  tersebut, yaitu :  Pertama, dorongan bagi kekuatan penumbuhan segala yang ada, tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Q.S. al-Hadid,17; اعلموا أن الله يحيى الارض بعد موتها( ketahuilah kamu sekalian bahwa Allah SWT menghidupkan tanah setelah kematiannya). Q.S. Qaf,11: فأحيينا به بلدة ميتا –( maka Kami menghidupkan oleh sebab air itu, kota yang mati).  Q.S. al-Anbiya, 30   ; وجعلنا من الماء كل شئ حى( dan Kami jadikan dari air itu segalasesuatu yang hidup). Kedua, dorongan bagi kekuatan indra, karena itu dinamakan  hayawân . Beberapa firman Allah dalam masalah ini; Q.S.Fathir, 22 ; وما يستوى الاحياء ولا الاموات( dan tidaklah sama yang hidup dengan yang mati);  Q.S. Al-Mursalat, 25-26; ألم نجعل الارض كفاتا أحياء وأمواتا  ( bukankah Kami jadikan bumi itu tempat berkumpul, orang-orang hidup dan orang-orang mati ). Q.S. Fushilat ,39; إن الذى أحياها لمحيى الموتى إنه على كل شئ قدير  (sungguh Dzat yang menghidupkannya, menghidupkan yang mati bahwa Dia itu atas segala sesuatu Maha Kuasa ). Ayat ini mengisyaratkan dua kekuatan: kekuatan untuk tumbuh berkembang dengan ungkapan ahyâhâ; dan kekuatan rasa, dengan ungkapan li muhy al- mawtâ ). Ketiga, dorongan bagi kekuatan aktivitas akal, sebagaimana Q.S. al-An’am , 122; أو من كان ميتا فأحييناه  ( bukankah orang-orang itu dahulunya mati, lalu Kami menghidupkannya) . Keempat, ungkapan tentang menguatnya al-gham ( kebimbangan ), dinyatakan dalam sebuah sya’ir :  ليس من مات فاستراح بميت * إنما الميت ميت الاحياء( bukankah orang mati lalu diam oleh sebab kematian; hanyalah mati itu mati dari kehidupan ). Q.S. Ali  Imran, 169; ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم( Janganlah kamu memperkirakan orang-orang yang terbunuh dijalan Allah  itu mati, tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka ). Kelima, kehidupan akhirat yang abadi. Sesuatu yang bisa menyambungkan pada kehidupan di sini adalah akal dan ilmu. Q.S.Al-Anfal, 24; استجيبوا لله وللرسول إذا دعاكم لما يحييكم( merka beriman dan beribadat kepada Allah dan Rasul, jika rasul menyeru kamu  untuk  sesuatu yang menghidupkan kamu ).  Sesuatu yang menghidupkan itu, tiada lain adalah ilmu dan amal. Q.S.al-Fajr, 24; يا ليتني قدمت لحياتي( alangkah baiknya kira-kira aku dahulu mengerjakan amal shaleh). Keenam, kehidupan dengan sifat tersebut akan terkena kematian. Dzat yang boleh mematikan hanyah Allah SWT. Pada bagian lain Raghib ( Ibid ) menjelaskan pembagian hidup dan kehidupan ini kepada dua bagian, yaitu duniawi dan ukhrawi. Sikap dan ekpresi manusia terhadap dua kehidupan ini, tergambarkan dalam  beberapa ayat berikut : Sikap rakus terhadap duniawi, diisyaratkan Q.S. al-Nazi’at, 37-38; فأما من طغى وآثر الحياة الدنيا  (adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi ); Q.S. al-Baqarah, 86; اشتروا الحياة الدنيا بالآخرة(  mereka menukarkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat  ); Q.S. al-Ra’du, 26 ; وما الحياة الدنيا في الآخرة إلا متاع(  Tiadalah kehidupan duniawi itu dalam kehidupan akhirat kecuali kesenangan sementara  ); Q.S.Yunus, 7; ورضوا بالحياة الدنيا واطمأنوا بها( mereka ridha dengan kehidupan duniawi dan merasa tenang dengannya   ); Q.S.al-Baqarah, 96 ; ولتجدنهم أحرص الناس على حياة( dan sungguh kamu akan mendapati mereka manusia yang paling loba berkehidupan duniawi). Adapun sikap dan ekpressi manusia yang menghendaki kehidupan baik di akhirat dan kehidupan baik pula di dunia, diisyaratkan  Q.S.al-Baqarah, 260; وإذ قال إبراهيم رب أرنى كيف تحيى الموتى( Ingat ketika Ibrahim berkata; Ya, Tuhan ku ! perlihatkanlah padaku  bagaimana Engkau menghidupkan orang mati ? ). Pertanyaan ini, berhubungan dengan  kehidupan akhirat yang baik disertai  keterhindaran dari bencana duniawi );  Q.S. al-Baqarah, 178;  حياة    ولكم في القصاص( dalam hukum qisas itu, bagi kamu sekalian diperoleh  kehidupan ); Q.S,  al-Maidah, 32 ; ومن أحياها فكأنما أحيا الناس جميعا( barang siapa yang memelihara kehidupan, maka seolah dia memelihara kehidupan manusia semuanya );  Q.S.  al-Baqarah, 258;      ربى الذى يحيى ويميت قال أنا

 أحيى وأميت  (  Ya, Tuhanku itu adalah Tuhan yang menghidupkan dan yang mematikan; Seseorang berkata : Aku lah yang menghidupkan dan Aku pula yang mematikan ).    

Al- Hayawân( mata  air surga  ) tempat menetapnya kehidupan terbagi pada dua bagian: Pertama, sesuatu yang menyangkut  kesementaraan, perkara indrawi; dan kedua, sesuatu yang menyangkut perkara keabadian. Dalam hal ini, Q.S.al-‘Ankabut, 64 ;وإن الدار الآخرة لهى الحيوان لو كانوا يعلمون( Sungguh perkampungan akhirat itu adalah yang sebenarnya kehidupan jika mereka mengetahui ).    لهى الحيوان( sebenar-benarnya kehidupan ).  Al- Hayawân al- haqiqi al-sarmidiy, adalah sesuatu yang tidak mengenal rusak, tidak juga yang tahan lama tetapi kemudian rusak. Sebagian ahli bahasa, kata al-hayawân dan al- hayâh adalah satu makna.Demikian juga ditunjuki  Q.S. Al-Anbiya, 30; bahwa dalam air itu ada kehidupan.         Q.S. Maryam, 7;     إنا نبشرك بغلام اسمه يحيى(  Sungguh Kami akan menggebirakan mu dengan seorang anak bernama Yahya ). Salah seorang ciri orang yang hidupadalah mereka yang memelihara rasa malu. Al- Haya ( malu ) adalah tergemgamnya jiwa dari berbagai perbuatan buruk. Karena itu, orang yang menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran adalah orang-orang yang malu jika kebenaran tidak ditegakkan. Kebenaran itu yang menjamin kehidupan abadi yang sebenarnya. Q.S. al-Ahzab, 53 ;والله لا يستحيى من الحق  ( dan Allah itu tidak malu karena kebenaran ). ( Raghib,Ibid, I / 40 ).

Al-Hazn / الحزن الجزع/ الاسف(sedih/ lebih sedih lagi/ menyesal). Raghib al-Ashbahani  (  I /  115 )  menjelaskan  banwa  makna  asal  kebahasaan  الحزن   adalah

 فيه من الغمخشونة في الارض وخشونة في النفس لما يحصل                       ( bagian yang keras di dalam tanah, atau bagian yang keras mengganjal di dalam jiwa karena diperolehnya rasa duka / sedih dan tidak disenangi. Beberapa halyang terkait kondisi sedih, sbb.: 1) Musibah atau bencana duniawi yang menimpa kamu berupa hilangnya sesuatu atau kerusakannya, jangan sampai menyedihkan kamu orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana  Q.S. al-Hadid, 23:   لكيلا تأسواعلى ما فاتكم( agar supaya kamu sekalian tidak bersedih atas apa yang lepas dari kamu sekalian), makna تأسواadalahتحزنوا . 2) Allah Yang Maha Kuasa menghilangkan kesedihan itu dari jiwa hamba-hamba-Nya, diungkap Q.S.Fathir,34;   عنا  الحمد لله الذى أذهبوقالواالحزن( mereka berkata segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan  jauh dari kami ). 3) Bersedih karena ketidakmampuan untuk ikut berperang dan tidak berinfaq adalah diungkapkan, Q.S. al-Tawbah, 92; تولوا وأعينهم تفيض من الدمع حزنا  ( mereka berpaling kembali dan air mata mereka mengalir keluar karena kesedihan tidak bisa berinfaq ). Tempat pengaduan kesedihan itu, hanya kepada Allah, Q.S. Yusuf, 86; إنما أشكو بثى وحزني إلى الله  ( hanyalah aku mengadukan kesusahan dan kesedihan kepada Allah ). Raghib ( I/116) menjelaskan bahwa seorang mukmin tidak dibenarkan berada dalam kesedihan, atau  membuat sedih saudaranya, atau seorang pemimpin membuat sedih yang dipimpinnya. Ia mendasarkan pandangannya kepada  Q.S. Al-Hijr, 88 ;      ولا تحزن عليهم  ( dan janganlah kamu sekalian / Nabi saw,   membuat sedih   atas   mereka  orang-orang mukmin );    dan   Q.S.Ali ‘Imran, 136;     الاعلون  انتموولا تحزنوا  (dan janganlah kamu sekalian bersedih sedangkan kamu sekalian termasuk kelompok yang bermartabat tinggi ). Karena itu, keadaan sedih itu merupakan sesuatu keadaan yang harus segera dihilangkan. Ekpresi kesedihan bukan sesuatu yang ikhtiari ( sengaja diusahakan ), tetapi pada hakikatnya adalah terlarang. Ia datang dari pewarisan rasa duka yang terkait dengan usaha-usaha yang menunjukan  hal  itu terjadi, dan sesuatu yang terjadi itu adalah keburukan setelahnya. Jalan keluarnya ada tiga langkah: 1) tidak menjadikan sesuatu itu terabaikan, bahkan harus diperhatikan penyelesaiannya yang berujung pada hilangnya sesuatu tersebut; 2) penggambaran terhadap apa yang menjadi beban duniawi sampai apa yang membuat penyimpangan itu tergantikan dengan tidak mengotori lagi; dan 3) seseorang yang bersedih itu mesti juga melatih diri memikul beban kecil sampai bisa menahan beban berat. Raghib ( I/ 92) juga menyatakan bahwa perbedaan pengertian di antara  al- hazn dan al- jaz’uAl-Jaz’u lebih spesipik dan  fokus;  sedangkan al-hazn lebih umum.   الجزع; asal makna al- jaz’u  adalah memotong panjangnya tali separohnya, maka  al-jaz’u bermakna kesedihan yang memalingkan manusia jauh dari sesuatu dan memotong darinya; seperti ungkapan جزع الوادي لمنقطعه،   ( memutus lembah karena ada pemotongan terhadapnya ), atau  seperti ولانقطاع اللون بتغيره( memotong warna dengan sebab merubahnya ). الاسف; Raghib ( I/ 17  ) dinamai juga الحزن والغضب(sedih dan marah secara bersamaan). Ketiga ungkapan itu, secara tersendiri memiliki makna masing-masing; tetapi pada hakikatnya ketiganya merupakan gejolak hati karena syahwat dendam; kapan saja mana kala dibelakngnya tersebar , maka kemarahan terjadi; dan kapan saja ada orang yang mengunggulinya lalu menguasainya, maka kesedihan terjadi. Dalam halini, riwayat dari Ibn Abbas ketika ia ditanya tentang   الحزن والغضب,dia berkata bahwa jalan keluar keduanya adalah satu, yaitu barang siapa yang berani menentang orang yang kuat, maka akan lebih jelas sangat marahnya; tetapi barang siapa yang bertentangan dengan orang yang kekuatannya tidak ada, maka akan lebih jelas kesedihannya ( حزنا وجزعا) . Kesedihan sebagai hukuman dari Allah karena kemurkaan, sebagaimana ditunjuki Q.S. al-Zuhruf, 55; فلما آسفونا انتقمنا منهم( ketika mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka). Abu ‘Abdillah al-Ridha berkata  bahwa Allah tidak menyesal sebagaimana kami telah menyesal, tetapi para wali-wali menyesal kemudian mereka ridha; maka menjadilah keridhaan mereka ada dalam ridha-Nya, dan kemarahan mereka adalah kemarahan-Nya. Ia berkata: Barangsiapa orang menghina wali Ku, maka sungguh Aku akan mengizinkan dia berperang karena Ku. Pernyataan itu, berasal dari Hadits nabi SAW riwayat   Bukhari dari Abi Hurairah ra., dalam rumusan Hadits qudsi . Jalan keluar ketika terjadi kesedihan adalah ketaatan, Q.S. Al-Nisa, 80; ومن يطع الرسول فقد أطاع الله( barang siapa taat kepada Rasul, maka sungguh dia mentaati Allah ); dan kesedihan dilantarankan karena  umat sudah tidak taat lagi ke nabinya, rakyat tidak taat lagi pada pemimpinnya, dhi., Musa dan kaumnya, Q.S. Al-A’raf, 150 ;  غضبان أسفا( sangat marah bercampur sedih ).   الهمRaghib ( I/ 454 ) memaknai juga al- Ham itu dengan al- huzn / sedih. Al- Ham makna asalnya adalah apa yang disuka-dukakan di dalam jiwa kamu. Hal itu terjadi karena apa yang dimaksudkan tidak tercapai. Kesedihan dan kemarahan karena kehendak berbuat jahat terhalang, Q.S. Al-Maidah, 11;إذ هم قوم أن يبسطوا اليكم  (  ingatlah ketika suatu kaum bermaksud untuk memukul sampai membunuh   kamu sekalian). Di antara dua pihak yang saling punya maksud yang sama, Q.S. Yusuf, 24 ;ولقد همت به وهم بها   ( sungguh wanita itu telah bermaksud dengan Yusuf; dan Yusuf pun bermaksud dengan wanita itu ). Maksud yang sama diantara dua golongan, Q.S.  Ali ‘Imran, 122 ; إذ همت طائفتان منكم  ( ingat ketika dua golongan di antara kamu bermaksud mundur  ). Maksud buruk dari segolongan terhadap yang lainnya,Q.S.Al-Nisa,113; لهمت طائفة منهم  ان يضلوك ( sungguh segolongan di antara mereka bermaksud menyesatkan kamu). Maksud buruk yang tidak tercapai, Q.S.Al-Tawbah, 74  ;وهموا بما لم ينالوا( mereka bermaksud melakukan  apa yang mereka belum  peroleh ). Keras kemauan terhadapkeburukan, Q.S. Al-Tawbah, 13; وهموا بإخراج الرسول  ( mereka bermaksud dengan keras untuk mengusir Rasul SAW ). Maksud buruk setiap umat terhadap Rasul Allah,  Q.S. Ghafir, 5;  وهمت كل أمة برسولهم   (  setiap umat bermaksud merusak dan berdialog kebatilan dengan rasul mereka ). Kecemasan terjadi karena setelah tertimpa musibah, sebagai prasangka buruk kepada Allah, Q.S. Ali Imran, 154 ; وطائفة قد أهمتهم أنفسهم(dan segolongan mencemaskan diri mereka sendiri ).

al-Hub/الحب/ الحبيبة/  المحبة( cinta /kekasih). Raghib Al-Ashbahaniy  (I/ 105-106) mengandengkakan bahwa kata  al-hub ( cinta) berkaitan erat denganal-hab  danal-habbah  bermakna biji tanaman. Kata al-hab / al-habbah diungkap Q.S.Al-Baqa rah, 261;  كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مائة حبة  ( bagaikan satu biji tanaman yang tumbuh tujuh tangkai, dalam setiap tangkainya seratus biji ). Dalam ayat lain biji tanaman itu tidak akan tumbuh di tanah yang gelap, Q.S. al- An’am, 59;  ولا حبة في ظلمات الارضHabbah al-qalb bermakna  jantung hati. Makna asal hababtu fulânan adalah  aku telah mengenai jantung hatinya, atau  شغفته)aku mencintainya(;كبدته (  aku memusatkan kepadanya;  فأدته   (aku mengikatkan hati pada nya). Dari rangkaian makna al-hab (biji tanaman) tersebut bertemu dengan makna al-hub (cinta). Perubahan makna ini bisa dipahami, karena biji-bijian tersebut merupakan bagian dari kebutuhan hidup yang secara psikologis akan membangun sikap berkecenderungan hati dan berkehendak untuk berada di dalamnya. Bagian ini yang dikatakan cinta ( al-hub); dan  kemudiannya, muncul ungkapan :  أحببت فلانا جعلت قلبى معرضا لحبه  (aku mencintai seseorang, bermakna, aku menjadikan hatiku sebagai sasaran  bagi cintanya).  Dalam bahasa keseharian dikenal dengan sebutan mahbub ( yang dicintai ) dan  muhib ( yang mencintai ). Makna  المحبة  yaitu  الارادةyaitu kehendak terhadap sesuatu yang dilihat, atau  terhadap sesuatu yang diyakininya lebih baik. Al-Mahabbah itu  terbagi kepada tiga aspek: Pertama, kehendak untuk memenuhi kelezatan biologis, atau hubungan kekerabatan, atau karena persaudaraan seperti  cintanya seorang pria kepada wanita. Salah satu  firman Allah, Q.S.al-Insan, 8: ويطعمون الطعام على حبه مسكينا(mereka memberikan makanan kepada yang dicintainya, saudaranya yang miskin, yatim dan tawanan perang); kedua, kehendak untuk memperoleh manfaat, seperti cintanya seseorang terhadap suatu barang miliknya yang sudah lama dipergunakan. Q.S.  al-Shaf, 13; وأخرى تحبونها، نصر من الله وفتح قريب( dan kepada yang lainnya kamu sekalian mencintainya,  pertolongan dari Allah dan kemenangan sudah dekat );  ketiga, kehendak untuk memperoleh keutamaan, seperti cintanya   ahli ilmu sebagian terhadap sebagian lainnya karena ilmu itu. Maka dari itu al-mahabbah, diartikan al-irâdah ( kehendak ), hanya al-mahabbah memiliki makna lebih dalam dari al-irâdah. Karena itu, setiap mahabbah adalah irâdah, tidak sebaliknya. Beberapa ayat Alqur’an yang mendasari pengertian itu, Q.S. al-Tawbah, 108;  فيه رجال يحبون أن يتطهروا  ( di dalamnya terdapat orang-orang yang mencintai kesucian dirinya ); batasan kecintaan dalam kepemimpinan dan perwalian adalah terlarang sekalipun terhadap orang tua dan saudara, ditunjukan Q.S.  al-Tawbah, 23; إن استحبوا الكفر على الايمان( jika mereka mencintai kekufuran atas keimanan). Kemudian  makna hakiki dari al-istihbâb  ( tuntutan rasa cinta ) yaitu  perasaan hangat seseorang berada di dalam sesuatu yang dicintainya, dan adanya tuntutan yang melampaukan rasa ketinggian yang disebut al- itsâr; sekalipun dalam keburukansebagaimana ditunjuki Q.S. Fushshilat, 17;  العمى على الهدىوأما ثمود فهديناهم فاستحبوا  ( adapun kaum tsamud, maka Kami tunjukkan mereka, lalu mereka mencintai kesesatan atas hidayah ); dan Q.S. Al-Maidah, 58 ;  فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه  (maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang saling mencintai di antara mereka ). Dari beberapa ayat di atas, maka mahabbah itu terbagi kepada beberapa bagian :1) mahbbah Allah terhadap para hambanya dengan curahan ni’mat-Nya kepada mereka; 2) mahabbah hamba kepada Tuhannya dengan berusaha mendekatkan diri hamba itu kepada tuhan dengan sedekat-dekatnya. Firman Allah yang menunjukkan pengertian itu Q.S. Shad, 32; إنى أحببت حب الخير عن ذكر ربى  ( sungguh aku telah mencintai dengan sebaik-baiknya cinta yaitu tentang dzikir kepada Tuhanku); dan Q.S. Al-Baqarah, 222 ; إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين( sungguh Allah itu mencintai  orang-orang yang bertaubat dan mencintai juga orang-orang yang  menyucikan diri  dengan pahala dan keni’matan yang diberikan-Nya); sebaliknya Allah tidak mencintai orang-orang kafir, Q.S. Al-Baqarah, 276;  لا يحب كل كفار أثيم واللهdan sombongو, Q.S. Luqman, 18;ان الله لا يحب كل مختال فخور  .Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan orang-orang yang berdosa .

 

I

Al-Indzar /الانذار( peringatan ). Lisân al- ‘Arab ( V/ 200) mengungkapkan bahwa  al-nadzru    bermakna al-nahbu ( ratapan / tangisan ), yaitu apa yang di-nadzar-kan manusia, maka dia itu secara pasti akan menjadikan atas dirinya merana. Imam al-Syafi’i menamainya dengan sesuatu yang menuntut dalam berbagai pelukaan ( luka yang disengaja) karena suatu diyat  sebagai nadzar ( ahli Hijaz ) dan al-Ursy (uang sogok) bagi ahli Yaman. Abu Nahsyal berkata al-nadzr tidak terjadi kecuali dalam luka, baik kecil atau besar. Abu Sa’id al- Dharir berkata makna  له نذر     (baginya nadzar) adalah bahwa dia itu dinadzarkan padanya, atau dikatakan  aku ber-nadzar atas diriku; artinya aku mewajibkan untuk menunaikannya. Al-Nadzirah bermakna apa yang diberikannya; atau anak yang dijadikan orang tuanya bernilai uang; atau sebagai  pelayan gereja atau tempat beribadat, baik laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini,  Q.S.Ali Imran, 35:  إِني نَذَرْتُ لكَ ما في بطني مُحَرَّراً( aku bernadzar kepada Mu, apa yang terdapat di dalam perutku untuk dimerdekakan). Al-Nadzar di sini artinya mewajibkan pada diri. Orang Arab berkata bahwa dia telah bernadzar atas nama dirinya. Ungkapan nadzartu atau andziru- nadzran, apabila mewajibkan atas dirinya suatu sumbangan karena suatu ibadat atau shadaqah atau yang lainnya. Ibn al-Atsir berkata pengulangan larangan dalam Hadits  adalah penguatan bagi perintahnya dan sebagai peringatan, jika disikapi dengan tidak serius setelah ditetapkan kewajibannya; maka maknanya adalah pengekangan, sampai perbuatan itu tidak dilakukan. Maka tentulah pada yang demikian itu diperoleh  pembatalan hukum, dan pengguguran kewajiban akan ditunaikan;  karena terdapatnya larangan itu menjadikan adanya kema’siatan. Yang benar al-nadzr itu  adalah al-indzâr bermakna mempertakuti dan memperingatkan. Q.S. Ghafir,18, وأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الآزِفَةِ(         dan berilah peringatan mereka pada hari kiyamat);  Q.S. Al-Mulk, 17; فستعلمون كيف نَذِير  ( maka kelak  kamu akan mengetahui bagaimana peringatan Ku );  Q.S.Al-Qamar, 23   كَذَّبَتْ ثَمُودُ بالنُّذُرِ( kaum Tsamud telah membohongkan dengan nadzar ). Abu Hanifah berkata al- nadzîr  bermakna suara lonceng, karena mengingatkan . Tanâdzara al-qawmu bermakna sebagian mereka mengingatkan sebagian  lagi. Ungkapan al-indzar adalah al- iblâgh, ia tidak terjadi kecuali dalam kekhawatiran. Q.S.Al-Qamar,16, 18, 23 ; فكيف كان عذابي ونُذُرِ  ( maka alangkah dahsyatnya siksa Ku dan ancaman-ancaman Ku ); Q.S.al-Ahzab,45;إِنا أَرسَلْناك شاهِداً ومُبَشِّراً ونَذِيراً( Sungguh Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, kabar gembira dan pemberi peringatan ). Ibn Abbas berkata  ketika turun ayat, Q.S. al-Syu’ara,214 ; وأَنْذِرْ عَشِيرتَكَ الأَقْرَبِين(  dan peringatkanlah oleh kamu ), ia berkata :  Rasulullah mendatangi bukit shafa, lalu naik kebukit kemudian menyeru  wahai mereka yang berada di pagi hari ini berkumpullah !  maka  berkumpullah orang-orang itu, di antara mereka ada pendatang utusan suatu kabilah, maka Rasul SAW berkata  : Hai bani ‘Abd al-Muththalib ! Hai bani fulan ! kalau sekiranya aku beritakan kepada kamu sekalian, bahwa terdapat penunggang kuda akan datang kepada kamu sekalian  dari sebelah gunung ini, untuk menyerang kamu, apakah kamu sekalian membenarkan ku ? Mereka berkata , ya . Nabi SAW berkata : sungguh aku ini hanyalah seorang pemberi peringatan   bagi kamu sekalian, bahwa di antara sebelah depan ku itu terdapat siksa yang keras. Maka Abu Lahab berkata: celakalah kamu sekalian  wahai semua kaum; apakah kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini ? maka Allah menurunkan surah  al-Lahab: تَبَّتْ يَدَا أَبي لَهَبٍ وتَبَّ  ( celakalah kedua tangan Abi  Lahab dengan benar-benar celaka). Al-Indzâr di sini memiliki makna memberitahukan  agar tetap waspada karena ada bahaya di depan. Makna asal al-indzâr adalah al-i’lâm (pemberitahuan). Dalam bahasa Arab diungkapkan  andziruhu indzâran idzâ a’lamtuhu ( aku mengingatkannya dengan satu peringatan apabila aku memberitahukannya ). Maka seorang mundzir dikatakan juga mu’lim( pemberitahu),  mukhawwif ( penakut-nakuti)  muhdzir (pemberi peringatan).

Al-Inkar/ الانكار  ( negation / penolakan ). Dalam Lisan al-‘Arab ( V/ 232) dinyatakan bahwa al-nakr adalah al- dahâu ( bahaya ) wa al-fithna ( mahir /cerdik ), atau al-juhud (الجُحُودُ– pengingkaran), atau  al-munakarah (   المُناكَرَةُ      ) bermakna al-muhârabah ( المُحارَبَةُ); atau النَّكارَةُbermaknaالدَّهاء. النَّكِرَةُ, yaitu membatalkan pengetahuan atau menyalahi pengetahuan, atau segala yang dipandang buruk oleh syari’at; atau sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan. Jika  demikian, maka dikatakan al-innkâr itu, adalah sesuatu bahaya yang datang karena sengaja direkayasakan dengan kecerdikan dengan keluar dari aturan syari’at. Q.S. Hud, 70;نَكِرَهُمْ وأَوْجَسَ منهم خِيفَةً  ( Ibrahimmemandang aneh perbuatan mereka / malaikat,a dan ia merasa takut kepada mereka );  Q.S.al-Kahfi,74;   لقد جئت شيئاً نُكْراً(  sungguh kamu telah melakukan sesuatu yang munkar). Al-Nakîr, nama dari al-inkâr bermakna al- taghyir ( perubahan);    نَكَّرَه     bermakna غَيَّرَه  .   Q.S. al-Haj, 44;  فكيف كان نَكِيري ( maka bagaimana dia inkar kepada Ku ). Ayat ini ditujukasan kepada orang-orang kafir, demikian juga dalam Q.S. Fathir, 26; dan al-Mulk, 18. Ungkapan serupa lainnya tercantum dalam Q.S.Saba, 45; ditujukan kepada para pendusta terhadap Rasul Allah.  Sedangkan ungkapan  مُنْكَرٌ ونَكِيرٌ  nama bagi dua malaikat yang dalam Hadits diterangkan ketika seseorang awal memasuki  liang lahad stelah meninggalnya.

Raghib Ashbahaniy ( I / 505 ) menyatakan bahwa al-inkar itu lawan dari al-‘irfan.  Al-Nukru النكر  bermakna al-dahâ والامر الصعب     الدها, yaitu bencana / bahaya dan perkara yang sukar. Makna ungkapan ankartu kadzâ wa nakartu  yaitu penolakan atas sesuatu yang tidak tergambar di dalam hati.  Dalam Hadits Nabi SAW, dungkapkan tentang makna al-nakr itu, sbb.:

" إذا وضع الميت في القبر أتاه ملكان منكر ونكير " واستعيرت المناكرة للمحاربةApabila mayat diletakkan dalam liang lahad, beberapa saat kemudian datang kepadanya dua malaikat “Munkar dan Nakir” . Kedua ungkapan itu, merupakan isti’ârah ( kata pinjaman )  dari kata al-munâkarah li al-muhârabah ( penolakan terhadap prilaku pembegalan/ perampokan). Demikian juga, al-nakr bermakna bagian dari kejahilan, Q.S. Hud, 70;

فَلَمَّا رَأَى أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمِ لُوطٍ

Al-Nakr digunakan baik untuk pengucapan ( al-lisan) atau untuk hati ( al-qalb); sebab penolakan lidah adalah karena penolakan di hati; tetapi boleh jadi juga penolakan lisan itu, terhadap sesuatu yang tergambar di dalam hati; maka jadilah hal itu disebut bohong, Q.S. al-Nahl, 83;يعرفون نعمة الله ثم ينكرونها( mereka mengetahui ni’mat Allah kemudian mereka menolaknya; Q.S, Ghafir 81: - فأى آيات الله تنكرون( ayat Allah yang mana yang kamu tolak ); Q.S. Yusuf,58; فهم له منكرون  ( maka mereka baginya beberapa yang menolak).

Al-Munkar adalah setiap perbuatan yang dihukumi akal sehat adalah buruknya, atau akal tidak bisa menetapkan baik dan buruknya sesuatu itu. Beberapa ayat Alqur’an berikut menjelaskan kata tersebut : 

Q.S. al-Tawbah, 112 ; والامرون بالمعروف والناهون عن المنكر  (mereka yang memerintah dengan kebaikan dan melarang jauh dari kemunkaran). Q.S.Al-Maidah, 79;كانوا لا يتناهون عن منكر فعلوه  ( mereka tidak bersama-sama mencegah jauh-jauh kemunkaran, bahkan mereka melakukannya ). Q.S. Ali ‘Imran, 104; وينهون عن المنكر( mereka mencegah kemunkaran ). Q.S. Al-‘Ankabut, 29;وتأتون في ناديكم المنكر  (dan kamu sekalian melakukan dalam seruan kamu itu kemunkaran ); Q.S.Al-Qamar, 6; يوم يدع الداع إلى شئو نكر( pada suatu hari seruan seorang penyeru kepada sesuatu dan yang tidak menyenagkan ).Penolakan sesuatu dari segi makna, akan menjadikan sesuatu itu tidak dikenali;   Q.S. al-Naml, 41;        نكروا لها عرشها   ( dia berkata ! pindahkan lah singgasana miliknya ).

 

R                                                              

        Al-Raib/ الريب( ragu / bimbang ). Raghib Ashbahaniy ( I/ 205) , kata muradif al-raib adalah al- wahm.  Dikatakan al-raib, karena mengandung masyakak (keraguan), atau al-tasyakuk ( memperoleh keraguan) dalam menuai hasilnya. Keraguan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di akhirat, Q.S. al-Haj, 5  ; يا أيها الناس إن كنتم في ريب من البعث( hai manusia jika kamu dalam keraguan tentang hari kebangkitan ). Keraguan orang kafir atas kebenaran Alqur’an, Q.S. Al-Baqarah ,23;   في ريب مما نزلنا على عبدنا (  jika kamu berada dalam keraguan dari apa yang telah Kami turunkan atas hamba Kami ). Ocehan orang kafir dan bantahan Allah SWT,  Q.S. al-Thur, 30;  ريب المنون( kecelakaan menimpanya ). Sikap orang kafir itu, melampaui batas dan meragukan, Q.S. Qaf, 25;   معتد مريب( melanggar batas dan ragu ). Keraguan orang kafir terhadap Alqur’an, Q.S.Hud, 110;   لفى شك منه مريب      ( tentu dalam keraguan karena Alqur’an itu  ). Sikap orang munafiq dihadapan orang-orang mukmin,  Q.Sal-Hadid,14 ;وتربصتم وارتبتم( kamu menunggu kehancuran kami dan  kamu ragu-ragu ). Keraguan orang munafiq dalam bertahkim kepada Nabi SAW, Q.S. al-Nur, 50 ;  أم ارتابوا أم يخافون ( atau karena mereka ragu-ragu atau kamu takut ).  Adanya malaikat sebagai penjaga neraka guna menghilangkan keraguan,Q.S.al-Muddatstsir,31; ولا يرتاب الذين أوتوا الكتاب والمؤمنون    ( orang-orang yang diberi kitab dan orang-orang yang beriman tidak akan ragu ). Sikap orang yang beriman yang tidak ragu terhadap ketentuan Allah SWT, Q.S. al-Hujrat, 15; ثم لم يرتابوا   (  kemudian mereka tidak  ragu  ). Bangunan yang didirikan orang-orang munafik berada dalam keraguan, Q.S.al-Tawbah, 110  ; بنوا ريبة في قلوبهم  ( mereka membangun keraguan di hatinya).

Sikap seseorang dalam menghadapi keraguan ini, adalah harus segera mencari sesuatu yang meyakinkan. Hadits Nabi SAW riwayat al-Turmudzi mengingatkan masalah ini : دع ما يريبك إلى ما لا يريبك  (tinggalkan sesuatu yang meragukan  diri mu, dan  (ambil/ikuti) sesuatu yang tidak meragukan diri mu). Karena itu, agama Islam ditegakkan berdasar keyakinan yang pasti, tidak sedikitpun ditemukan keraguan. Hal itu diungkapkan Q.S. Al-Baqarah, 2;  ذلك الكتاب لا ريب فيه هدى للمتقين  ( kitab itu tidak mengandung keraguan sedikitpun, padanya terdapat petunjuk bagi orang-orang bertaqwa). Namun demikian, manusia dalam menghadapi Alqur’an terbagi pada tiga kelompok: Pertama, mereka yang meyakini dan komitmen terhadap ajaran-ajarannya. Itulah yang disebut orang-orang muttaqin; kedua, mereka yang ragu-ragu, dan mereka itu yang disebut munâfiqin; dan ketiga, orang yang menolak sama sekali, itulah orang yang kâfirin. Kaidah menyatakan bahwa keyakinan itu, tidak akan hilang oleh karena keraguan (   al-yaqîn lâ yuzâlu bi al-syak  ).

 

S

 Al-Sukun /    السُّكُونُ/ السكينة(diam / menetap / tenang). Dalam Lisan al- ‘Arab ( XIII/ 211 ) dinyatakan al-sukun ( diam ) lawan dari al-harakah ( gerak);  ketika gerak hilang, maka diam datang. Kata mutaradif sakana ( na ) adalah sakata ( ta =diam). Makna gerak (haraka) ini bisa ada pada segala sesuatu: angin bergerak, panas bergerak, dingin bergerak, seseorang bergerak, gunung bergerak, marah bergerak; jika tidak bergerak, maka semuanya itu diam. Makna lainnya, Syamr berkata :  al-Sakînah bermakna al-rahmah ( kasih sayang ), atau al-wiqâr ( lemah lembut ), atau al-thuma’nînah ( tenang ). Raghib al-Ashbahani (Gharib Alqur’an : I / 236-237 ) memaknai al-sukun ini dengan tetapnya sesuatu setelah bergeraknya. Maskanun dengan jamak masâkin bermakna tempat tinggal, demikian makna kebahasaan al-sukun.

 Karena itu, makna ungkatan :وما يَسْكُن به الإنسان( apa yang manusia bisa menetap, berdiam diri, atau tempat menjalin kasih sayang, tempat mencurahkan kelemahlembutan yang berujung pada ketenangan hati) mengisyaratkan suatu tempat tinggal yang baik bagi pembinaan keluarga. Q.S. Al-An’am,13: وله ما سَكَن في الليل والنهار( bagi-Nya sesuatu yang mendiamkan dan merebahkan pada malam hari atau pada siang hari ). Ibn al-A’rabiy berkata makna ungkapan itu adalah bagi-Nya segala sesuatu yang bisa melepaskan kepenatan baik pada malam hari, maupun pada siang hari.  Al–Zujaj berkata pernyataan itu merupakan hujah atas pandangan orang-orang musyrik, karena mereka juga tidak mengingkari bahwa sesuatu yang telah ditetapkan pada malam dan siang hari itu datang dari  Allah SWT; artinya, bahwa Dia itu Pencipta, Dia juga yang merekayasa kehidupan; demikian juga Dia Maha kuasa menghidupkan orang yang telah mati. Abu al-‘Abbas berkata  firman Allah (Al-An’am , 13): وله ما سكن في الليل والنهار( bagi-Nya apa yang mendiamkan dan merebahkan pada malam hari dan siang hari); bahwa yang menetap dan berdiam diri itu bisa manusia, bisa ternak;  mereka berdiam setelah sebelumnya bergerak. Ia juga berkata hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui segala penciptaan-Nya. Al-Azhariy berkata : dinamai dengan sikkînan merujuk pada al-mudyah  = pisau  orang Yaman, karena bisa menenangkan hewan sembelihan, yaitu diamnya karena kematian melalui sembelihan dengan pisau; maka setiap sesuatu yang mati adalah diam.  Al-Lahyaniy berkata : al-sukn, disebutkan juga  suknâ al-rajulu fi al-dâri ( seseorang ditempatkan di suatu daerah tertentu ); sehingga dikatakan kepadanya: engkau memiliki tempat tinggal di dalamnya. Dikatakan juga al-saknu adalah tempat berkumpulnya kabilah; yaitu setiap tempat yang bisa menenangkan/ mendiamkan  pemilik dan yang lainnya dikatakan al- sakn. Al-Mar’ah ( wanita) bisa juga dikatakan al-sakn, karena ia tempat diam seseorang pasangannya. Q.S. Al-An’am: 96,  جعَلَ لكم الليلَ سَكَنا( Allah menjadikan bagi kamu malam hari itu sebagai tempat diam). Hal ini karena semua orang mengambil  malam hari itu, jika dia memaksudkan untuk mendiamkan diri. Dalam hadits, ada do’a,sbb.: اللهم أَنْزِلْ علينا في أَرضنا سَكَنَها أَي غياث أَهلها الذي تَسْكُن أَنفسهم إليه( Ya Allah ! turunkanlah kepada kami air hujan yang bisa membasahi bumi kami; dan mendiamkan diri mereka sebagai penduduk padanya).

Ajaran Islam telah menetapkan bahwa diam dan bergeraknya didasarkan karena beribadat kepada-Nya. Hal itu ditunjuki oleh Q.S. al-Bayyinah, 5; Tidaklah mereka diperintahkan ( dalam kehidupan ini) kecuali hanya untuk beribadat kepada Allah dengan  ikhlash; bagi-Nya agama itu.

Dari kata sakan/sukna /sukn sebagaimana di sebutkan, maka muncul ungkapan al-miskin  atau dalam bentuk jamaknya al- masâkin. Lafazh itu diungkap Q.S.al- Tawbah 60;إنما الصدَقاتُ للفقراء والمساكين  ( hanyalah sedekah itu diperuntukkan bagi fuqara dan masakin ). Berbagai  pandangan ahli bahasa berkomentar tentang perbedaan makna diantara dua istilah itu. Yunus berkata : keadaan fakir itu lebih baik dari keadaan miskin. Ibn al- Sakit berkata bahwa dikatakan  seorang faqir karena ia memiliki sesuatu untuk menutupi kehidupannya; sedangkan seorang miskin lebih buruk keadaannya dari seorang faqir. Jika seorang bangsa Arab ditanya, apakah kamu seorang fakir atau seorang miskin ? di jawabnya tidak tahu; demi Allah aku seorang miskin. Pandangan yang lainnya, miskin lebih baik keadaannya daripada faqir. Demikian dipegangi Ahmad Ibn ‘Ubaid.  Ali Ibn Hamzah berkata lafazh al- faqir di dahulukan dari lafazh al-miskin oleh Allah SWT menunjukkan bahwa kondisi miskin itu lebih baik daripada kondisi faqir; karena itu faqir lebih dahulu dikemukakan sebagai mustahiq zakat daripada miskin. Jika diperhatikan urutan mustahik dalam ayat itu adalah menunjukkan urutan kondisi siapa yang lebih berhak menerima harta shadaqah. Pandangan ini yang paling sahih. Di samping argumen di atas, juga Hadits nabi SAW yang menunjukkan pengetian tersebut, yaitu bukanlah miskin orang yang memiliki kemampuan untuk menutupi kebutuhan kesehariannya, hanyalah miskin itu adalah orang yang tidak minta-minta dan tidak memiliki kecerdasan, maka dia diberi oleh yang lain. Ada juga yang berpandangan bahwa  faqir itu adalah orang yang tidak minta-minta, sedangkan miskin adalah yang meminta-minta. Karena itu,  keadaan miskin lebih baik daripada keadaan faqir. Faqir adalah seorang yang lebih membutuhkan pertolongan, tetapi ia memiliki jiwa mulya menahan diri. Makna asal miskin secara bahasa adalah al- khâdhi’ ( seorang yang tunduk), sedangkan makna asal faqir bermakna al-muhtaj ( orang yang membutuhkan pertolongan). Hadits Nabi yang mengungkap kata miskin, sbb.:

قال صلى الله عليه وسلم اللهم أَحْيِني مِسْكيناً وأَمِتْني مسكيناً واحْشُرْني في زُمْرةِ المساكين

Ya Allah ! hidupkanlah aku dalam keadaan tunduk, dan matikanlah aku dalam keadaan tunduk, dan kumpulkanlah aku dalam komunitas orang-orang yang tunduk.

Dimaksud tunduk di sana adalah tawadhu’, tidak sombong dan takabur.

Demikian juga dijelaskan Q.S. Al-Mu’minun, 76; فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُون( mereka tidak tunduk kepada Tuhannya dan tidak pula berserah diri) . Demikian juga dalam Q.S. Ali ‘Imran, 146;    و ما استكانوا  والله يحب الصابرين( dan mereka tidak tunduk kepada musuh-musuh mereka, dan Allah mencintai orang-orang yang bershabar). استكانواditafsirkan dengan   خضعوا او ذلوا ما لعدوهم    ( mereka menundukkan apa yang ada di musuh-musuh mereka).

Q.S. Al-Baqarah , 35; mengungkapkan kisah Nabi Adam as, diperintah Tuhan untuk menetap  di surga bersama keluarganya ( uskun  anta wa  zawjuka  al-jannata  ) dan berkehidupan di sana dengan penuh kesenangan dan kebebasan, tetapi larangan hanya satu, yaitu mendekati satu pohon. Jika larangan tersebut tidak diindahkannya,  maka kamu sekeluarga termasuk orang-orang yang zhalim. Kisah lainnya, ditujukan kepada bani Israil sebagaimana dinyatakan  Q.S. Al-A’raf , 161; bahwa bani Israil diperintah untuk menetap / mendiami   suatu perkampungan  ( uskunû  hadzihi al-qaryata ) dan berkehidupan di sana, dan diperintahkan juga agar mereka bertaubat mengakui segala kesalahan yang mereka telah lakukan  ( al-Thabari, Juz VII/ 264; Cf. Al- Hamsh, Qur’an Karim tafsir wa bayan: 6 , 171).

Dilain pihak, sebagian orang  ketika selama mendiami negeri /kampung itu, diperlakukannya dengan cara jahat ( mujrimin ), maka Allah SWT akan menghukum mereka dengan berbagai bencana dan kebinasaan, sebagaimana diungkap Q.S. Thaha, 128; Q.S Al-Ahzab, 26; berapa banyak umat sebelum kamu yang dibinasakan tempat tinggal mereka (fi masâkinihim), akibat kejahatan yang dilakukannya karena mereka bertindak tidak menggunakan akal sehat.  Ditegaskan juga dalam Q.S. Al-Qashash, 58-59; menceritakan kehancuran tempat tinggal mereka ( fa tilka masâkinuhum) disebabkan karena tidak syukur ni’mat dan kezhaliman mereka. Demikian juga kehancuran sebagian tempat tinggal ( min masâkinihim) kaum ‘Ad dan Tsamud,  oleh sebab kehidupan mereka mengikuti dan dikuasai oleh dorongan-dorongan syaithan, padahal mereka telah mengetahuinya ( Q.S. al-‘Ankabut: 38). Jalan keluar dari berbagai bencana dan kerusakan tersebut, adalah dengan mengikuti tuntunan serta bimbingan Rasul Allah SWT, secara tegas pula Q.S. Qashash, 59 ; Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu kampung/negeri sehingga Dia mengutus terlebih dahulu seorang Rasul-Nya kepada umat itu; para Rasul Allah itu mentilawahkan ayat-ayat Tuhan kepada mereka umatnya, kecuali  umatnya yang zhalim. Dalam hal ini nabi Allah Ibrahin as memberikan teladan bagi setiap umat setelahnya, yaitu do’anya kepada Tuhannya, Q.S. Ibrahim , 37;

ذى زرع  عند بيتك المحرم  ربنا ليقيمواالصلوةربنا إنى أسكنت من ذريتي   بواد غير

  فاجعل افئدة من الناس تهوى اليهم  وارزقهم من الثمرات لعلهم يشكرون

                ( Ya, Tuhan kami ! sungguh aku telah  tempatkan keturunanku di suatu lembah yang tidak bisa ditanami tanaman, di sisi rumah Mu yang dimulyakan ( al-Haram ); Ya Tuhan kami ! kami memohon agar mereka bisa menegakkan salat, maka jadikanlah hati-hati umat manusia berkecenderungan kepada mereka, dan berilah rizki mereka berupa berbagai buah-buahan, agar mereka bisa bersyukur ).

Tempat diam dan menetap yang dikehendaki itu, di daerah mana saja di bumi ini sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing,  Allah SWT memerintahkan kepada suami-suami agar menyediakan tempat bagi keluarga mereka, sebagaimana diisyaratkan Q.S.Al-Thalaq, 6; Berilah tempat tinggal mereka ( istri-istri dan anak-anak itu), dimana saja kamu bertempat tinggal sesuai dengan apa yang kamu peroleh, dan janganlah kamu sekalian madharatkan mereka dengan cara menyempitkan kehidupannya.

Dari beberapa ayat tersebut, dapat diambil pelajaran bagaimana agar kehidupan yang dibangun itu bisa terpelihara dengan sebaik-baiknya dan  menetap di sebuah lingkungan yang menjamin kesejahtraan, keamanan serta kedamaian, sbb.: 1) Penduduk negeri/kampung  mesti beriman terlebih dahulu kepada Dzat satu-satunya pemberi ni’mat, yaitu Allah SWT; 2) penduduk negeri/ kampung mentaati segala aturan yang telah ditetapkan, baik perintah untuk dijalani, seperti pelaksanaan ibadat salat akan mengantarkan ketenangan hati (Q.S.al- Tawbah : 103; dan Q.S. al-Ra’d, 28) dan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar  (Q.S. al-‘Ankabut , 45 );  maupun larangan untuk dijauhi secara bersama-sama dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk-Nya; 3) segala kesalahan yang telah dilakukan penduduk negeri/ kampung mesti diakuinya dan bertaubat kepada Allah SWT, karena dosa mereka; dan 4) berusaha maksimal dengan mengerahkan berbagai potensi agar kemakmuran dan kesejahtraan bisa tercipta secara abadi.

T

al-Tahdzîr /  التحذير( warning / peringatan). Pangarang Liân al-‘Arab (IV/ 175 )  menyatakan bahwa makna  الحِذْرُ والحَذَرُadalah         و الفزع الخيفة  (peringatan yang menakut-nakuti). Q.S. al- Syu’ara, 56;  وإِنا لجميعٌ حاذِرُونَ(sungguh kami semuanya berjaga-jaga ). حاذِرٌ متأَهب مُعِدٌّ كأَنه يَحْذَرُ أَن يفاجَأَ( berjaga-jaga, bersiap siaga seolah-olah apa yang dikhawatirkan datang secara tiba-tiba). Al-hâdzirûna bermakna al-muta’ahhibûna wa al-musta’iddûna ( bersiap-siap karena dikhawatirkan keburukan penimpa mereka ).  Q.S. Ali ‘Imran, 28 ;ويُحَذِّرُكم الله نفسه أَي يحذركم إِياه( Allah mengingatkan kamu sekalian akan diri-Nya). Al-Zujaj berkata  al- hâdziru bermakna al- musta’iddu wa al- mutayaqqazhu  ( bersiaga dan bangun) . Q.S. al-Nisa, 71; خذوا حذركم  ( ambillah  keterjagaan kamu karena persenjataan perang  dan yang lainnya).  Q.S. al-Munafiqun, 4: هم العدو فاحذرهم(mereka itu musuh, maka berhati-hatilah  terhadap mereka ) . Q.S. al-Taghabun, 14;ان من أزواجكم وأولادكم عدوا لكم فاحذروهم( sungguh di antara istri-istri kamu  dan anak-anak kamu itu ada yang menjadi musuh bagi kamu sekalian, maka hendaklah  kamu sekalian mencegahnya dari mereka). 

Memperhatikan beberapa ayat di atas, bahwa  kehati-katian itu disampaikan dalam ungkapan perintah ( fi’l al- amr) menunjukan bahwa hukum berhati-hati atau berjaga-jaga itu adalah   wajib, sesuai dengan kaidah :       الاصل  فى الامر للو  جوب  ( asal segala perintah itu wajib ). Maka sikap yang harus ditunjukkan oleh setiap orang yang beriman adalah berhati-hati dalam segala hal, terutamaketikaberhada[pan dengan orang-orang yang menyalahi perintah Tuhan, sebagaimana diungkapkan  Q.S. al-Nur, 63;   فليحذر الذين يخالفون عن امر ربه  (hendaklah dia / Rasulullah  berjaga-jaga  terhadap orang-orang yang menyalahi jauh dari perintah Tuhannya ). Hal ini karena mengikuti perintah Allah itu adalah mengikuti jalan keselamatan. Menjaga keselamatan diri dan keluarga adalah diperintahkan berdasarkan Q.S. al-Tahrim, 6;   قوا انفسكم واهليكم نارا( jagalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka ). ( Cf. Raghib, Gharib al-Qur’an: I/ 111 ).

 

Al-Tabsyir /  التبشير   ( Kabar gembira bagi orang yang beriman dan taat ). Raghib ( I/74) menjelaskan  bahwa al-basyarah adalah kulit bagian luar yang nampak, tempat bulu-bulu tumbuh. Istilah lainnya yang melekat pada kulit itu adalah kulit bagian dalamnya, disebut al-adamah; barulah kebagian dalam lagi daging (al-lahm); maka untuk mengetahui kulit bagian dalam ini, adalah dengan dikuliti bagian kulit luarnya dengan pisau; berbeda dengan hewan yang berbulu tebal, kulitnya tidak terlihat; lafazh al-basyar juga tidak ada tatsniyah dan jamak-nya, demikian juga mudzakkar dan muannats-nya ( Lisan al-‘Arab : IV/49). Alqur’an mengkhususkan  pada setiap tempatnya, penggambaran sosok tubuh manusia itu secara fisik,  dengan ungkapan al-basyar ini; seperti dalam beberapa ayat berikut : Q.S.al-Furqân, 54; وهو الذى خلق من الماء بشرا( dan Dia yang menciptakan manusia dari air); dan Q.S. al-Zumar, 71; إنى خالق بشرا من طين( sungguh Aku menciptakan manusia dari tanah ). Orang-orang kafir berpandangan disertai marah kepada nabi-nabi Allah, mereka berkata sebagaimana digambarkan Q,S,al-Muddtstsir,25;   إن هذا إلا قول البشر  (tiadaklah ini kecuali perkataan manusia); dan Q.S. al-Qamar, 24 أبشرا منا واحد نتبعه  (bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia di antara kita); Q.S.Ibrahim, 10; ما أنتم إلا بشر مثلنا( tidaklah kamu itu kecuali seorang manusia seperti kami ); Q.S. al-Taghabun, 6;  قالوا أبشر يهدوننا( mereka berkata apakah seorang manusia yang menunjuki kami ? );Q.S. al-Mukminun, 47; أنؤمن لبشرين( apakah kami beriman kepada dua orang manusia); lebih ditegaskan lagi dengan ungkapan dalam Q.S. Fushshilat, 6;  إنما أنا بشر مثلكم  ( hanyalah aku ini seorang manusia seperti kamu sekalian). Atas dasar itu semua, menunjukkan dengan lebih mempertegas bahwa nilai kemanusiaan (al-basyariyah) yang membangun kesamaan ( taswiyah ) di atara umat manusia itu, dan hanya keutamaan di antara manusia itu diperoleh karena kekhususannya untuk mengetahui Dzat Tuhan, serta amal-amal yang utama. Bagian keutamaan itu, baru bisa di peroleh hanya dengan melaksananakan apa yang diwahyukan kepada nabi-Nya ( يوحى إلى). Manusia yang fisikal ini, dilengkapi juga dengan kekuatan yang tersimpan di belakangnya, yaitu kekuatan rasa, berupa sedih, gembira dan berkehendak dengan dorongan biologis guna bereproduksi.  Al-Zujaj berkata يَبْشُرُك  bermaknaيَسُرُّك ويُفْرِحُك( membahagiakan dabn menggembirakan mu ); وبَشَرْتُ الرجلَ   bermakna أَبْشُرُه إِذا أَفرحته( aku menggembirakannya);بَشِرَ يَبْشَرُbermakna apabila berbahagia (   فرح). Makna lainnya lagi التباشيرadalah طرائقُ ضَوْءِ الصُّبْحِ في الليل( jalan cahaya pada waktu shubuh dalam suatu malam ).

Makna al- basyar dimaknai sebagai ungkapan rasa gembira, ditunjuki juga oleh Hadits  dari Abdullah :مَنْ أَحَبَّ القُرْآنَ فَليَبْشَرْ أَي فَلْيَفْرَحْ ولَيُسَرَّ  (barang siapa yang mencintai Alqur’an, maka basyar-kanlah, yaitu gembirakanlah dan bahagiakanlah).  Kemudian, al-basyar dimaknai dorongan biologis, diisyaratkan dalam kisah ibunda Maryam, Q.S.Ali ‘ Imran,47 ;لم يمسسني بشر( tidak seorang manusiapun yang menyentuhku), tetapi aku mengandung dengan kekuasaan Allah SWT. Jibril as., diserupakan manusia sempurna utusan Tuhan, Q.S. Maryam 17; فتمثل لها بشرا سويا( menjelma dihadapannya seperti manusia sempurna ). Sebaliknya dalam kisah nabi Yusuf as, manusia yang diserupakan malaikat, Q.S. Yusuf, 31 ;ما هذا بشرا( bukanlah ini seorang manusia, tetapi malaikat ).      

Raghib( Ibid.,  I/48) mengungkapkan makna kinayahالمباشرة  dengan al- jimâ’ sebagaimana Q.S.Al-Baqarah, 187; ولا تباشروهن وأنتم عاكفون(  dan janganlah kamu sekalian menggauli ( al-jima’) mereka, sedangkan kamu dalam keadaan sedang beri’tikaf ); dan ungkapan lanjutannya, فالآن باشروهن(maka sekarang gaulilah oleh kamu sekalian mereka itu,-- jika i’tikaf sudah selesai-- ). Dengan demikian, dalam Lisan Arab (Ibid.) dimaknai al-mubâsyarah dengan al-mulâmasah. Manusia yang disebut basyar itu, memiliki  dua potensi lahir dan batin, atau bertemunya di antara kulit tipis dan kulit keras ( khusyunah al- basyarah). Makna basyar dalam arti menyentuh bagian rasa manusia dengan makna kabar gembira, dinyatakan dalam Q.S. al-Hijr, 53;    قالوا لا توجل إنا نبشرك بغلام عليم( mereka berkata janganlah kamu (Ibrahim as) merasa takut, sesungguhnya kami ( dhuyuf /tamu Ibrahim) memberi kabar gembira kepadamu dengan kelahiran seorang anak laki-laki yang akan menjadi seorang alim ); dan ayat 54-nya: قال أبشرتموني على أن مسنى الكبر فبم تبشرون

( Ibrahim berkata : Bagaimana kamu memberi kabar gembira kepadaku sedangkan aku sudah berusia tua, maka dengan apa kamu memberi kabar gembira tersebut ); lalu ayat 55-nya,  قالوا بشرناك بالحق( mereka berkata kami memberi kabar gembira kepada kamu dengan haq).  Q.S. Ali ‘Imran: 170 ;   ويستبشرون بالذين لم يلحقوا بهم من خلفهم   ( mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal  di belakang ); ayat 171-nya :يستبشرون بنعمة من الله وفضل( mereka bergirang hati itu oleh sebab ni’mat dan karunia dari Allah );  Q.S.al-Hijr, 67; وجاء أهل المدينة يستبشرون( penduduk kota itu berdatangan sambil bergirang hati, karena kedatangan tamu-tamu itu, di rumah nabi Luth ); Q.S. Yunus, 64; لهم البشرى في الحياة الدنيا وفى الآخرة  (  bagi mereka / orang yang beriman dan bertaqwa, kegembiraan hidup di dunia dan di akhirat ); Tiga jenis kegembiraan yang dikandung ayat itu : 1) gembira karena pahala di dunia berupa al-ru’ya al-shalihah; 2) pahala di akhirat berupa surga; dan 3) pahala melihat surga melalui mimpi, sementara ruh tidak keluar dari jasadnya.

Sebaliknya tidak ada kegembiraan orang-orang yang jahat, Q.S. لا بشرى يومئذ للمجرمين( tidak akan memperoleh kegembiraan pada hari itu mereka orang-orang jahat); Q.S. Hud, 69; ولما جاءت رسلنا إبراهيم بالبشرى  ( tatkala datang rasul-rasul Kami kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira ); Q.S. Yusuf, 19;   يا بشرى هذا غلام  ( Oh ! kabar gembira ini seorang anak  muda / Yusuf );  Q.S.Ali “Imran 126;  وما جعله الله الا بشرى لكم( Allah tidak menjadikannya kecuali sebagai kabar gembira bagi kamu sekalian); Q.S. Yusuf, 96; فلما أن جاء البشير ألقاه على وجهه فارتد بصيرا  ( maka tatkala datang pemberi kabar gembira untuk meletakkan baju gamisnya ke muka Ya’cub, lalu kembalilah dia dapat melihat); Q.S. al-Zumar, 18;  فبشر عبادي( maka gembirakanlah hamba ku ); Q.S, Rum,46 ;انيرسل الرياح مبشرات  (  Dia Zat yang mengirimkan angin dengan segala kegembiraan). Ayat ini mengisyaratkan kegembiraan berhubungan dengan  turunnya hujan.Nabi SAW berkata انقطع الوحى ولم يبق إلا المبشرات وهى الرؤيا الصالحة التى يراها المؤمن أو ترى له( wahyu telah terputus; dan tidak ada yang tersisa kecuali al-mubasyisyirât, yaitu rukyat shalihah yang orang-orang mukmin melihatnya, atau dia melihatnya ); Q.S.Yasin, 36 / 11 ;  فبشره بمغفرة  ( maka gembirakanlah oleh kamu dia itu dengan maghfirah ). Makna basysyir yang mengarah kepada keburukan, ditunjukkan oleh Q.S. ‘Ali Imran, 21; فبشرهم بعذاب أليم –( maka gembirakanlah mereka dengan adzab yang pedih); Q.S.al-Nisa, 138 ; بشر المنافقين بأن لهم عذابا اليما–( gembirakanlah orang-orang munafiq itu, bahwa  bagian mereka itu adalah  azab yang sangat pedih ); Q.S. al-Tawbah, 3;وبشر الذين كفروا بعذاب أليم(  beritakanlah kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan memperoleh adzab yang pedih ).  Ungkapan-ungkapan ini adalah bventuk isti’ârah sebagai peringatan bahwa rahasia yang diperdengarkan itu adalah sesuatu yang bisa memperoleh siksaan. Q.S Fushshilat, 30;  وأبشروا بالجنة التى كنتم توعدون( gembirakan oleh kamu sekalian-- orang yang memohon kepada Allah dan beristiqamah yang dahulu telah dijanjikan); Q.S. al-Zuhruf, 17;وإذا بشر أحدهم بما ضرب للرحمن مثلا ظل وجهه مسودا وهو كظيم(  apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan  sebagai  mitsal  bagi Allah Yang Maha Pemurah, jadilah mukanya hitam pekat-- karena rasa malu, marah yang berat,  sedang dia amat menahan sedih ). Ayat ini berhubungan dengan kelahiran anak seorang wanita yang tidak disenanginya.

Tazkiyah al-Nafs/تزكية النفس   ( penyucian jiwa ). Lisân al-‘Arab (IV/ 358) menjelaskan al-tazkiyah rumpun katanya dari al-zakâ bermakna al-namâ ( tumbuh/ berkembang). Abu Hanifah memaknai zakâ dengan namâ; maka ungkapan: azkâhu Allahu kulla syaiin bermakna yazdâdu wa yanmâ ( bertambah dan tumbuh berkembang). Ibn al-Anbary dalam memaknai Q.S. Maryam, 13 ; وحَناناً من لَدُنَّا وزَكاةً (       ( Yahya yang telah diberi hikmah dari sejak kecil, memiliki sifat kasih sayang dan perangai baik, kesucian diri dan ketaqwaan yang datang dari sisi Kami),  adalah Allah melakukan hal itu sebagai rahmat bagi kedua ibu bapak dengan penyucian baginya. Al-Azhari berkata makna :  تُزَكِّي نفسَها وزَكَّى الرجل نفسَه إِذا وصفها وأَثنى عليهاadalah pembersihan diri dan menyanjungnya; zakah al-mal, maknanya sudah dikenal, yaitu penyucian harta; pekerjaannya di sebut berzakat, yaitu pengeluaran harta milik pribadi guna pembersihannya. Makna lain dari zakat itu adalah shadaqah. Q.S.al- Mu’minun : 4; فاعِلُون    الذين هم للزكاة  bermakna هم للعمل الصالح (mereka hanya bagi amal salih); zakâtan bermakna shâlihan . Q.S. al-Nur, 21 ; ولولا فضل الله عليكم ورحمتُه ما زَكا منكم من أَحد أَبداً ولكن الله يُزَكِّي من يشاء( dan jika tidak ada karunia dan rahmat Allah atas kamu sekalian, tidaklah seseorang selamanya bisa membersihkan diri, tetapi Allah yang menyucikan siapa saja yang Dia kehendaki);  Q.S. al-Kahfi, 81 ; خيراً منه زَكاةًbermakna خيراً منه عملاً صالحاً( darinya adalah sebaik-baiknya amal salih ). al-Farra berkata zakâtan bermakna shalâhan. Q.S.Al-Nur, 21 ; ما زَكَّى منكمbermakna ما صلح منكم(sesuatu kesalihan dari kamu sekalian). Asal makna al-zakâh secara bahasa adalah suci, berkembang, berkah, dan terpuji; semuanya digunakan dalam Alqur’an.   Zakat berfungsi mensucikan harta, dan zakat fithrah  mensucikan badan.  Ragib ( I/ 213 ) menyatakan bahwa makna zakat seperti digambarkan itu, meliput perkara-perkara duniawi dan ukhrawi. Q.S.al-Kahfi, 19; أيها أزكى طعاما  ( makanan mana yang lebih suci) menunjukkan kepada makanan yang halal tidak mengandung  keburukan  akibatnya bagi kesehatan. Zakat yang diartikan sesuatu yang dikeluarkan manusia karena hak Allah untuk diberikan kepada fakir miskin, karena mengandung harapan berkah  atau kesucian diri (لتزكية النفس), yaitu berkembangnya berbagai kebaikan secara keseluruhannya. Allah SWT menggandengkan kewajiban zakat itu dengan salat, sebagaimana Q.S.al-Baqarah, 43; . وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة(dirikan oleh kamu sekalian salat dan tunaikan zakat). Dengan penyucian diri itu, maka akan menjadikan manusia memiliki sifat terpuji, dan di akhirat akan memperoleh pahala. Maka dengan kesuciannya, manusia akan memperoleh ketetangan hidup dari dua sisi, pertama dari sisi hamba itu sendiri, sesuai dengan apa yang diusahakannya. Q.S. al-Syams, 9: قد أفلح من زكاها; dan  dari sisi Allah karena aspek hakikatnya, sebagaimana Q.S. al-Nisa, 49; الله يزكى من يشاءبل   ( tetapi, Allah yang mensicukan siapa yang Dia kehendaki); dan juga dari sisi Nabi SAW, sebagai rasul yang memerantarainya, sebagaimana Q.S. al-Tawbah ,103; تطهرهم وتزكيهم بها( enhgkau sucikan mereka dengan nya); dan Q.S. al-Baqarah, 151; يتلوا عليكم آياتنا ويزكيكم( mereka membacakan ayat-ayat Kami dan mensucikan  kamu sekalian); juga dari sisi lainnya untuk beribadah sebagai alat intrumental menuju tujuan, Q.S. maryam,13 ; وحنانا من لدنا وزكاة( sifat kasih sayang dan kesucian datang dari sisi Kami ); Q.S. Maryam, 19; لاهب لك غلاما زكيا( sungguh Aku akan berikan kamu seorang anak yang suci), yaitu seorang yang suci oleh sebab akhlaknya. Demikian itu merupakan jalan pilihan yang bisa menjadikan sebagian hambanya berilmu, suci akhlaknya, tidak melalui belajar dan pelatihan, tetapi  langsung sebagai taufiq ilahi sebagaimana dialami para rasul dan nabi yang lainnya. Penyucian diri manusia itu, terbagi dua: 1) melalui perbuatan yang terpuji, dan itu yang dimaksudkan Q.S. al-Syams, 9; قد أفلح من زكاها(  sungguh berbahagian orang yang mensucikan dirinya ); dan Q.S. al-Balad, 14;قد أفلح من تزكى( Sungguh berbahagia orang yang telah menerima kesucian dirinya ); 2) melalui perkataan, seperti penyucian sifat-sifat keadilan yang merubahnya, demikian itu mencelai dirinya untuk dilakukan, Allah SWT melarangnya Q.S.al-Najm, 32;   فلا تزكوا أنفسكم( maka janganlah kamu merasa kesucian diri kamu sekalian) keterlarangan itu, karena seseorang dipandang buruk jika ia memuji dirinya, baik secara akal atau syara’. Dikatakan seorang hakim, apa yang tidak baik, jika dia itu benar ? seseorang memuji dirinya. Tazkiyah al-nafs yang telah disebutkan di atas, jika dihubungkan dengan  kewajiban ibadah, maka akan terlihat relevansi yang signifikan bahwa semua ibadat dalam Islam bertujuan kearah tazkiyah al-nafs tersebut. Contoh seperti ketentuan berwudhu, mulai dari berwudhu dengan membaca basmalah, dan berakhir dengan membaca do’a : allâhumma ij’alnî min al-tawwabina wa ijalni min al-mutathahhirin. Salat mulai dari ucapan Allahu Akbar disertai gerakan tangan dalam takbiratul ihram dan berakhir  ucapan salam; di antara keduanya terdapat bacaan tasbih, tahmid, takbir, dan istighfar, menunjukkan arah pada kesucian jiwa juga. Demikian juga shaum dan haji.

Tsiqqah/   ثقة/ ميثاق  (   terpercaya / perjanjian ) . Raghib Al-Ashbahani (  Gharib Alqur’an: I/ 511- 512 ) menyatakan bahwa al-tsiqqah dengan ungkapan wa tsaqtu bihi, bermakna sakantu ilaihi  wa i’tamadtu ‘alaihi ( aku tenang terhadapnya dan aku memeganginya); dan awtsaqtuhu syadadtuhu ( aku mempercayainya dan menguatkannya ). Dalam Lisân Arab ( X/371)  diungkapkan bahwa al-tsiqqah itu dimaknakan   i’tamanahu ( terpercayainya ). Al-Watsîq al-syaiu dimaknai al- muhkamu, jamaknya  witsâq Al- Mitsâq adalah al-‘ahd; atau al- ‘ahd  dimaknai al-watsîq. Asal makna al-witsâq adalah al- habl ( tali ); atau ikatan yang kuat untuk mengikat para tahanan atau hewan.  Dalam kitab al-Shahah, diungkapkan   اسْتَوْثَقْت منه        bermakna أَخذت منه الوَثِيقةَ وأَخذ الأمر بالأَوْثَقِ أي الأشد الأحكم  ( aku mengambil al- watsîqah darinya; dan aku mengambil terhadap penyelesaian berbagai  urusan melalui awtsaq, yaitu paksaan berdasar  ketetapan hukum ( eksekusi karena ketetapan hukum ).  Dalam Hadits :  ما سَلَّموا بالمِيثاقِوالأمانة  (apa yang mereka serahkan melalui mitsâq dan amânah ) dimaksudkan bahwa mereka dipercayai untuk mengemban amanat shadaqah terhadap harta mereka, oleh sebab perkara yang diambil atas mereka itu sebagai al-mitsâq; maka tidak lah diutus penarik shadaqah atas mereka; dan tidak pula diutus penarik 1/10 ( ‘usyur ) karena mereka menunaikannya secaraa sadar. Al-Muwâtsaqatu adalah al-mu’âhadatu. Q.S.al-Maidah,7; وميثاقَه الذي واثَقكم به( perjanjian Allah yang telah diikatkan kepada kamu )   dan dalam Hadits  Ka’ab Ibn Malik:  ولقد شهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة العقبة حين تَواثَقْنا على الإسلام أي تحالفنا وتعاهدنا( dan sungguh aku menghadiri bersama Rasul Allah SAW pada malam ‘Aqabah ketika kami mengikatkan janji atas al-Islam, kami bersumpah dan kami saling mengikatkan janji).  Q.S. al-Fajr, 26;   ولا يوثق وثاقه أحد( dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya); Q.S. Muhammad, 4; حتى إذا أثخنتموهم فشدوا الوثاق(sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dengan penjagaan yang ketat); al- mitsâq bermakna akad (al-‘aqd) yang dikuatkan dengan sumpah (al-yamin) dan janji ( al-‘ahd ); atau  al-mitsâq itu adalah akad yang diberikan melalui kepercayaan dari Allah . Q.S.ali ‘imran , 81;وإذ أخذ الله ميثاق النبيين ( dan ingat ketika Allah mengambil perjanjian dengan para nabi); dan  Q.S.Al-Baqarah, 84;  و اذ أخذنا ميثاقهم  ( ingatlah Kami telah mengambil perjanjian mereka); Q.S. al-Ahzab,7; وأخذنا منهم ميثاقا غليظا( dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat); Q.S.Al-Baqarah, 256; فقد استمسك بالعروة الوثقى( sungguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh).   

Mitsaqyang Allah ambil dari para rasul dan para nabi-Nya itu, bersifat mendasar, filosofis dan berupa moral besar ( grand morality ) meliputi: Rububiyyah,  insaniyah dan tsaqafiyah. Rincian dari ketiga moral besar itu terdapat dalam bagian-bagian keimanan, bagian-bagian keislaman, dan bagian-bagian keihsanan; dan yang lebih praktis lagi adalah aktivitas keseharian seorang muslim yang disebut ibadat atau syari’at dalam arti terbatas; baik yang ditunjuki Hadits Nabi SAW, maupun hasil intrepretasi para ulama fiqh terhadap kedua sumber itu, melalui ijtihadnya.

 

Al-Tarâjî /  التراجى( harapan ).  Lisan al-‘Arab ( XIV: 309 ) memposisikan الرَّجَاءُbagian dari harapan yang membatalkan  keputusasaan yang berkepanjangan (  من الأَمَلِ نَقِيضُ اليَأْسِ مَمْدودٌ).  Perbedaan diantara keduanya (الرَّجَاءُ  dan  الأَمَل  ), al-rajâ berhubungan dengan  التَّوَقُّعِ( peristiwanya sebagai proses menuju harapan); sedangkan  al-amal, berhubungan dengan harapan itu sendiri, berupa kebaikan. Al-Jurjaniy ( al- Ta’rifât ( I/ 36 ) memaknai juga  الرجاءsemakna dengan الأملmenurut istilah adalah tergantungnya hati dengan diperoleh sesuatu yang disenangi pada masa-masa di kemudian harinya.  Al-Rajwu al-mubâlâh (   الرَّجْوُ المُبالاة)  dikatakan juga  ما أَرْجُوbermakna  ما أُبالِي  ( aku tidak mengharapkannya ). Kadang-kadang  الرَّجْوُ والرَّجاءُ  bermakna الخَوْف  ( takut ). Q.S.Nuh, 13; ما لَكُم لا تَرْجُونَ لله وَقارا   ( kamu sekalian tidak mengharapkan bagi Allah itu kasih sayang  ); Tsa’lab dan al-Farra berkata الرَّجاءُ  bermakna الخَوْفِ( takut/khawatir ); kadang-kadang bermakna juga لا يكون إِلا مع الجَحْدِ( tidak terjadi raja’ kecuali beserta penyangkalan ); engkau katakan ما رَجَوْتُكَ( tidak aku mengharapkan mu), bermakna apa yang aku khawatirkan darimu. Al-Farra berkata al-raja itu berada pada tempat al- khawf, apabila disertai haraf nafyi ( ما). Q.S. Nuh, 13; ما لكم لا تَرْجُون لله وَقاراً  bermakna لا تَخافون للهِ عَظَمة(   kamu sekalian tidak merasa takut atas kebesaran Allah ); Q.S.al-Nisa, 104; وتَرْجُون من الله ما لا يَرْجُون, bermakna تخافون( kamu sekalian takutkan (siksa) dari Allah itu sesuatu yang mereka tidak takuti ). Berdasarkan ayat itu, tidak ditemukan makna al-khawf sebagai rajâ kecuali disertai pengingkaran. Kadang-kadang juga diperoleh makna al-khawf  dari sudut al-rajâ ini; al- khawf adalah al- rajâ. Q.S.al-Jasiyah, 14; لا يَرْجُونَ أَيَّامَ اللهِ( orang-orang yang tidak mengharapkan akan datangnya hari-hari Allah  );  ayat ini dimaknai  bagi orang-orang yang tidak takut (  هذه للذين لا يَخافون) pada hari-hari itu. Abu Duwaib dalam sya’irnya, mengungkapkan ولا يجوز رَجَوْتُك وأَنتَ تُريد خِفْتُك ولا خِفْتُك وأَنت تريد رَجَوْتك( tidak boleh aku mengharapkanmu, sedangkan kamu menghendaki aku menakutimu; dan aku tidak menakutimu, sedangkan kamu menginginkan aku mengharapkan kamu); Q.S.Yunus, 7; الذينَ لا يَرْجونَ لِقاءنا, bermakna لا يَخْشَوْنَ لقاءنا(  mereka yang tidak merasa takut pertemuan dengan Kami).  Al-Rajâ bentuk jamaknya, الا رْجاءٌ   yaitu harapan dari berbagai sudutnya. 

Makna lainnya dari al-rajâ atau al-arjâ adalah akhkhara ( mengakhirkan / menangguhkan ). Ibn al-Atsir ( al-Nihâyah: II/497)  menyatakan  الإرْجاءbermakna juga  التأْخير( berakhir ). Dalam hadits disebutkan al-murji’ah ( suatu aliran paham keagamaan dalam Islam yang meyakini bahwa keimanan itu tidak menjadi rusak oleh sebab kemaksiatan, seperti tidak bermanfaatnya kekufuran dengan ketaatan. Mereka dinamai murji’ah karena keyakinan mereka, bahwa Allah mengharapkan penegakan sanksi hukuman kepada mereka itu, ditangguhkan atau diakhirkan karena kemaksiatannya.  Murji’ah berpandangan bahwa perbuatan mencela atau dicela,  keduanya ditangguhkan. Raghib ( Ibid. : I /190 ) menyatakan bahwa  rajâ, yaitu perkiraan yang menghendaki hasil sesuatu yang membahagiakan.

 

P E N U T U P

Kesimpulan .

1.    Terjadinya berbagai pandangan dalam pemahaman terhadap teks Alqur’an, di sebabkan oleh makna kandungan dari teks itu yang memiliki dimensi  tidak satu.

2.    Hal itu terlihat dalam setiap pemaknaan terhadap lafazh-lafazh di atas yang mencerminkan berbagai ekpresi, semua pandangan bisa diaksesnya. Namun, pandangan mana yang paling tepat dengan ekpresi kebenaran, barulah dengan pengembalian pada maqâshid-nya, baik secara makro atau spesipik.

3.    Di antara maqâshid yang spesipik itu, sangat berhubungan dengan satuan konsep ibadat atau mu’amalah dalam Islam.

4.    Rekaman hasil pemutalaahan di atas, merupakan bahan baku pemaknaan bagi setiap orang yang ingin menelusurinya . Kemudian diseleksi dalam konsep apa pemaknaan itu akan diterapkan, maka secara tidak langsung maqâshid psesipiknya harus ditemukan terlebih dahulu. Barulah nanti secara terintegrasi dengan konsep spesipik lainnya, maqâshid makronya akan ditemukan.

5.    Jika sudah ditemukan di antara maqâshid pendukung / spesipik dalam satuan konsep ibadat atau mu’amalah dan maqashid makro dalam sasaran daan cita-cita risalah Islam sudah relevan, maka hal itu merupakan pegangan akhir dalam suatu ikhtiar mencari pemaknaan yang tepat dan benar, karena sudah sampai pada tahap kebenaran konprehenshif. Wa Allahu a’lam.

 


[1]Kata ekpresi, berasal dari kata Inggris expression bermakna pernyataan, ungkapan, pandangan, perasaan, tanda atau lambang (Hasan Sadeli, Kamus Inggris-Indonesia:226).Dalam Ilmu Sosial dikenal tiga momen: ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi; maka ekpresi terdapat dalam ekternalisasi. Karena itu, ekpresi merupakan tampilan diri seseorang yang memiliki makna dalam membangun dunianya, sehingga masyarakat yang  ada menjadi sebuah kenyataan karena dibuat manusia yang saling berhubungan satu sama lain ( Cf. Prof.Dr.H.Dadang Kahmad, Sosiologi Agama: 2000 /54).

[2]Cf. Hr riwayat Bukhari dari Aisyah; Cf. Hr al-Turmudzi dari Jabir ra ).

[3]Cf. Hr.Ibn Jarir dari Abi Hurairah bab afdhal al-shaalat fi awwalal-nahar; Cf.Hr Ibn Mardaweh dari Ibn Umar, bab al-du’a mustajab baina al- maghrib wa al- ‘isya, Kanz al-‘Ummal VII, 387, 392.

[4]  Cf. Hr Bukhari, al- Jami’ al- Shahih I/ 40; Cf Hr.Muslim, al-Jami’ Shahih,  I/ 141;  Hr.Malik, al- Muwaththa : V/ 389 .


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website